Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Uniknya Desa Boti di NTT, Menjaga Tradisi Mirip Badui

Desa-desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki keunikan. Salah satunya suku Boti, yang menolak modernisasi sebagaimana suku Badui di Jawa Barat.

26 Juli 2019 | 20.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga Suku Boti menyiapkan peringatan meninggalnya ibu Raja di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Nusantara memiliki keragaman suku dan budaya yang unik. Salah satunya Suku Boti yang mendiami enam kampung adat. Mereka adalah keturunan langsung rakyat Kerajaan Boti di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Raja Boti saat ini dijabat Usif Namah Benu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung Adat Boti terletak sekitar 30 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Suku adat yang mendiami pegunungan di Kecamatan Kie ini merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung ini terbagi menjadi dua, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi.

Warga Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan Boti Luar sudah beragama. Mereka menganut Kristen Protestan dan Katolik.

Kain tenun Suku Boti di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 5 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian

Warga Boti Dalam masih menganut kepercayaan bercorak animism yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah merupakan mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.

Falsafah hidup warga Boti bahwa kesejahteraan dan kemaslahatan hidup hanya bisa didapat dengan menjaga dan merawat alam, “Kita manusia ini menjaga alam, maka alam akan menjaga kembali kita. Ini dipertahankan dari keturunan sampai sekarang masih berjalan,” ujar Namah.

Menurut Namah, ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Mereka menggelar upacara adat tiga kali tiap tahun, yakni saat membersihkan kebun, setelah menanam, dan setelah memanen.

Ritual upacaranya adalah mulai dari menyiapkan binatang berupa kerbau, sapi, kambing, babi, atau binatang apa saja, serta hasil bumi, yakni ubi, pisang, jagung. “Satu tahun itu kami minta makanan dari alam. Kami dapat banyak, jadi kami pergi, kasih tahu, ini kami dapat hasilnya sekian,” ujar Namah.

Hasil bumi itu lantas dibawa ke tempat upacara yang disebut Fainmate – yang berada di sekitar hutan larangan. Luas hutan larangan sekitar 1.000-an hektare. Butuh waktu sehari untuk sampai ke hutan itu dari perkampungan Suku Boti.

Di hutan itu juga diterapkan aturan, yakni siapapun tidak boleh mengambil apapun. Jika ada yang melanggar, misalnya mengambil sebatang kayu yang sudah roboh, orang tersebut harus menyiapkan persembahan berupa pemotongan hewan di hutan larangan.

Menurut Namah, hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jika warga butuh uang, biasanya mereka menjual kemiri, asam, atau binatang. Pohon kemiri dan asam memang tumbuh banyak di sekitaran Kampung Adat Boti. “Kami cari uang itu untuk beli sesuatu yang tidak kami buat di sini. Yang bisa kami buat di sini, ya tidak perlu membeli,” kata Namah.

Selain Fainmate, tempat ritual lainnya ada di dalam kampung. Bentuknya bundar seperti rumah khas sana. Namun hanya raja yang boleh masuk ke dalamnya. Namah mengatakan di dalam rumah ibadah tersebut tersimpan pusaka peninggalan leluhur.

Dengan ritual yang begitu kental, masyarakat Boti juga memiliki aturan. Mereka tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu. “Kalau ada televisi, nanti tradisi kami bisa luntur,” ujar Namah.

Meski penerapan ajaran leluhur sangat kental, Kerajaan Boti tetap terbuka terhadap pendidikan. Namah Benu mengatakan warganya tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dia mencoba menyatukan pengetahuan dari pendidikan formal dan tetap memelihara ajaran-ajaran tradisi. 

Dari satu keluarga yang mempunyai empat anak misalnya, dua anak harus sekolah formal dan sisanya belajar mengenai tradisi dan adat. Dengan demikian, warga Boti tetap bisa melestarikan adat dan tradisi leluhur tanpa teralienasi dari peradaban.

Warga Suku Boti menyiapkan peringatan meninggalnya ibu Raja di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian

Masyarakat Boti juga dikenal karena kebijakannya. Mereka tak menghukum pemcuri. Alasannya, pencuri jika barang curiannya habis terpakai, mereka akan mencuri lagi. Solusinya, masyarakat Boti mengumpulkan barang-barang dari seluruh kepala keluarga di Desa Boti, untuk diberikan kepada pencuri.

Bila mencuri hasil panen, misalnya pisang, maka warga menanam pisang sebanyak kebutuhan pencuri. Alam juga sangat dipelihara oleh masyarakat Boti. Bila ada seseorang menebang pohon, mereka menggantinya dengan menanam 5 sampai 10 pohon.

Anak-anak adat di lingkungan sonaf (kerajaan) dibagi menjadi dua. Sebagian diperbolehkan untuk bersekolah, sedangkan sebagiannya lagi tidak diperbolehkan demi menjaga dan meneruskan tradisi serta adat dari suku Botti ini.

Mereka yang tak bersekolah diajarkan kemandirian, untuk memenuhi kebutuhan sandang, dan papan seperti membuat menanam, membuat minyak goreng, memanen dan memintal kapas untuk menenun dan lain-lain.

Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus