Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA biasa dipanggil Karno. Tugasnya mengomando empat lusin lebih anggota pasukan Bravo Security Indonesia, perusahaan penyedia jasa pengamanan. Selama Rumah Sakit Haji Jakarta dilanda kisruh, Karnolah yang menggaransi keamanan rumah sakit itu, siang dan malam.
Demo karyawan rumah sakit bisa dia redam. Ketika puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta hendak mengambil alih perannya, ia pun menghadapinya tanpa mengusik pelayanan pasien. Kuncinya: Karno selalu menghindari bentrok. ”Musuh kecele sendiri,” ujar Karno.
Hari itu, Jumat dua pekan lalu, menjadi hari terakhir Karno ngepos di rumah sakit di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, tersebut. Ia tak berkutik menghadapi ”lawan beratnya”: Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, yang dikawal sejumlah pejabat dan polisi pamong praja.
Karno didamprat habis ketika menolak membukakan pintu aula rumah sakit. ”Saya dibilang pecundang, tapi saya diam saja,” kata Karno. Tengkuknya sempat ditarik oleh seorang pejabat. ”Kemudian saya didorong sampai nyungsep,” ungkap pria 35 tahun itu.
Adalah Harianto Badjoeri, Kepala Dinas Ketenteraman dan Ketertiban DKI Jakarta, yang emosinya terbakar. Harianto berujar, ”Kamu tahu, dia wakil gubernur. Mayor jenderal.”
Karno bukan tipe orang ciut nyali. Tapi, tiga hari kemudian, Karno bersama anak buahnya ditarik ke markas perusahaannya di kawasan Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Kontrak dua tahun Bravo Security Indonesia dengan RS Haji seharusnya sampai Agustus, tapi terpaksa disudahi 1 April lalu. Sejak itu, keamanan rumah sakit berada di bawah kendali Satuan Polisi Pamong Praja.
Itulah kemelut RS Haji Jakarta, yang dipicu oleh perseteruan Departemen Agama dengan Pemerintah DKI Jakarta. Konflik mulai pecah saat badan hukum rumah sakit berubah dari yayasan menjadi perseroan. Perubahan ini disusul pembagian saham untuk DKI Jakarta sebesar 51 persen, Departemen Agama 42 persen, sedangkan sisanya dimiliki Koperasi Karyawan RS Haji dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, masing-masing enam persen dan satu persen.
Belakangan muncul gugatan aktivis lembaga swadaya. Mereka meminta uji materi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2004, yang mengatur perubahan status badan hukum rumah sakit tadi. Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan itu dan meminta Gubernur DKI Jakarta bersama DPRD DKI mencabut peraturan daerah tersebut.
Putusan MA ”disambut” Pemerintah DKI dengan menerbitkan Perda Nomor 50/2006 tentang Pencabutan Perda Nomor 13/2004, yang disambung dengan surat keputusan gubernur yang isinya mengembalikan status RS Haji dari perseroan menjadi yayasan. Dengan istilah lain, status perseroan rumah sakit itu dibubarkan.
Departemen Agama menyambutnya dengan tetap menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa pada Maret 2007. Rapat menghasilkan perombakan direksi. Supriyanto Riyadi, yang tadinya mewakili komisaris independen, diangkat menjadi direktur utama rumah sakit.
Pemerintah DKI, yang merasa ditelikung, mengajukan permohonan rapat umum pemegang saham luar biasa ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pada 30 November 2007, permohonan itu dikabulkan dengan agenda utama rapat penetapan susunan direksi dan komisaris versi Jalan Medan Merdeka Selatan 8-9, kantor Pemerintah DKI.
Masalah makin runyam. Belum sampai Pemerintah DKI melaksanakan rapat, Departemen Agama mengumumkan rapat umum pemegang saham dibuka lagi. Agenda utamanya penawaran saham Pemerintah DKI kepada pemegang saham lain. ”Badan Pengelola Dana Abadi Umat berniat membeli saham DKI,” kata Bahrul Hayat, Sekretaris Jenderal Departemen Agama.
Puncaknya 22 Maret lalu: rapat umum kembar digelar. Rapat versi Departemen Agama berlangsung di markas departemen itu di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hasilnya tetap menunjuk Supriyanto Riyadi sebagai Direktur Utama RS Haji, dan ada peningkatan setoran modal pemegang saham dari total Rp 100 miliar menjadi Rp 284,6 miliar.
Komposisi saham RS Haji Jakarta pun berubah drastis. Saham 70 persen dikuasai Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang dipimpin Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, DKI kebagian 17,97 persen, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia 10 persen, dan koperasi karyawan dua persen.
Pemerintah DKI Jakarta tak menggubris hasil itu. Dalam rapat yang sama di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, Salimar Salim ditunjuk menjadi direktur menggantikan Supriyanto Riyadi. ”DKI tetap sebagai pemegang saham mayoritas (51 persen) dan berhak merombak susunan direksi,” kata Kepala Biro Hukum DKI Jakarta Journal Siahaan.
Hasil rapat kembar itu memperuncing masalah baru. Loyalitas sekitar 700 karyawan rumah sakit terbelah. Tak kurang dari 200 karyawan bagian staf sampai manajer serta sejumlah dokter mogok kerja. Sebagian kongko di Gedung Serbaguna Asrama Haji, tak jauh dari gedung rumah sakit. ”Enggak mogok, di sini kami tetap bekerja,” kata N. Hardini, asisten manajer promosi.
Salimar tak mau ambil pusing dengan mereka. Sejauh tak mengganggu aktivitas rumah sakit, kata dia, mereka dipersilakan berbuat apa saja. Toh, secara de facto, RS Haji sudah dalam kekuasaannya. ”Yang penting, kami sudah berhasil menormalkan pelayanan,” ujarnya kepada Iqbal Muhtarom dari Tempo.
Menurut Bintang Utoro, kuasa hukum Departemen Agama, pengendali manajemen RS Haji masih atas nama direksi lama. Ini dikuatkan pendapat hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso. Dalam legal opinion-nya, kata dia, sejak Perda Nomor 13 Tahun 2004 dicabut, DKI tak berhak masuk perseroan. ”Penyertaan modalnya harus dikeluarkan dari rumah sakit,” ujar Bintang.
Langkah mencari opini hukum dibalas Pemerintah DKI dengan melapor ke Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kamis pekan lalu, Jusuf Kalla memanggil Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, dan Gubernur DKI Fauzi Bowo. Akhirnya diputuskan manajemen RS Haji diserahkan ke Departemen Kesehatan.
Menurut Direktur Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Farid Husain, penyelesaian kepemilikan saham diberi batas waktu tiga bulan. Opsi status hukum yang mungkin diterapkan adalah badan layanan umum, yang pengelolaannya berbentuk kerja sama antara Departemen Agama dan Pemerintah DKI. ”Orientasi badan ini bukan mencari keuntungan,” katanya.
Elik Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo