Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Siang itu, dari stasiun Metro Sharaf DG, saya dengan kawan saya berjalan tergesa menuju hotel untuk dua alasan. Pertama, cuaca yang sangat panas dan menyengat perkiraan kami cuaca siang itu mencapai 30 derajat celcius, kedua kami mengejar waktu lantaran sekitar 20 menitan lagi, agen perjalanan akan menjemput untuk wisata Desert Safari, di kawasan dekat perbatasan Sharjah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pukul 14.40 waktu setempat, pihak perjalanan menjanjikan akan menjemput kami bertiga. Meleset 20 menit, seorang pria tinggi besar, usia kisaran awal 50-an, brewokan, dan berkacamata memasuki lobi hotel. “Safari, safari. Siapa di sini yang bernama Andreas?” tuturnya dengan nada tegas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jujur pertama kali melihat sosok dan mendengar suaranya, saya cukup kaget. “Kok dapat agen yang seram begini?”
Setelah memastikan bahwa ia menjemput orang yang tepat, pengemudi yang selanjutnya kami kenal dengan nama Choudry Muhammad Shakil itu mengarahkan kami menuju tempat ia memarkir mobil. Sebuah land Cruiser putih terparkir di seberang hotel. “Kita akan menjemput tamu lain dulu, baru mulai perjalanan,” ucapnya.
Tamu berikut yang dijemput Shakil tak jauh dari lokasi kami menginap, berjarak sekitar beberapa blok saja. Mereka wisatawan dari Bulgaria, sepasang suami istri bersama satu anak perempuannya menggenapkan jumlah orang yang diantar Shakil sore itu.
Sepanjang perjalanan menuju kawasan desert safari, Shakil tak banyak berbicara. Matanya awas menatap ke jalanan yang makin lama makin lengang. Gedung-gedung tinggi yang memenuhi sisi kanan-kiri jalan raya perlahan berubah menjadi bangunan-bangunan kecil, lalu lahan-lahan kosong.
Seolah menampakkan citra Dubai sebelum pembangunan besar-besaran dilakukan.
Wisatawan berfoto di kawasan padang pasir saat mengikuti perjalanan desert safari di Dubai. FOTO: Tempo/ Aisha Shaidra
Hampir satu jam perjalanan dilakukan sampai kami tiba di sebuah tempat peristirahatan. Shakil memberi tanda pada kami untuk menikmati suasana di sekitar, membeli cemilan, dan beristirahat sejenak sebelum memulai atraksi mengitari gurun pasir. “30 menit lagi kita berkumpul lagi di sini,” jawabnya pendek saat kami memastikan batas waktu.
Tak jauh dari area parkir, kami bisa melihat beberapa orang mengendarai ATV. Bisa dibayangkan, sebuah sepeda motor empat roda, dengan ban tinggi besar melaju di tengah hamparan pasir cokelat berkilau diterpa matahari yang sangat menyengat.
Raungan mesin, menutup samar suara para pengemudi yang berteriak kegirangan satu sama lain. Tak lama, sebuah kendaraan terguling, cukup repot ternyata mengembalikan bodi kendaraan satu itu. Cukup lama juga menunggu bantuan datang untuk mengembalikan posisi kendaraan. Semua itu kami saksikan dari jauh.
Selain mencoba wahana mengendarai ATV, di tempat persinggahan tersebut pengunjung bisa berfoto dengan unta. Tapi kesempatan serupa tetap bisa diperoleh saat perjalanan desert safari dimulai.
Sekitar 30 menit berlalu, Shakil menemui kami di parkiran. Ia menggembosi empat roda mobil terlebih dahulu. Lagi-lagi tanpa banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan mulai berani menggoda Monika, anak perempuan berusia 3 tahun, putri George dan Darina, kawan seperjalanan kami sore itu.
Begitu kami semua duduk di mobil, Shakil membagikan kantong plastik. Ia mewanti-wanti, terutama kepada Darina dan Monika yang duduk di bangku belakang. Shakil mengingatkan kalau desert safari yang berlangsung selama 30 menit bakal mengocok perut penumpang terutama anak-anak. Kalau merasa mual, kantong plastik berwarna hijau itu harus jadi barang pertama yang digunakan. “Jangan sampai mengotori mobil,” ujarnya tanpa menoleh ke belakang.
Perjalanan berlanjut, sekitar 10 menit kemudian LC yang dikendarai Shakil mulai memasuki kawasan gurun. Deru mobil lebih kentara terdengar. Ada sekitar 10 mobil serupa yang berjalan beriringan dengan mobil yang kami kendarai. Kadang berpencar, kadang bertemu di satu garis laju. Selewat saya merasa ini kok seperti sedang membuat iklan mobil untuk menguji ketangguhan di padang pasir.
Dan ya, tentu saja apa yang diwanti-wanti Shakil terbukti, baru memasuki sepuluh menit pertama, wajah-wajah antusias yang melihat hamparan gurun, perlahan pudar. Monika yang dari awal dikhawatirkan tak akan kuat malah masih berceloteh kegirangan saat mobil melintasi dan menuruni gunungan pasir. “O..Ow.. O..Ow,” celotehnya berulang setiap mobil melalui undakan sembari diiringi tawa. Sepanjang perjalanan, Shakil menyalakan radio lokal, lagu musikus lokal dan mancanegara turut melengkapi perjalanan sore nan terik. Kami tak diperkenankan menurunkan kaca jendela, sehingga foto-foto selama atraksi melintasi gurun pasir harus dinikmati dari dalam mobil tertutup.
Sampai di satu titik, Shakil menghentikan mobil. Ia persilakan kami untuk turun dan berfoto. Waktu sekitar lima belas menit jadi berharga untuk kami mengeksplorasi padang pasir. Tak ada apa-apa di sana, kecuali gunungan yang berbeda tinggi, atau permukaan pasir yang masih mulus, atau sudah terkena gilasan roda. Hal itu jadi modal sebagai latar foto yang direkam sebanyak-banyaknya.
Saat momen istirahat inilah, Shakil mulai terlihat lebih luwes dan lebih banyak berbicara. Usut punya usut, dia tergoda batu akik yang menghias cincin salah satu kawan kami. Dengan senyum lebar dan suara beratnya ia merangkul dan berseloroh “My brother!”
Peserta desert safari menikmati salah satu fasilitas perjalanan, naik dan berfoto dengan unta. FOTO: Tempo/ Aisha Shaidra
Saya dan satu kawan hanya bisa tergelak. Pemilik akik ini bercerita kalau ia tak mungkin memberikan batu itu kepada siapa pun. “Ini pemberian, sesuatu yang tak ternilai. Tidak mungkin saya berikan,” kawan saya coba menjelaskan. Shakil tergelak sambil terus menggenggam tangannya erat. Shakil bercerita kalau ia belum pernah melihat batu sebagus itu. Di negeri asalnya, di Pakistan sana tak ada batu secantik di Indonesia, tuturnya dengan nada serius.
Puas berfoto dan melobi batu akik, Shakil meminta kami kembali naik ke dalam mobil. Pemberhentian berikutnya jadi pemberhentian terakhir. Di sana kami bisa berfoto dan menaiki unta, lalu menikmati makan malam dan sajian hiburan khas timur tengah, salah satunya tari perut.
Saat momen menunggu matahari terbenam dan menikmati makanan pembuka kami pun sempat sedikit bertukar cerita dengan George yang ternyata dulunya seorang pembalap. Kehidupan pernikahan mengubah hidupnya 180 derajat, ucap George sembari menatap anak istrinya yang sedang bermain tak jauh dari tempat kami duduk. Obrolan dan suasana lebih kami nikmati ketimbang dua kerat kebab yang jadi makanan pembuka. Rasanya lebih enak kebab ala-ala langganan saya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Menu makan malam khas Timur Tengah pun tak banyak kami sentuh, rata-rata berkomentar tak cocok di lidah. Untungnya ada ayam bakar dan hummus serta potongan buah yang lebih berterima untuk mengganjal perut malam itu.
Salah satu atraksi yang ditampilkan dalam rangkaian desert safari di Dubai. FOTO: Tempo/ Aisha
Tiga tarian mulai beraksi setelah waktu magrib. Dua penari pria dan seorang penari perempuan tampil berturut-turut. Atraksi selesai pada pukul 20.30 waktu setempat. Kami beranjak meninggalkan Dubai Leisure.
Sekitar satu jam kemudian, kanan-kiri kami sudah kembali gedung-gedung tinggi yang menjulang. Shakil sudah menghantarkan kami kembali ke hotel. Ia masih berupaya bisa mendapatkan batu akik sampai akhirnya menyerah. “Saya berharap nanti ada yang memberikan saya batu sebagus itu,” tuturnya sambil tersenyum sebelum berpamitan. Dalam hitungan jam sebuah perjalanan, penilaian saya terhadap seorang pria tinggi besar, bersuara besar, dan irit kata-kata yang mulanya menakutkan lantas berubah, Shakil mungkin memang tak banyak bicara tapi ia pengemudi yang terampil, seorang bapak cukup jenaka dan sangat penyayang terhadap anak-anak.
Dan menikmati desert safari memang patut masuk daftar wajib kala berkunjung ke Dubai. Setidaknya, di sanalah kita bisa melihat wajah lain sebuah negeri yang gemerlap, terus membangun dari tahun ke tahun, dan selalu ingin menunjukkan diri sebagai jagonya memecah rekor di dunia.