Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPOTONG pesan pendek menyusup ke telepon seluler Hadiyani awal pekan lalu. Tertulis sebuah kalimat bernada mengancam: ”Jangan perkeruh masalah dan melibatkan media!” Hadiyani adalah istri Abdul Hadi Djamal, tersangka penerima suap proyek infrastruktur yang dibiayai anggaran stimulus pemerintah 2009. Ini bukan pesan pertama yang ia terima. ”Keluarga sudah beberapa kali menerima teror dan tekanan,” kata Firman Wijaya, pengacara Abdul, menunjukkan kiriman pesan pendek untuk Hadiyani tersebut.
Teror itu menjadi episode lanjutan cerita pengungkapan suap proyek setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Abdul pada 2 Maret lalu. Ketika itu, politikus Partai Amanat Nasional ini ditangkap bersama Darmawati H. Dareho, Kepala Tata Usaha Distrik Navigasi Tanjung Priok Departemen Perhubungan, di bawah Jembatan Casablanca, Jakarta. Di mobil Honda Jazz milik Darmawati yang ditumpangi Abdul, petugas menemukan US$ 90 ribu dan Rp 54,5 juta—total sekitar Rp 1 miliar. Dengan bukti di tangan itu, Komisi menetapkan Abdul, yang juga anggota Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, dan Darmawati sebagai tersangka penerima suap.
Kepada penyidik, Abdul mengaku uang itu pemberian Hontjo Kurniawan, Komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, Surabaya, yang kerap mengerjakan proyek dari Departemen Perhubungan. Komisi Pemberantasan Korupsi pun telah memaparkan bahwa suap Hontjo terkait dengan proyek Lanjutan Pembangunan Fasilitas Laut dan Udara yang diincarnya. Proyek ini akan dibiayai bujet stimulus. Termasuk pengembangan Pelabuhan Selayar, Bandara Toraja, dan dermaga di Sulawesi Selatan.
Hontjo diketahui memberikan uang kepada Abdul sebanyak tiga kali. Setoran pertama, Rp 1 miliar, diserahkan Abdul kepada Jhonny Allen Marbun, politikus Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua Panitia Anggaran. Setoran kedua US$ 70 ribu. Menurut Firman, dari jumlah ini, US$ 30 ribu dipegang Abdul untuk diserahkan ke orang lain. Hingga Abdul tertangkap, uang itu masih di tangannya dan kini telah disita Komisi Pemberantasan Korupsi. Sisanya, US$ 40 ribu, telah diberikan Abdul kepada seseorang. Uang ini juga sudah dikembalikan ke Komisi.
”Tapi bukan Abdul Hadi yang mengembalikan. Dia belum menyebutkan siapa orang yang menerima uang itu,” ujar Firman. Sumber Tempo lain menyebutkan orang yang mengembalikan uang itu anggota Dewan. ”Tentu saja bukan dia yang datang, tapi utusannya,” ujarnya. Nah, setoran ketiga adalah US$ 90 ribu dan Rp 54,5 juta yang ditemukan di dalam mobil Darmawati.
Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri sampai kini terus bergerak mengumpulkan bukti lain. Rabu pekan lalu, misalnya, sejumlah aparat Komisi menggeledah ruang kerja Abdul di lantai 19 gedung Dewan dan rumahnya di bilangan Kayu Putih, Rawamangun, Jakarta. Dari ruang kerjanya, Komisi mengangkut sekitar 27 item barang milik Abdul. Di antaranya surat-surat dan dokumen yang diunduh dari komputer Abdul.
Bagi Firman, tekanan terhadap Abdul dan keluarganya dalam bentuk ”SMS liar” itu semakin memberikan indikasi kliennya tidak bermain sendirian. ”Ada yang khawatir dengan pernyataan-pernyataannya,” ujarnya.
Selasa pekan lalu, Abdul memunculkan nama baru yang mengejutkan banyak orang: Rama Pratama, anggota Panitia Anggaran dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Ia juga menyebut Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan. ”Ini memang terkait dengan aktivitas di Panitia Anggaran dan Departemen Perhubungan,” ujar Firman.
Abdul lantas menyebut sebuah pertemuan yang digelar di Hotel Four Seasons—sebelumnya ia menyebut Hotel Ritz-Carlton, yang lalu diralatnya—di lantai 12 suite room pada 19 Februari lalu. Pertemuan yang sifatnya informal itu, kata dia, diprakarsai Jhonny Allen untuk membahas penambahan bujet stimulus infrastruktur. ”Rama salah satu yang mengajukan inisiatif menaikkan dana stimulus dari Rp 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun,” ujar Abdul.
Nah, dalam pertemuan itu, disepakati dana tambahan stimulus akan dibagikan kepada pemimpin dan anggota Dewan sebagai imbalan atas ”hak aspirasi” serta sejumlah pejabat Departemen. Berapa persisnya nilai dana yang akan dibagi itu, Abdul mengaku lupa. ”Tanya Pak Anggito.”
Cerita Abdul ini tak pelak ”menampar” Rama. Sebelumnya, kepada Tempo, Jhonny dengan keras menampik pernah menerima duit dari Abdul (Tempo edisi 16-22 Maret 2009). Jhonny tak bisa lagi dikontak untuk dimintai konfirmasi ihwal pertemuan di Hotel Four Seasons. Dia tidak menjawab panggilan dan pesan pendek yang dikirimkan Tempo ke telepon selulernya.
Rama Pratama dengan keras menampik keterangan Abdul. Ia menuding Abdul melakukan kampanye hitam untuk menyudutkan dirinya dan Partai Keadilan Sejahtera. Rama menggelar konferensi pers untuk membantah keterangan Abdul. ”Dia bilang semua fraksi, tapi cuma PKS yang disebut spesifik dan berulang kali,” kata Rama.
Rama menegaskan tidak mengikuti pertemuan informal yang diadakan di luar Dewan. ”Saya bersumpah demi Allah tidak menerima uang sepeser pun dari Hadi Djamal,” katanya. Menurut Rama, pada tanggal yang disebut Abdul itu, ia tengah berada di posko Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta Timur. Rama, yang tengah berkampanye untuk bisa masuk Dewan lagi, menuntut Abdul mencabut pernyataannya. ”Jika tidak, Senin akan saya laporkan ke polisi,” ujarnya.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring juga meminta Abdul tak asal bicara. ”Kalau tertangkap tangan, jangan tembak sana tembak sini,” katanya. Kendati demikian, Tifatul menyatakan partainya pasti akan menindak kadernya jika terlibat korupsi. ”PKS tidak akan jadi bunker koruptor.”
Sebaliknya, Anggito Abimanyu, meski tidak menyebut tempat, mengakui memang ada pertemuan informal di luar kantor Dewan. ”Seingat saya ada dua kali pertemuan, pernah juga di kantor pajak,” katanya kepada Tempo. Ia mengaku datang bersama seorang direktur dari Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan. ”Saya datang karena diundang.” Menurut dia, pertemuan semacam itu sudah biasa dan ada notulennya. Tapi, tentang penambahan dana stimulus, Anggito menyatakan masalah itu dibahas di forum resmi Panitia Anggaran.
Sejumlah petinggi Panitia Anggaran terkesan enggan menjawab soal pertemuan di Hotel Four Seasons yang disebut Abdul itu. Wakil Ketua Panitia Anggaran, Suharso Monoarfa, hanya menekankan pertemuan atau lobi bukan hal yang dilarang. ”Ini seakan-akan menjadi barang haram, padahal bisa untuk memecah kebuntuan atau menyamakan persepsi,” kata anggota Fraksi Persatuan Pembangunan itu. Soal penambahan dana, anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral ini mengatakan hal itu diputus dalam rapat Panitia Anggaran yang berlangsung pada 23-24 Februari lalu.
Harry Azhar Aziz, Wakil Ketua Panitia Anggaran lainnya, menyatakan tak pernah diberi tahu adanya pertemuan di hotel itu. Menurut Harry, proyek yang disetujui dalam program stimulus bisa saja memang berasal dari usul pengusaha kepada departemen teknis. Soal dana stimulus, senada dengan Suharso, anggota Fraksi Partai Golkar ini mengatakan tambahan Rp 2 triliun sesungguhnya sangat kecil dampaknya.
Sumber Tempo menyebutkan pertemuan informal di Hotel Four Seasons memang ada dan dihadiri semua fraksi Dewan. Tapi dia tak memerinci apa saja yang menjadi bahasan. ”Sekarang kotak pandora mulai terbuka,” katanya. Abdul sendiri tak gentar dengan ancaman yang dilemparkan Rama. ”Bilang sama Pak Rama, istigfar (minta ampun) sama Allah,” ujar bapak empat anak itu. Ia juga menyebutkan ada rekaman video yang merekam kedatangan Rama.
Soal rekaman ini, sumber Tempo menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi memang tengah mengumpulkan rekaman CCTV milik Hotel Four Seasons. Didatangi pekan lalu, juru bicara Four Seasons, Waristi Amilia, menolak memberikan keterangan menyangkut kasus ini. ”Kami belum bisa mengeluarkan pernyataan apa-apa,” ujarnya.
Wakil Ketua Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah tak mau berbicara perihal rekaman yang disebut Abdul. Ia hanya menegaskan Komisi pasti akan menelisik semua keterangan yang diberikan Abdul. ”Tapi bukan berarti kami langsung memanggil semua nama yang disebut, apalagi menjadikan mereka tersangka,” ujarnya. Chandra menjamin Komisi pasti akan menyeret semua orang yang terlibat kasus ini.
LRB, Adek Media, Anne L. Handayani, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo