Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Ambon - Masyarakat Ambon menyebut perempuan lokal yang berdagang dengan cara berkeliling sebagai papalele. Kata papalele berasal dari bahasa Portugis, papalvo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Marlon Ririmase mengatakan istilah papalele tidak secara resmi ditemukan dalam dialek Melayu Ambon. Papalele berasal kata papalvo, kata yang biasa digunakan orang-orang Portugis dengan arti orang kecil yang berusaha secara sederhana. "Banyak bahasa yang ditinggalkan dan masih kita pakai saat ini," kata Marlon kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akulturasi budaya membuat masyarakat setempat tidak melafalkan papalvo, melainkan papalele. Papalele tersusun dari dua kata, yaitu papa yang berarti membawa atau memikul dan lele berarti berkeliling. Secara harfiah, papalele bisa diartikan berkeliling dengan membawa atau memikul.
Bangsa Portugis datang mencari dan pada akhirnya memonopoli rempah-rempat asal Banda. Portugis, pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Ambon sekitar tahun 1513. Ambon, yang kemudian dikuasai Portugis, menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dunia. Salah satu jejak fisik peninggalan kekuasaan Portugis di Ambon berupa Benteng New Victoria.
Kepala Studi Masyarakat Kepulauan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Indonesia Maluku, Pieter Soegijono saat diwawancara Tempo, Selasa, 1 Desember 2020. TEMPO | Khairiyah Fitri
Kepala Studi Masyarakat Kepulauan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Maluku, Pieter Soegijono mengatakan, ada perubahan pemaknaan kata papalele. Di Maluku dan sekitarnya, papalele dikonotasikan dengan kaum perempuan yang sehari-hari berkeliling menjajakan barang dagangannya yang dipikul di atas kepala.
Sejatinya, menurut Pieter, papalele tidak hanya bisa dilakukan kaum perempuan, tapi juga laki-laki. Bahkan papalele bukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan. "Seiring waktu jumlah papalele lelaki berkurang dan hilang," kata Pieter. Perempuan papalele identik dengan kebaya dan kain cele yang melekat di tubuh mereka.
Pieter menjelaskan, penampilan itu menjadi penanda kelas sosial pada masa lalu. Anak-anak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi harus memakai kebaya. Mereka juga terpaksa berjualan di pasar atau tinggal di rumah. Sebaliknya, anak perempuan yang berkecukupan dan mampu melanjutkan sekolah mengenakan pakaian biasa atau kalet.
Ketika meneliti perempuan papalele dan non-papalele, Pieter menemukan beberapa fenomena menarik. Salah satunya adalah perempuan yang sukses bekerja di kantor akan memakai busana biasa atau seragam ketika bekerja. Tapi sampai di rumah, dia memakai kebaya. Hingga kini, sebagian besar perempuan yang berjualan di pasar memakai kebaya.
Sebagian besar dari mereka, menurut Pieter, adalah orang yang sangat sederhana dan pendidikannya terbatas. "Itu akibat subordinasi struktural yang sejak dulu menempatkan perempuan di level bawah. Kalau perempuan tidak bersekolah, maka dia ada di rumah saja atau berjualan di pasar," kata Pieter.
Aktivitas ekonomi papalele tidak berbeda dengan pedagang pada umumnya. Mereka membeli barang atau membawa hasil kebun untuk dijual kembali. Namun, di balik aktivitas ekonomi itu, papalele menjujung tinggi kemanusiaan, kepercayaan, dan kesetiaan. Pieter menemukan banyak papalele memberikan kelonggaran pembayaran kepada pelanggannya. "Mereka sering bilang, 'ambil saja dulu, besok kalau sudah ada uang baru bayar'," kata Pieter menirukan ucapan papalele.
Sementara dalam aktivitas ekonomi modern dan kapitalis, menurut Pieter, mustahil seorang pedagang menyerahkan dagangannya kepada orang asing dan menerima pembayaran di lain waktu. Inilah salah satu yang membuat papalele berbeda dari pedagang biasa. Papalele membangun kepercayaan serta hubungan sosial dengan pelanggan, sehingga membuat orang lebih bersimpati.
Ini juga yang menjadi alasan papalele mampu bertahan di tengah gempuran teknologi dan persaingan ekonomi modern. Mereka juga saling menopang karena sesama papalele tidak berkompetisi. Pieter mencontohkan, apabila dagangan seorang papalele habis terjual, maka mereka akan mengarahkan pelanggan untuk membeli dagangan rekannya.
Ketika terjadi konflik agama pecah di Ambon pada 1999, seluruh aktivitas ekonomi lumpuh. Warga Ambon yang sebelumnya berbaur, terbelah menjadi dua kawasan, yakni muslim dan non-muslim. Sebagian besar muslim tinggal di kawasan kota, pusat perdagangan, dan pelabuhan. Sementara yang non-muslim bermukim di lokasi yang cukup jauh dari pusat kota. Kondisi ini mengakibatkan peredaran barang atau kebutuhan pokok hanya terpusat pada kawasan yang dihuni mayoritas warga muslim.
Dalam situasi itu, papalele memainkan peran sebagai pemasok kebutuhan pokok. Papalele yang muslim, kata Pieter, secara sukarela mengantarkan kebutuhan bahan pokok kepada papalele non-muslim untuk dijual kembali di kawasan mereka. Keduanya bertemu di wilayah perbatasan yang aman, yaitu di Asrama PHB Kompleks Angkatan Darat, Jalan DI Panjaitan.
"Mereka punya kekuatan berjejaring yang sangat luar biasa. Itu terbukti saat konflik terjadi," kata Pieter. Saat orang lain meributkan kepercayaan mereka, papalele tak ambil pusing apakah kamu papalele muslim atau papalele non-muslim. Mereka saling memberi dan saling percaya. "Padahal saat itu pasar lumpuh total dan mereka sama-sama punya kesulitan ekonomi."
Papalele punya kode khusus sebelum bertransaksi untuk memastikan kondisi aman. Dibantu petugas keamanan, papalele akan bertanya dulu kepada aparat apakah situasinya aman dan memungkinkan untuk jual-beli. Seusai memastikan kemanan, mereka lantas saling memberi barang dagangan tanpa ada pembayaran. "Karena mereka percaya sesama papalele tidak akan ingkar janji," kata Pieter. "Papalele menanamkan nilai-nilai dalam relasi sosial bahwa kepercayaan adalah yang utama."