Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada ”tenda” ganjil terbentang di pojok ruang pameran Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada pekan lalu. Bentuknya seperti kasur angin, kasur plastik yang menggelembung bila dipompa dan biasa dibawa saat piknik. Kasur merah bergelombang itu tidak datar seperti lazimnya kasur, tapi sisi kanan dan kirinya menyatu, sehingga membentuk rongga di tengah. Di rongga itu orang bisa masuk dan tidur-tiduran. Apakah kini ia disebut kasur-tenda atau apa?
Benda itu adalah prototipe ”Slumber Hose” (Selang Tidur) karya Daniel Wandres, desainer Jerman yang pernah meraih penghargaan kehormatan pada Hadiah Desain Commerzbank Koeln 2002. Rancangan itu mengubah konsep kasur biasa (untuk tidur, panas, dan ditimpa matahari) menjadi kasur berbeda: berongga dan teduh.
Di bagian lain ruang pameran ada sebuah meja pingpong berbentuk bulat lengkap dengan jaring dan sepasang bet. Karya berjudul ”Ping Meets Pong” ini dirancang Walking-Chair, perusahaan desain yang didirikan Karl Emilio Pircher dan Fidel Peugeot. Para perancang mengubah konsep ”bekerja di sini, rekreasi di sana” menjadi ”bekerja di sini, rekreasi di sini”.
Ada pula sabit aneh buatan Katrin Sonnleitner. Bentuknya seperti sabit panjang yang sering digunakan petani Eropa untuk memangkas tinggi-tinggi, tapi ujungnya bukanlah besi, melainkan ijuk sapu. Karya ini memang mengubah konsep sabit menjadi sabit-sapu. Sonnleitner menamainya ”6th Sense”, sebuah permainan kata dari bahasa Jerman untuk scythe (sabit).
Ada banyak desain ganjil semacam itu yang dipamerkan pada pameran seni rupa ”Rada Beda: Desain Kontemporer dan Kuasa Kebiasaan”, sebuah pameran keliling internasional dari Institut fur Auslandsbeziehungen, lembaga terkemuka Jerman untuk pertukaran budaya, yang bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesia. Karya-karya yang dipamerkan di sini disiapkan kurator Volker Albus dari Jerman dan Enin Supriyanto dari Indonesia.
Mereka memamerkan lebih dari 100 karya 70 perancang individu dan studio—47 dari Jerman, 20 dari negara Eropa lain, dan tiga dari Indonesia, yakni Faisal Habibi, Wiyoga Muhardanto, serta Yuli Prayitno. Para seniman membongkar benda-benda yang selama ini kita kenal dan kita tahu fungsinya menjadi benda baru dengan fungsi berbeda dan barangkali juga ”tak berfungsi”, karena sukar membayangkan orang mau menggunakannya dalam hidup sehari-hari. Inilah yang bisa kita saksikan: lampu pojok yang terbalik, pot bunga sebagai pengganjal pintu, penyikat lantai berbentuk bola kaki, pelampung penyelamat dengan wadah pendingin bir, rak buku di dalam meja, dan seterusnya.
Para seniman memang membuat karya-karya yang menyimpang dari kelaziman fungsi, bahan, konstruksi ataupun manfaat benda tersebut. Pameran ini, kata kurator Volker Albus, tidak berusaha menampilkan senarai provokasi, melainkan menekankan keragaman, kualitas, dan hal-hal dari desain yang menyimpang dari kebiasaan. ”Karena itu dia ‘memutus kuasa konvensi’ yang, dalam hubungan sebab-akibatnya, mendokumentasikan perubahan-perubahan sosial-budaya yang telah jauh yang kita kini saksikan di semua wilayah dari kehidupan kita sehari-hari,” kata Albus pada catatan kuratorialnya.
Penyimpangan yang terjadi tak cuma bentuk, tapi juga bahan. Wiyoga Muhardanto, alumnus Seni Patung Institut Teknologi Bandung, misalnya, mengubah bahan dan bentuk gantungan baju, yang biasanya dari kayu atau kawat, menjadi gantungan baju berbentuk celana dari bahan jins. Pada pameran ini, pengunjung hanya akan melihat sebuah celana tergantung pada dinding, padahal celana itu dapat menjadi gantungan pakaian atau celana lain.
Faisal Habibi, alumnus Institut Teknologi Bandung yang menang pada Indonesia Art Award 2008, menggabungkan dua benda dengan kegunaan tertentu menjadi benda lain dengan kegunaan berbeda. Dia, misalnya, menyatukan jaring raket dengan panci penggorengan. Gunanya? Buat mainan.
Adapun Yuli Prayitno, alumnus Seni Patung Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menampilkan kepala rusa yang biasa menjadi pajangan pada dinding rumah. Tapi kepala rusa ini berbeda karena tanduknya bisa dicopot dan di salah satu bagiannya merupakan pisau Swiss Army. Dia mengubah konsep biasa ”yang disimpan untuk dekorasi” menjadi ”dekorasi untuk menyimpan”.
Menurut Enin Supriyanto, kurator dan Direktur Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, sejumlah rancangan pada pameran ini dibikin dengan konsep chindugoism. ”Chindugo” adalah kata dalam bahasa Jepang yang secara harfiah berarti ”alat yang tak biasa”. Istilah ini diciptakan Kenji Kawakami, investor Jepang, untuk menyebut rancangan yang mengubah benda-benda keseharian menjadi benda yang sama sekali baru, yang dapat dibikin tapi tak mungkin digunakan secara efektif.
Menurut Enin, para seniman pada pameran ini berangkat dengan mempertanyakan konsensi-konvensi desain dasar yang selama ini kita terima begitu saja dan menerapkan kritiknya pada berbagai benda. ”Dengan perspektif unik ini, perancang kemudian mengembangkannya dengan melampaui konvensi-konvensi itu dan menawarkan alternatif-alternatif baru,” katanya.
Alternatif itu memungkinkan kita berpikir ulang terhadap rancangan benda-benda yang selama ini kita gunakan. Apakah suatu saat nanti kita akan menggunakannya? Mungkin saja. Albus menyebut sejumlah karya desainer Eropa dan Amerika Serikat yang mendobrak gaya desain pada masanya.
Ettore Sottsass misalnya. Pada 1969, perancang Italia itu menciptakan ”Valentine”, mesin tik Olivetti warna merah yang cerah dan ringkas seperti kita lihat saat ini. Rancangannya jauh berbeda dibanding rancangan mesin tik lain pada masa itu, yang umumnya berbentuk kotak dan membosankan. Sottsass jugalah yang menurunkan tinggi Elea 9003, komputer Italia pertama, sehingga penggunanya dapat melihat pengguna lain lewat bagian atas komputer. Pada 1981, dia mendirikan Memphis, kelompok arsitek muda yang membuat bermacam-macam rancangan baru untuk perabot rumah, keramik, gelas, dan tekstil. Kelompok ini mendorong terjadinya gerakan besar dalam seni desain dunia.
Hasil rancangan para seniman yang ditampilkan pada pameran ini mungkin tak semuanya bisa kita gunakan karena ia memang tak menganut prinsip modernisme bahwa ”bentuk mengikuti fungsi”. Tapi ia dapat memicu gagasan-gagasan baru tentang bagaimana kita hidup dengan benda-benda semacam itu.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo