Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRUK hijau itu tak lagi bisa mengangkut sampah Tangerang Selatan. Sejak Jumat pekan lalu, truk hanya teronggok di kantor Kecamatan Sepatan. Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Tangerang, tetangga wilayah pemerintahan baru itu, menahannya tanpa batas waktu. ”Sampai yang punya datang dan minta maaf,” ujar Kepala Dinas Kebersihan Herry Heryanto.
Sejak Januari lalu, pemerintah Tangerang melarang tetangganya itu membuang sampah di tempat pembuangan akhir Jatiwaringin, Mauk. Pada hari terakhir 2009, pemerintah kedua wilayah menghentikan kerja sama pelayanan sampah. Tapi, menurut Herry, ada laporan truk-truk sampah Tangerang Selatan diam-diam tetap membuang sampah di Jatiwaringin.
Tangerang Selatan berdiri sejak 2008 dan merupakan pecahan dari Kabupaten Tangerang. Wilayah administrasi termuda di Banten itu belum memiliki tempat pembuangan akhir. Sejak kerja sama dihentikan, mereka kewalahan mengurus timbunan sampah. Di Pasar Ciputat, timbunan sampah mulai tak terkendali—jumlahnya hingga 100 meter kubik per hari.
Mengganggu aktivitas jual-beli, sampah menurunkan omzet para pedagang pasar. ”Bagaimana mau beli, baru masuk saja sudah kecium duluan bau sampahnya,” ujar seorang pedagang obat di Pasar Ciputat. Bau busuk menguar jauh sebelum masuk pasar.
Pengangkutan sampah di tujuh wilayah Tangerang Selatan—Ciputat, Ciputat Timur, Serpong, Serpong Utara, Pamulang, Pondok Aren, dan Setu—nyaris lumpuh. Sembilan truk pengangkut sampah milik pemerintah daerah itu tak mampu mengangkut 600 meter kubik sampah sehari.
Ketika masih ”hidup seatap”, Pemerintah Kabupaten Tangerang menganggarkan Rp 167 juta per bulan buat mengelola sampah Tangerang Selatan, termasuk ke Jatiwaringin. Kini, setelah resmi hidup terpisah, total anggaran Dinas Kebersihan Tangerang Selatan Rp 9 miliar setahun. ”Itu sudah termasuk gaji pegawai,” ujar Asisten Bidang Pembangunan, Sudrajat.
Kisruh sampah ini menjadi cermin hubungan kedua wilayah. Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten, Media Warman, komunikasi buruk kedua wilayah sudah terjadi sejak Kota Tangerang Selatan berdiri. ”Sejak awal, komunikasi tidak terjalin baik,” ujarnya.
Hubungan semakin buruk ketika Kabupaten Tangerang menolak surat permohonan kerja sama penanganan sampah yang diajukan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Alasannya, pengajuan surat tidak sesuai dengan ketentuan administrasi dan etik pemerintahan. ”Sebab hanya ditandatangani Asisten Daerah II, bukan pejabat wali kota,” ujar Herry Heryanto.
Hubungan kedua pemerintahan mencapai titik terendah ketika Wali Kota Tangerang Selatan mengeluarkan peraturan tentang retribusi perizinan. Kabupaten Tangerang, yang masih merupakan daerah induk, tersinggung. Sebab, Pemerintah Kota Tangerang Selatan sebenarnya masih merupakan transisi. Menurut Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan, hingga dua tahun ke depan, kota baru itu masih di bawah kendali pemerintahan induk. Dengan mengeluarkan aturan retribusi perizinan, pejabat sementara wali kota dianggap melebihi fungsinya.
Menurut Direktur Pusat Kajian Pengembangan Daerah Rahmat Dharma Frizal, seharusnya Pemerintah Kota Tangerang Selatan melakukan kajian hukum sebelum mengeluarkan peraturan. Apalagi terbitnya peraturan tentang retribusi itu menimbulkan aneka tafsir. ”Jika aturan tetap diberlakukan, itu mencerminkan arogansi dan euforia yang berlebihan dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan,” ujar Rahmat.
Pejabat sementara Wali Kota Tangerang Selatan, Shaleh M.T., membantah jika hubungan kedua pemerintahan tidak harmonis. Menurut dia, dua pemerintahan memang memiliki kepentingan berbeda. Ia mengatakan Kota Tangerang Selatan ingin mengurus rumah tangga sendiri. Salah satunya dengan memungut retribusi perizinan. ”Kabupaten Tangerang ingin mengelola perizinan itu, sementara itu kami berhak mengelola sendiri,” katanya.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten berusaha meredam konflik. Sebab, menurut Media Warman, konflik dapat merugikan warga Tangerang. Apalagi konflik sebenarnya juga sudah muncul ketika Shaleh M.T. ditunjuk menjadi pejabat sementara wali kota. Pemerintah Kabupaten Tangerang menganggap Shaleh tidak memenuhi kriteria.
Bupati Tangerang Ismet Iskandar sebetulnya sudah mengantongi dua nama calon pejabat sementara, yaitu Nanang Komara dan Benyamin Davnie. Dua nama itu rupanya tak direstui Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang memilih Shaleh. Pada saat pelantikan Shaleh, tujuh camat di wilayah Tangerang Selatan tidak hadir.
Konflik dua Tangerang hanya contoh masalah yang muncul setelah pemecahan wilayah. Studi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional serta United Nations Development Programme menyatakan, pada daerah pemecahan selalu muncul dua permasalahan besar: pembagian potensi ekonomi yang tidak merata dan beban penduduk miskin yang lebih tinggi.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat meminta Dewan menyetujui moratorium pemecahan daerah pemerintahan. Moratorium dilakukan sampai pemerintah selesai melakukan evaluasi terhadap daerah pemecahan, Maret mendatang. ”Kalau tidak menunggu moratorium, pemekaran akan jalan terus. Mau mekar hingga berapa provinsi, berapa kota?” katanya.
Menurut Gamawan, dalam sembilan tahun terakhir, pemerintah belum pernah mengevaluasi proses pemecahan daerah. Peraturan pemerintah yang menjadi pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah baru keluar pada 2008. Sejak 1999, dibentuk 205 wilayah baru, yang terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota.
Menurut Gamawan, tujuan otonomi daerah adalah untuk menyejahterakan masyarakat, terutama di pedalaman. Pemecahan yang dilakukan tanpa ada evaluasi, menurut dia, membuat tujuan itu tidak akan tercapai.
Di Kantor Kecamatan Sepatan, Tangerang, truk hijau pengangkut sampah itu masih teronggok. Truk itu menjadi cermin hubungan wilayah yang memutuskan berpisah rumah.
Cheta Nilawaty, Joniansyah, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo