Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Empat anak yang diduga menjadi korban salah tangkap sudah divonis bersalah.
Insiden salah tangkap akan terus berulang selama sistem peradilan pidana tidak diperbaiki.
Polisi kerap mengejar pengakuan tersangka dengan berbagai cara.
PERKARA pengeroyokan dan penganiayaan yang melibatkan empat anak di bawah umur di Tasikmalaya, Jawa Barat, memasuki babak baru. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya yang menyidangkan empat anak tersebut dilaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran etik. "Ada banyak pelanggaran yang kami soroti, termasuk putusan yang tidak mempertimbangkan fakta persidangan," kata Nunu Mujahidin, kuasa hukum empat anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, Rabu, 5 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan ke Komisi Yudisial, Nunu menuding hakim bertindak tidak profesional dan mengabaikan prinsip peradilan yang adil. Di antaranya hakim menerbitkan penetapan penahanan dua kali dalam kasus yang sama sehingga memperpanjang masa penahanan anak-anak tersebut. “Dalam satu hari pada 6 Januari, hakim mengeluarkan dua putusan yang bertentangan,” ucap Nunu. “Pertama, memutuskan bebas keempat anak. Namun pada hari yang sama menetapkan penahanan kembali.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dian Sasmita (kiri), saat rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR membahas kasus empat terdakwa anak yang diduga salah tangkap di Tasikmalaya, di Kompleks DPR, 21 Januari 2025. Kpai.go.id
Adapun untuk indikasi pengabaian fakta di persidangan, kata Nunu, terlihat ketika hakim mengesampingkan keterangan ahli yang menyebutkan pemeriksaan anak-anak tanpa pendampingan tidak sah. Sementara itu, polisi memeriksa keempat anak itu tanpa pendampingan kuasa hukum ataupun orang tua. Hasil pemeriksaan itu kemudian dijadikan dasar dakwaan di persidangan. "Kami ingin KY bertindak dan memberikan sanksi jika memang terbukti ada pelanggaran," ujar Nunu.
Empat anak yang berhadapan dengan hukum itu adalah FM, 17 tahun, RS (16), DW (16), dan RR (15). Mereka didakwa terlibat pengeroyokan dan penganiayaan terhadap Muhamad Taopik dan Aji Gustiawan di Jalan M. Wijaya Praja, Kelurahan Sambongpari, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, pada 17 November 2024.
Peradilan Empat Anak di Tasikmalaya17 November 2024 |
Perkara ini sempat menjadi sorotan masyarakat karena diduga empat remaja itu menjadi korban salah tangkap. Dugaan itu menyusul adanya indikasi pelanggaran prosedur yang dilakukan polisi untuk mendapat pengakuan dari empat remaja tersebut. Apalagi dalam persidangan, sejumlah saksi menyatakan tidak tahu siapa pelaku pengeroyokan karena saksi tak melihat langsung kejadiannya.
Namun, dalam persidangan pada 23 Januari 2024, majelis hakim secara bulat menyatakan empat remaja itu terbukti bersalah. Masing-masing diganjar hukuman 1 tahun 8 bulan penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Bandung. Putusan ini lebih ringan empat bulan dibanding tuntutan jaksa. Tim kuasa hukum empat remaja itu langsung menyatakan banding atas putusan tersebut.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai proses peradilan terhadap empat anak di Tasikmalaya itu mencerminkan problem sistemis dalam peradilan anak di Indonesia. Menurut dia, ada banyak kasus serupa yang bermula dari salah tangkap, penyiksaan, dan pelanggaran prosedur hukum.
LBH, kata Isnur, banyak menerima aduan anak-anak dituduh tanpa bukti kuat serta diperiksa oleh polisi tanpa penasihat hukum, pendamping sosial, ataupun orang tua. “Dalam kondisi seperti ini, hakim seharusnya memutus niet ontvankelijk verklaard atau perkara tidak dapat diterima," tutur Isnur.
Pemeriksaan anak tanpa pendampingan merupakan pelanggaran serius, bahkan sudah dikategorikan kejahatan. Jika terbukti ada penyiksaan atau pemaksaan pengakuan, Isnur melanjutkan, polisi yang terlibat harus dipidana.
Insiden salah tangkap yang disertai penyiksaan terjadi di banyak daerah. Ia mencontohkan kasus pembunuhan di Cipulir, Jakarta Selatan, beberapa tahun lalu. Polisi memeriksa sejumlah pengamen jalanan, di antaranya anak-anak, tanpa pendampingan. Mereka dipaksa mengakui pembunuhan tersebut. "Sangat sering terjadi polisi menyiksa demi mendapatkan pengakuan,” kata Isnur.
Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, memang ada mekanisme praperadilan untuk mengoreksi dugaan pelanggaran dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Pada dasarnya, praperadilan mempersoalkan keabsahan prosedur penanganan perkara. Namun praperadilan ini secara otomatis gugur bila pokok perkara sudah masuk ke pengadilan.
Aparat Kepolisian Resor Kota Tasikmalaya berjaga di luar ruang sidang saat sidang putusan kasus penganiayaan dengan empat terdakwa anak di bawah umur, di Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Jawa Barat, 23 Januari 2025. TEMPO/Sigit Zulmunir
Dosen hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menekankan bahwa hakim tidak bisa begitu saja menerima berkas dari jaksa sebagaimana jaksa tak bisa menerima begitu saja dari polisi. "Hakim punya penilaian sendiri semestinya," ujarnya.
Ia mengingatkan agar tidak terjadi harmonisasi palsu dalam criminal justice system, yakni hakim, jaksa, dan polisi sekadar meneruskan berkas tanpa mengoreksi.
Ia menyoroti pentingnya prinsip due process of law dan presumption of innocence. Asas praduga tak bersalah dan proses yang komprehensif itu harus benar-benar dijalankan. Aparat penegak hukum tidak bisa berjalan secara parsial.
Dalam kasus yang melibatkan anak, kata Suparji, pendekatan restorative justice harus lebih dikedepankan dibanding sekadar memberi hukuman. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru akan berlaku pada 6 Januari 2026, ia menilai semangatnya sudah harus mulai diinternalisasi oleh para penegak hukum. "Jangan sedikit-sedikit penjara. Penjara sudah penuh. Negara juga rugi memenjarakan orang karena harus memberi makan," katanya.
Kriminolog Universitas Indonesia, Erni Rahmawati, menyebutkan sistem peradilan pidana di Indonesia memiliki banyak celah yang memungkinkan terjadinya insiden salah tangkap. Ia menyoroti bagaimana aparat penegak hukum, terutama penyidik dan jaksa, sering gagal menjalankan tugasnya dengan prinsip due process model. “Ada indikasi sistem (peradilan pidana) kita lebih mengarah ke crime control model yang menitikberatkan pada efisiensi dibanding keadilan substantif,” ucap Erni.
Crime control model, menurut Erni, lebih mengutamakan kecepatan dan efektivitas dalam menghukum pelaku dibanding memastikan tidak ada orang yang dikriminalkan. Apalagi model ini hanya membutuhkan dua dari lima alat bukti untuk melanjutkan perkara ke tahap persidangan. “Biasanya yang paling dikejar adalah pengakuan tersangka dan keterangan saksi mata.”
Faktor inilah yang belakangan menyebabkan penyidikan bermasalah. Polisi ingin perkara cepat selesai dan ada yang bisa dijadikan tersangka. Jadi tidak mengherankan bila cara yang digunakan adalah mendapat pengakuan dari orang yang dicurigai, apa pun caranya.
Isnur sependapat dengan Erni. Dalam banyak kasus, tersangka membuat pengakuan karena tidak tahan terhadap tekanan secara fisik dan psikis. Dalam kondisi tersebut, pengakuan tersangka dimasukkan ke berita acara pemeriksaan. Pada gilirannya nanti, pengakuan tersebut digunakan oleh jaksa untuk membuat materi dakwaan. “Jaksa, yang seharusnya melakukan check and recheck, sering kali hanya meneruskan berkas ke pengadilan tanpa mempertanyakan metode penyidikan yang digunakan oleh polisi,” kata Isnur.
Jaksa seharusnya berperan dalam memastikan semua bukti yang diajukan benar-benar valid dan sah secara hukum. Namun, dalam banyak kasus, kata Erni, jaksa lebih banyak berpegang pada hasil penyidikan polisi tanpa menguji ulang alat bukti. “Jika sejak awal ada rekayasa dalam pemeriksaan, lalu jaksa tidak menggali lebih jauh, di pengadilan pun pembuktiannya menjadi lemah,” tutur Erni.
Di pengadilan, kata Erni, hakim semestinya bisa membatalkan perkara yang cacat prosedur. Namun, kecenderungannya, hakim justru tetap melanjutkan persidangan meskipun ada indikasi penyidikan bermasalah dalam perspektif kriminologi. Menurut Erni, ada pola “jiwa korsa” di antara aparat penegak hukum, yang cenderung saling melindungi.
Kegagalan sistem ini juga terlihat dalam penerapan asas praduga tak bersalah. Erni berpandangan, dalam praktiknya, sistem di Indonesia lebih condong pada presumption of guilt, yakni tersangka dianggap bersalah hingga ia dapat membuktikan di pengadilan bahwa dirinya tidak bersalah. “Selama polisi bisa menetapkan tersangka hanya dengan pengakuan dan saksi mata tanpa ada bukti lain yang kuat, selama itu pula akan ada kasus salah tangkap,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo