Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palu -Hampir setiap hari Su’ud keluar masuk Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Memacu motornya sejauh lima kilometer, melintasi kebun kakao, memarkir motor di kebun warga, lalu ia berjalan kaki menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai. Apa sebenarnya yang hendak dilakukannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuannya adalah menemukan telur Burung maleo (macrocephalon maleo), kemudian membawanya ke penangkaran dalam hutan Kawasan Taman Nasional. Tempt itu berjarak 7 kilometer dari Desa Saluki.
Desa Saluki terletak pada poros jalan provinsi penghubung Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah dengan sejumlah desa di Kecamatan Kulawi. Desa ini masuk ke wilayah Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya Saluki, Desa Tuva yang juga masuk wilayah Kecamatan Gumbasa; serta Kadidia dan Kamarora, yang masuk Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi, semuanya merupakan tempat maleo hidup.
Su’ud biasanya menemukan telur maleo dalam lubang-lubang yang memiliki tanda cakar. Satu lubang hanya berisi satu telur maleo. "Kalau ada cakaran baru, itu sudah pasti ada telurnya," kata Su’ud, Selasa, 12 Desember 2017.
Untuk mendapatkan telur maleo, petugas Taman Nasional seperti Su’ud harus adu cepat dengan beberapa warga. Ada sembilan titik lokasi bertelurnya maleo di sekitar hutan Saluki. "Jadi pada pagi-pagi benar, petugas sudah harus ada di lokasi, sebab jika terlambat, biasanya sudah ada orang atau masyarakat yang lebih dahulu mencari telur-telur maleo di dalam lubang."
Dalam area penangkaran Taman Nasional itu terdapat beberapa mata air yang terus mengepulkan uap sepanjang hari. Uap muncul itu dari air panas yang berada di bawah permukaan tanah. Sekitarnya dikpepohonan yang tumbuh rapat. Sistem penangkaran maleo semi alami ini dibuat oleh Balai Besar Taman Nasional sejak tahun 1998.
Daya tampung tempat penangkaran mencapai 100-150 butir telur. Namun hanya sekitar 50 telur saja yang tengah ditangkar. Telur maleo yang Su’ud bawa kemudian ditanam di dalam lubang seukuran tempat alami maleo menetaskan telur. Cara meletakkan telur pun harus benar, atau jika tidak, telur tak akan menetas.
Masa penangkaran telur maleo berlangsung selama 65-95 hari. Setelah menetas, anak maleo berumur dua bulan bisa dilepas ke alam bebas, hidup dan berkembangbiak di dalam habitatnya.
Hutan yang memiliki hamparan sumber air panas ini cocok bagi maleo. Air panas memang menjadi satu faktor penting bagi maleo. Tanpa sumber air panas, maleo tak akan bertelur.
Maleo yang merupakan burung khas Wallacea, menetaskan telur tidak dengan cara mengeraminya, tapi ditanam di dalam tanah. Karena telur ditanam dalam tanah, predator maleo adalah biawak, dan juga manusia.
Manusia mengincar burung bahkan telur maleo karena banyak peminat yang menawarkan harga tinggi. Kini dalam Taman Nasional itu terdapat populasi burung maleo yang berjumlah 900-an ekor. Setiap bulan ada 10-15 ekor maleo hasil penangkaran yang dilepas ke alam bebas.
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang sebagian wilayahnya berada di Kabupaten Poso dan Sigi menjadi satu dari tempat hidup burung maleo. Mereka hidup dan berkembangbiak di alam bebas pada beberapa lokasi dalam kawasan Taman, seperti di Tuva dan Saluki, Kadidia atau Kamarora.
Burung ini terbilang unik. Mereka Anti-poligami, pingsan dalam kurun waktu tertentu setelah bertelur, dan selalu terbang berpasangan. Ada saatnya burung kepala besar itu terbang sendiri, yang berarti pasangannya sudah mati.
Lokasi penangkaran Taman Nasional Lore Lindu terpaksa tanpa penjagaan pada malam hari. Semua petugas, seperti halnya Su'ud, sudah turun ke desa. Jam dinasnya hanya berlangsung dari pagi hingga siang hari.
Meski masih marak pemburu burung dan telur maleo, Balai Besar Taman Nasional bisa sedikit lega. Ada kelompok "Cagar Maleo" Desa Tuva dan Saluki sejak tahun 2005. Seperti halnya Su'ud, mereka peduli terhadap populasi maleo.
ANTARA