Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jejak Lama di Santa Cruz

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMAKAMAN Santa Cruz, Dili, Timor Leste, 12 ­November 1991. Ribuan warga Timor mengarak poster dan bendera Fretilin sembari berteriak, ”Viva Xanana!” Massa bernyanyi dan memekik. Suasana riuh-rendah. Tentara Indonesia berjaga di sudut-sudut jalan dengan senjata siaga.

Unjuk rasa hari itu tepat dua pekan setelah kematian Sebastiao Gomes Rangel, pemuda Timor Leste yang dibunuh milisi prointegrasi di Gereja Motael, Dili. Gomes dimakamkan di Santa Cruz. ”Seusai misa di Gereja Motael, pemuda-pemuda Timor mengeluarkan spanduk dan poster dari balik baju mereka dan mulai bergerak ke arah pemakaman,” kata Allan Nairn, jurnalis Amerika Serikat yang hari itu ada di Dili. Kesaksian itu dia disampaikan dalam sebuah diskusi East Timor Action Network, di New York, empat tahun setelah insiden Santa Cruz.

Sekitar pukul delapan pagi, massa semakin padat. Komandan Sektor C/Khusus Dili Kolonel Binsar Aruan memerintahkan pasukan Brigade Mobil menyekat massa dengan membentuk barikade di belakang demonstran. ”Pasukan Indonesia terus bergerak maju, mendekati massa yang terkepung,” kenang Allan Nairn. Komandan Kompi Gabungan Letnan Dua Sugiman Mursanib berteriak memerintahkan pasukannya melepas tembakan peringatan ke udara. Mendadak serentetan tembakan terdengar. Massa di bagian belakang roboh. Sisanya bubar, tunggang-langgang.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste memperkirakan sedikitnya 200 orang tewas dalam insiden itu. Nyaris semuanya tewas dengan peluru di atas badan, yang menandakan penembakan sengaja diarahkan ke tubuh.

Peristiwa nahas 18 tahun silam itu kini muncul lagi dalam buku tentang Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang diluncurkan dua pekan lalu. Tak sampai sebulan setelah penembakan Santa Cruz, Sintong dicopot dari posisinya sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX Udayana. Sejak itu, karier militernya, yang semula cemerlang, meredup.

”Ada kemungkinan keterlibatan pihak ketiga dalam insiden 12 November 1991 di Dili,” kata Sintong dalam buku itu. Dia mengarahkan kecurigaannya kepada kelompok lokal yang prointegrasi dan tentara Indonesia di Timor Leste yang ”dibina oleh orang berpengaruh di Jakarta”. Penulis buku ini, Hendro Subroto, mengelak ketika ditanyai siapa yang dimaksud Sintong. ”Tidak etis untuk menyebutnya sekarang,” kata Hendro. Eurico Guterres, tokoh kelompok pro-Indonesia di Timor Leste, membenarkan dugaan Sintong. ”Tentara yang menembak massa di Santa Cruz tidak dikontrol oleh Sintong,” katanya pekan lalu.

Dalam laporannya yang dirilis April tahun lalu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste menemukan sejumlah kesaksian yang menyebutkan penembakan dilakukan oleh belasan prajurit dari Kompi A Batalion 303. ”Sejumlah tentara bertelanjang dada menembak dari dalam Taman Makam Pahlawan Seroja yang berseberangan dengan Santa Cruz,” tulis laporan itu.

Dalam bukunya, Sintong juga mengaku tidak mengerti mengapa para prajurit itu ada di lokasi. ”Sebagian anggota batalion itu sedang diistirahatkan dari operasi karena stres dan jenuh di hutan. Mengapa mereka ada di Santa Cruz?”

Sumber Tempo menyebutkan kecurigaan Sintong mengarah kepada Prabowo Subianto. Sintong dan Prabowo memang sudah lama tak akur. Letnan Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, kawan dekat Prabowo, saat itu adalah Wakil Komandan Satuan Tugas Intelijen di Timor Timur. ”Pak Sintong curiga karena Prabowo sering datang ke Dili, menemui Sjafrie, padahal Prabowo sudah tidak bertugas di sana,” kata seorang perwira yang pernah bertugas di Timor Leste.

Prabowo juga sering menemui tokoh kelompok pro­integrasi garis keras, seperti Bupati Manatuto, Abilio Jose ­Osorio Soares. Setelah peristiwa Santa Cruz, Abilio diangkat menjadi Gubernur Timor Timur menggantikan Mario Viegas Carrascalao.

Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, mantan Komandan Satuan Tugas Intelijen pada Komando Pelaksana Operasi di Timor Timur, menegaskan bahwa laporan bakal adanya unjuk rasa besar di Dili sebenarnya sudah diketahui jauh-jauh hari. ”Karena itu, saya tidak mengerti mengapa tidak ada pasukan dan kendali memadai untuk mengantisipasi,” katanya. Gatot sendiri dipecat pasca-insiden Santa Cruz.

Menurut Gatot, demonstrasi itu dirancang untuk memancing kemarahan tentara Indonesia. Penusukan atas Mayor Andi Gerhan Lantara, Wakil Komandan Batalion Infanteri 700/Linud, pada saat unjuk rasa berlangsung juga bagian dari skenario itu.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga kawan dekat Prabowo, Fadli Zon, menilai semua tuduhan dalam buku biografi Sintong Panjaitan mengada-ada. Dia juga membantah ada kaitan antara Prabowo dan insiden Santa Cruz. ”Itu ngawur,” katanya pendek.

Wahyu Dhyatmika, Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus