Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARUSNYA rapat di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu, cuma membahas program kerja Kementerian Pertahanan. Namun, saat memasuki sesi tanya-jawab, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso malah dicecar soal pengosongan rumah dinas purnawirawan.
Wakil Ketua Komisi I Hayono Isman meminta ada pertimbangan kemanusiaan saat pengambilalihan rumah dinas dari keluarga purnawirawan. Menurut dia, dari sembilan rumah yang dikosongkan di Perumahan Tentara Bulak Rantai, Kramat Jati, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, delapan di antaranya dihuni anak purnawirawan yang tidak memiliki tempat tinggal lain. "Seharusnya ada rasa kemanusiaan,” ujarnya. Menanggapi protes bertubi-tubi itu, Purnomo dan Djoko menjawab senada: pengosongan rumah dinas akan dihentikan sementara.
Sejak Desember tahun lalu pengosongan rumah dinas memang gencar dilaksanakan. Di Jakarta Timur, tentara mengosongkan rumah purnawirawan di Jalan Oto Iskandar Dinata, Cililitan Besar; Berlan, Matraman; dan Bulak Rantai, Kramat Jati. Komando Armada Timur juga mengambil alih rumah di Jalan Tanjung Karang I dan Teluk Kumai Timur, Surabaya.
Kisah perebutan kepemilikan rumah dinas antara TNI dan para purnawirawan telah terjadi sejak 1980-an. Saat itu Departemen Keuangan yang menyusun inventaris kekayaan negara meminta Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mendata aset negara yang mereka kelola.
Ketika itu, orang berseragam tentara sering mendatangi rumah purnawirawan. ”Mereka menyodorkan surat yang menyebut saya tak berhak atas rumah ini dan saya diminta keluar secepatnya,” kata Sri Kusnaeni, 66 tahun, warga Teluk Kumai, Surabaya.
Dua puluh tahun bolak-balik didatangi, selama itu juga Sri dan empat keluarga purnawirawan Angkatan Laut lainnya di jalan itu bertahan. Namun pekan lalu ia kehilangan rumahnya. Komando Armada Timur tak lagi memberikan toleransi. ”Penertiban tidak akan ditunda,” kata Kepala Dinas Penerangan Komando Armada Timur Letnan Kolonel Toni Syaiful.
Pengambilalihan rumah dinas merupakan bagian dari program kerja 2010 duet Menteri Purnomo Yusgiantoro dan Wakil Menteri Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. ”Biasalah pejabat baru ingin mengambil hati prajurit,” ujar seorang sumber.
Sjafrie membenarkan, salah satu program tahun pertama kementeriannya adalah kesejahteraan prajurit TNI. Misalnya, ada pemberian tunjangan bagi penjaga perbatasan hingga 150 persen dari gaji pokok. Kegiatan ini termasuk dalam program 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kerja sama membuat asuransi kesehatan juga digalang bersama Kementerian Kesehatan agar tentara bisa berobat di rumah sakit umum.
Penyediaan rumah dinas—saat ini dibutuhkan 158 ribu unit—juga merupakan salah satu program. Karena itu, ”Kami berkonsentrasi membangun perumahan dinas,” kata Sjafrie.
Kantor Sjafrie memenuhi kebutuhan rumah tinggal itu dengan menjajaki tawaran menyewa unit kosong di rumah susun Marunda di Jakarta Utara; Parung Panjang, Bogor; dan Semolowaru, Surabaya. Kebetulan Kementerian Perumahan juga diberi target mendongkrak hunian rumah susun dalam 100 hari pemerintahan.
Tahun ini dua kementerian itu berharap bisa mendirikan 20 blok rumah susun prajurit seperti yang kini dibangun di kompleks Satuan Komunikasi Elektronik TNI di Jati Asih, Bekasi. Dalam perjanjian kerja bareng itu, Kementerian Perumahan membantu pembangunan dan TNI menyediakan lahan. Repotnya, lahan tidur milik TNI tak sedikit yang telah berpindah tangan, berstatus sengketa, dan tak jelas surat-surat kepemilikannya.
Karena itu, saat TNI ingin memanfaatkan lahan mereka, muncul perlawanan dari masyarakat. Misalnya, di Desa Sukorejo, Jember, Jawa Timur. Tanah seluas 354 hektare di desa itu—sempat ditanami tebu oleh Angkatan Darat pada sejak 1971—dituntut oleh warga Sukorejo. Mereka berpegang pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur pada 1954 yang menyatakan tentara hanya diberi 62 hektare lahan dan sisanya diberikan kepada masyarakat. Ada juga catatan Kantor Pengawas Agraria Karesidenan Besuki-Bondowoso bertahun 1958 dengan isi senada.
Sebaliknya, Angkatan Darat mengklaim telah membeli seluruh tanah itu dari warga. Tentara juga memegang Surat Menteri Dalam Negeri yang pada 1983 menyatakan 200 hektare tanah diberikan kepada TNI dan selebihnya dimiliki warga Sukorejo. Data di Badan Pertanahan Jember menunjukkan baik masyarakat maupun tentara tak punya sertifikat.
Seorang pejabat di kantor itu menyebut TNI tak pernah bisa menunjukkan surat perjanjian jual-beli tanah. Komandan Kodim 0824 Jember Letnan Kolonel Totok Suhartono tak bersedia ditemui untuk dimintai konfirmasi. Sengketa kepemilikan tanah di Desa Alastlogo di Pasuruan, Jawa Timur, pada Mei 2007 malah membuat bentrok yang menewaskan empat warga.
Tanah di Jember dan Pasuruan hanyalah sebagian kecil dari aset yang amburadul surat-suratnya. Dalam rapat Komisi I DPR dengan Kementerian Pertahanan terungkap, dari sekitar 378 ribu hektare seluruh tanah TNI, hanya 13 persen yang bersertifikat. Tanah milik Angkatan Darat—seluas lebih dari 174 ribu hektare—hanya lima persen yang bersertifikat.
Menurut Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, problem sertifikat itu muncul karena sistem administrasi tentara tak tertib. Selain pencatatan aset yang buruk, tak jarang ada petinggi TNI yang nakal karena mencaplok tanah kesatuan.
Ia mencontohkan kasus Herman Sarens yang saat menjabat Komandan Brigade Kosatgas Markas Besar Angkatan Darat ditugasi mencari tanah buat keperluan tentara. Herman berkeras tanah itu dibelinya sendiri. ”Saat membuat sertifikat, ia memakai nama sendiri meski dibeli dengan uang negara,” kata Sjafrie.
Pencatatan yang buruk juga membikin aset TNI menguap. Sjafrie menjelaskan, pihaknya sulit mengambil alih tanah dan bangunan yang tidak terdaftar dalam Inventaris Kekayaan Negara. Tak sedikit tanah TNI yang sudah pindah kepemilikan. ”Yang pindah tangan pada 1970-an sekarang sudah jadi hotel mewah.” Amburadulnya administrasi aset TNI membuat tentara tak bisa cepat membangun rumah dinas. Ditambah lagi anggaran sertifikasi tanah dan dana pembangunan rumah pun cekak.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio membenarkan minimnya anggaran membangun rumah dinas. Selama ini anggaran pendirian rumah dinas cuma cukup untuk membuat paling banyak 3.000 rumah per tahun. ”Dengan anggaran segitu, kekurangan 158 ribu rumah itu baru terpenuhi 53 tahun lagi,” ujarnya.
Menghadapi soal pelik itu, Kementerian Pertahanan dan TNI lalu melirik rumah dinas yang ditempati purnawirawan. Sesuai dengan aturan, rumah dinas hanya boleh dipakai selama purnawirawan atau warakawuri masih hidup dan tak bisa diteruskan kepada anaknya. Wayan memperkirakan ada 40 ribu rumah yang bisa diambil alih.
Namun, setelah disemprit DPR, Kementerian Pertahanan akhirnya mengerem langkahnya. Mereka berjanji tak akan mengusik purnawirawan, warakawuri, dan anak purnawirawan demi alasan kemanusiaan. ”Tapi yang lainnya tidak karena kalau kita buka semua itu, ada banyak orang yang tak berhak bersembunyi di balik purnawirawan,” ujar Sjafrie.
Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Mahbub Djunaidy (Jember), Abdi Purnomo (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo