Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=brown>Dugaan suap Deputi Gubernur Senior Bi</font><br />Bermuara tapi Tak Berhilir

Hakim memvonis Panda Nababan 17 bulan penjara. Hakim menantang Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri asal-muasal cek pelawat.

27 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua majelis hakim mengetukkan palu satu kali. Ia memerintahkan sidang kembali ditunda sejenak. Ini ke­dua kali sidang diskors karena para terdakwa kembali meminta izin ke toilet. Engelina Pattiasina, Muhammad Iqbal, dan Budiningsih bergegas dari kursi terdakwa menuju toilet di lantai dua gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan. Adapun Panda Nababan, yang turut menjadi terdakwa di sidang itu, berjalan pelan menuju kursi pengunjung.

Suasana ruang sidang pun kembali ramai. Belasan kamera langsung menyorot dan membuntuti Panda. Bak selebritas, Panda pasang gaya. Senyumnya ia umbar ke kamera wartawan dan para pengunjung. Rabu siang pekan lalu itu, seluruh ruang sidang memang dipenuhi pendukung Panda. Tampak pula Putra Nababan dan Anggi Nababan, anak bekas wartawan itu. Ia sesaat memeluk keduanya. Para kerabat dan temannya tak henti menyodorkan salam. ”Ramainya macam di sinetron itu, kau tengok kan?” kata Panda sambil berseloroh kepada seorang kerabatnya. Setidaknya ada dua kali Panda ”tawaf” di ruang sidang itu sambil menyapa para pendukungnya.

Panda memang sedang tidak syuting sinetron. Susana itu lebih mirip acara reality show, karena dua stasiun televisi swasta menayangkan secara langsung. Panda, Engelina, Iqbal, dan Budiningsih duduk di kursi pesakitan karena didakwa menerima cek pelawat. Keempatnya adalah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 1999-2004. Cek itu diduga mereka terima sebagai upah telah memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 8 Juni 2004.

Sidang kali ini memang menjadi so­rotan karena menjadi sidang pamungkas para terdakwa penerima cek pelawat itu. Hari-hari sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah menjatuhkan vonis kepada 18 terdakwa lain. Di antaranya Paskah Suzetta dari Fraksi Golkar yang juga mantan Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Agus Condro, sejawat Panda di Fraksi PDI Perjuangan, yang pertama kali mengungkap rasuah ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tak satu pun dari tersangka yang divonis bebas, kecuali dua orang tersangka yang meninggal sebelum sidang digelar.

Panda dan ketiga terdakwa yang ikut sidang bersamanya divonis 17 bulan penjara. Mereka juga diwajibkan membayar denda Rp 50 juta kepada negara. Vonis terhadap Panda jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Awalnya ia dituntut tiga tahun penjara, plus denda Rp 300 juta. Sedangkan tiga terdakwa lain hanya dituntut dua setengah tahun penjara. ”Peran Panda dalam kasus ini lebih sentral daripada yang lain,” kata jaksa Mochamad Rum.

Panda dituduh sebagai otak pembagian cek pelawat untuk Fraksi PDI Perjuangan. Ia juga dituduh menjadi koordinator pemenangan Miranda di fraksinya, meski saat itu Panda duduk di Komisi Hukum, bukan di Komisi Keuangan tempat pemilihan Miranda digelar. Pria berusia 67 tahun ini ketika itu menjabat sekretaris fraksi. Ia tak menggunakan tangannya sendiri, tapi memerintahkan Dudhie Makmun Murod, bendahara fraksi, mengambil dan membagi cek pelawat itu. Jatah cek yang ia terima diduga paling besar, yaitu Rp 1,45 miliar, sedangkan anggota fraksi lain hanya Rp 350-600 juta.

Peran inilah yang disorot ketua majelis hakim Eka Budi Prijanto dalam pertimbangan putusannya. Ia berpendapat awal dari peredaran cek pelawat di fraksi karena Panda menelepon Dudhie. Ia memerintahkan Dudhie bertemu dengan Arie Malangjudo di Restoran Bebek Bali, Taman Ria Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Miranda terpilih. Panda pun dianggap mengetahui Arie membawa cek pelawat yang akan dibagikan kepada Fraksi PDI Perjuangan. Dudhie dalam sidang yang berbeda sudah divonis bersalah. ”Tergeraknya niat Dudhie mengambil cek itu karena ada perintah dari Panda,” kata Eka pada saat membacakan pu­tusan.

Tapi majelis hakim tak kompak mendukung pendapat ini. Dua dari lima anggota majelis hakim menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat. Hakim anggota Andi Bachtiar menyebut bukti adanya komunikasi ini masih sumir. Ia menyangsikan yang menelepon Dudhie kala itu adalah Panda. ”Itu hanya keyakinan Dudhie bahwa yang menelepon adalah Panda,” katanya.

Anggota hakim lain yang menyatakan berbeda, I Made Hendra, turut menyangsikan Panda sebagai koordinator pemenangan Miranda. Ia juga menganggap jaksa tak kuat menyodorkan bukti Panda telah menerima dan membagikan cek itu. Termasuk tuduhan telah menerima cek Rp 1,45 miliar yang sejak awal sudah didengungkan KPK. Made malah menyorot asal-muasal cek pelawat itu agar bisa menjerat Panda. Made bahkan terkesan menantang KPK membawa kasus ini hingga ke hilir cek pelawat. Jangan hanya sampai di para penampung cek pelawat. ”Tidak jelas kapan, di mana, dan asal-muasal semua cek itu,” katanya.

Dua pendapat hakim ini kemudian dimanfaatkan kubu Panda untuk menyudutkan hakim lain dan KPK. Juniver Girsang, salah satu pengacara Panda, bersumbar adanya putusan yang berbeda itu semakin membuktikan kliennya menjadi korban kejahatan yudisial. Sidang Panda, katanya, lebih kental motif politisnya hingga menepis fakta yang justru mendukung Panda. ”Hakim menjadi buta karena tekanan publik,” katanya.

Juniver balik menantang jaksa agar mendatangkan Nunun Nurbaetie, yang ikut menjadi tersangka kasus ini. Baru kemudian menyatakan Panda bersalah. KPK memang masih memburu Nunun, yang diperkirakan kabur ke Thailand. Semua cek itu diduga berasal dari Nunun. Juniver tahu, KPK pun bakal kesulitan menahan Nunun, karena para terdakwa cek pelawat dituduh bersalah atas pasal gratifikasi. ”Pasal ini tak perlu dicari siapa pemberi uang,” katanya.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus