Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA seperti ditarik ke abad lalu ketika berita tentang kasus ”Syekh Puji” menjadi perdebatan panas. Pengusaha kerajinan kuningan dan pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah itu akhirnya ditahan, Senin pekan lalu, dengan tuduhan melanggar Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pujiono Cahyo Widianto, 43 tahun, yang mengaku menikahi Lutfiana Ulfa, 12 tahun, memberikan serangkaian alasan yang tetap tak bisa diterima polisi dan masyarakat umum. Seorang bocah perempuan 12 tahun—apa yang bisa kita bayangkan? Pada usia yang memasuki periode pubertas, Ulfa seharusnya tengah sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah matematika, atau mengaji, atau bermain bersama teman-teman seusianya. Romansa? Mungkin yang paling wajar, anak seusia ini baru mulai berani mengagumi lawan jenisnya dan sibuk membicarakannya dengan teman sesama perempuan di sekolah.
Lalu, Pujiono menarik Indonesia kembali ke abad-abad lalu, ketika anak-anak remaja perempuan dikawini oleh lelaki paruh baya yang usianya sepantar dengan ayah sang anak. Pada abad ini, dan di negara yang masih terus-menerus membentuk dirinya ini, ada yang bernama Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan usia minimal untuk calon mempelai, yakni 16 tahun untuk perempuan. Lebih jauh lagi, ada yang disebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Asumsinya, katakanlah orang tua sang remaja di bawah usia 16 tahun itu—atau walinya—ternyata tak bisa melindungi sang anak dari hasrat lelaki, negaralah yang melindungi dengan undang-undang ini. Perkawinan Pujiono dengan Ulfa jelas melanggar ketentuan undang-undang tersebut, karena telah terjadi perkawinan di bawah umur. Pelanggaran ini dianggap mendasar karena sang anak telah kehilangan haknya untuk bermain dan mengembangkan kreativitas sebagai anak; juga ketidaksiapan sang anak untuk berperan sebagai orang tua—dan bukan sebagai anak lagi.
Pujiono memberikan serangkaian alasan. Katanya, Ulfa, remaja yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolah itu, sudah dewasa dan kelak akan diwarisi ilmu mengelola perusahaan sejak dini. Alasan lain—ini alasan yang sering betul digunakan oleh para lelaki (tua) yang berhasrat mengambil istri yang (sangat) muda—mengikuti jejak Kanjeng Nabi.
Debat tentang ”mengikuti jejak Kanjeng Nabi” sudah berkali-kali dijelaskan oleh para ahli agama, ahli tafsir, dan kolumnis di berbagai media, termasuk majalah ini. Sudahlah. Jangan menggunakan alasan yang seolah-olah religius. Kita semua tahu, itu alasan kuno yang cuma digunakan sebagai dalih. Manusia biasa seperti kita tak mungkin bisa mendekati sejengkal pun jejak Nabi yang bercahaya.
Alasan ekonomi? Silakan mengajar, mendidik, atau bahkan memberikan beasiswa kepada pelajar yang berprestasi seperti Ulfa dan kawan-kawannya. Kekuatan ekonomi ”Syekh Puji”, misalnya, akan jauh lebih bermaslahat bila diberdayakan menjadi bagian dari pemberantasan kemiskinan, terutama di kalangan pedesaan di sekitarnya.
Banyak cara, banyak institusi, dan banyak strategi yang bisa dilakukan untuk mengembangkan dan mewariskan ilmu kepada generasi muda. Dan caranya bukan hanya dengan mengawini. Biarkan Ulfa dan kawan-kawan menikmati masa kanak-kanak dan remajanya, sesuai dengan fitrahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo