Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sebelum Dicaplok Orang

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta punya cara agar ”batik Yogya” tidak dicaplok pihak lain yang lantas mengklaim milik mereka. Lewat Yayasan Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Jagad, setahun terakhir ini Pemerintah DIY telah mematenkan ratusan motif batik yang selama ini biasa diproduksi perajin batik Kota Gudeg.

Dari 511 motif batik, sudah 261 motif yang didaftarkan ke kantor paten. ”Jumlahnya akan terus bertambah,” kata Ketua Yayasan Sekar Jagad, Larasaty Suliantoro. Sebagian besar batik yang dipatenkan tidak mempunyai nama, hanya deskripsi motif, semisal parang seling tuding nitik, kuno udan liris, gajah birowo, dan babon angrem. ”Kebanyakan motif itu berasal dari pembatik kota, belum termasuk dari desa-desa,” kata Larasaty.

Sekar Jagad satu-satunya yayasan yang ditunjuk mengurusi soal paten ini. Pemerintah DIY khawatir, jika kekayaan warga Yogya itu tak buru-buru didaftarkan, kelak akan muncul pihak lain yang mengaku ”pemilik sah” motif batik tersebut. Untuk biaya pendaftaran, Pemerintah DIY membantu separuh dari seluruh biaya pendaftaran. Sisanya dari Departemen Perindustrian. ”Satu motif biayanya sekitar Rp 1 juta, belum termasuk wara-wirinya ke Jakarta,” kata Syahbenol Hasibuan, Wakil Ketua Dewan Kerajinan Daerah Provinsi, yang aktif mengurusi pematenan batik tersebut.

Menurut Larasaty, banyak batik printing, batik yang diproduksi memakai mesin secara massal, awalnya merupakan batik tulis yang biasa diproduksi perajin batik. Begitu muncul ”atas nama” suatu perusahaan, dengan kualitas yang lebih bagus namun harganya lebih murah, batik produksi perajin tradisional pun tersingkir. ”Ini sangat merugikan pembatik tradisional,” kata Larasaty. Menurut dia, seharusnya pembatik tradisional bisa menggugat. ”Tapi selama ini tidak pernah ada yang menggugat.” Menurut Syahbenol, perajin batik tidak ada yang menggugat karena terkendala masalah dana.

Tak hanya di Yogyakarta, komunitas pencinta batik juga ada di sejumlah kota lainnya di Jawa. Di Semarang, misalnya, ada Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Bokor Kencana. Di Tegal ada Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Melati. Paguyuban seperti inilah yang seharusnya, seperti di Yogyakarta itu, ikut andil melindungi motif batik yang selama ini diproduksi pembatik tradisional. Dengan begitu, seperti dikatakan Larasaty, nasib para perajin batik terlindungi.

Martha W., Bernarda Rurit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus