Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Gaung menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu pusat fashion setahun belakangan terus menggema. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X pun telah menargetkan, para pegiat fashion yang ada di Kota Gudeg dapat berkontribusi mewujudkan cita-cita Yogyakarta sebagai pusat fashion dunia itu pada 2028.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai upaya digenjot Pemerintah DIY salah satunya melalui gelaran Jogja Fashion Week sebagai ruang berbagi ilmu dan berekspresi para pegiat fashion baik dari Yogya dan mancanegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, bagaimana persiapan dan strategi di kalangan desainer membangun industri fashion di Yogyakarta untuk mewujudkan mimpi besar Yogya pusat fashion dunia itu?
“Yang perlu dipegang pertama desainer adalah menjadikan karya sebagai poros utama di dunia fashion,” kata Sutardi, salah satu pegiat fashion populer asal Yogyakarta pada Rabu, 24 Januari 2024.
Pendiri brand Farah Button yang telah mengembangkan bisnisnya melalui belasan toko di Yogyakarta, Bali, dan Tegal itu menuturkan bahwa pegiat fashion perlu jeli melihat tren fashion dunia yang terus berkembang pesat saat ini dalam acuan karyanya.
"Seperti awal 2024 ini, kita lihat tren dunia konsisten dengan desain yang simple, meskipun pemilihan warna juga tetap menjadi fokus, sehingga pasar bisa memilih sesuai minat masing-masing," kata Sutardi yang selama ini aktif di berbagai ajang perhelatan fashion nasional itu.
"Berkaca dari tren itu, kita bisa menyiapkan karya yang penuh warna, didominasi warna cerah dan neon, tapi tidak meninggalkan warna netral yang soft seperti hitam, putih, dan clay sebagai warna dasar fashion," imbuh pegiat fashion yang merintis brandnya sejak 2016 silam.
Desainer yang dalam produksinya melibatkan 300 orang UMKM di sejumlah rumah konveksi Yogyakarta itu menuturkan pegiat fashion perlu terus mengobeservasi keinginan pasar. Dengan mempelajari dinamika setahun ke belakang terutama permintaan atau produk apa yang paling sering dicari.
"Desainer perlu membuat karya tanpa meniru dan menjadi trendsetter," kata dia.“ Percayalah bahwa tren yang kamu ciptakan akan diminati oleh pasarmu dengan karya hasil observasi tersebut,” tuturnya.
Sutardi menuturkan untuk menggerus kebosanan pasar tak lain dengan intens mengeluarkan karya dan menciptakan produk baru dari bahan dan desain baru tanpa menghilangkan ciri khas.
"Kemasan karya juga harus lebih baik lagi agar tampak elegan. Sebab, penampilan produk akan membuat pelanggan lebih sayang dengan apa yang mereka dapat," ujarnya.
Pada 2024 ini, Sutardi menilai pasar fashion juga semakin cerdas, sehingga perlu untuk desainer meningkatkan kualitas baik bahan dan jahitan serta pola yang lebih baik lagi.
"Jangan ragu produksi ulang produk best seller sampai permintaan terpenuhi, sembari tetap pendekatan lebih kepada pasar," kata dia. “Jangan ragu minta masukan pasar terhadap produk fashion yang sudah diluncurkan, bukan minta pujian, agar kualitas makin meningkat,” Sutardi menambahkan.
Sutardi menurutkan fashion merupakan industri yang terbuka sehingga antara produsen dan konsumen harus berelasi baik.
"Misalnya membuat apresiasi ke pelanggan, jika memungkinkan dan tersedia budget, berikan gift beserta katalog terbaru," kata dia.
Meski demikian, Sutardi mengingatkan tiap desainer fashion menjaga produktivitas. "Jangan lupa membuat karya baru, bisa setiap bulan, agar pasar punya banyak pilihan dengan produk yang ada,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO