Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sedekah dari Mina

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWALNYA adalah ”musibah Mina” di Arab Saudi delapan belas tahun silam. Lebih dari 600 anggota jemaah haji Indonesia tewas di sana. Mereka bertubrukan dalam terowongan saat menuju jamarat, tempat melempar jumrah, 2 Juli 1990. Selain dari Indonesia, korban berjatuhan paling banyak berasal dari Malaysia dan Pakistan.

Total yang meninggal pada peristiwa Al-Muashim, Haratsul Lisan, itu mencapai 1.426 orang. Pemerintah Arab Saudi meminta maaf kepada umat muslim seluruh dunia dan mengirim bantuan kepada negara yang kehilangan warganya pada musim haji 1410 Hijriyah itu. Kepada pemerintah Indonesia, negara petrodolar itu ”bersedekah” Rp 7,3 miliar.

Duit ini bukan untuk dibagikan kepada ahli waris keluarga korban, melainkan diserahkan kepada pemerintah. Oleh pemerintah, diputuskanlah uang itu untuk modal proyek rumah sakit di empat kota embarkasi haji, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. ”Uang hibah itu belum cukup,” kata Direktur Pengelolaan Badan Penyelenggara Ibadah Haji Departemen Agama Abdul Ghafur Djawahir kepada Tempo.

Menurut Ghafur, atas restu Presiden Soeharto, panitia proyek mencari sokongan dana. Bambang Trihatmodjo, anak Soeharto, didapuk sebagai bendahara. PT Garuda Indonesia menyokong Rp 8,1 miliar, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila Rp 2 miliar, dan BNI serta BRI masing-masing Rp 600 juta. Pada 19 Desember 1994, terkumpul dana Rp 22,6 miliar. ”Dana itu dibagi empat. Rumah Sakit Haji Jakarta kebagian Rp 7,2 miliar,” ujar Ghafur.

Departemen Agama lantas mencari mitra pengelola rumah sakit. Digandenglah Pemerintah DKI Jakarta. Atas petunjuk Soeharto pula Menteri Agama Munawir Sjadzali diminta mengajak Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan. Terbitlah surat keputusan bersama tiga menteri, yang isinya soal pembangunan rumah sakit haji.

Rumah Sakit Haji Jakarta menempati lahan seluas satu hektare milik Departemen Agama di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Peran Pemerintah DKI Jakarta adalah menanggung biasa operasional serta merekrut tenaga medis dan bagian administrasi. Adapun tiga rumah sakit lainnya diserahkan kepada masing-masing daerah, baik bentuk badan hukum maupun komposisi pembagian sahamnya. Namun hanya rumah sakit di Jakarta yang kisruh.

Elik Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus