Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raden Saleh Syarif Bustaman sudah tua. Rambut dan kumisnya putih semua. Tapi dia tetap perlente dengan jas biru, dasi kupu-kupu, dan sepatu merah serta sebuah pin mirip lambang Keraton Yogyakarta, yang menempel pada dada kirinya. Dua kuas lukis di tangan kanannya dan sebuah palet lukis di tangan kirinya.
Sang maestro seni lukis realis Indonesia kelahiran 1814 itu duduk di bangku samping sebuah motor gandeng putih kuno. Sepeda motor bermerek Java itu berbendera merah berlambang merpati putih. Pengemudinya Heri Dono, perupa Yogyakarta berambut gondrong yang dikuncir belakang.
Tentu ini suatu anakronisme: Raden Saleh wafat dua abad lalu, sedangkan Heri Dono baru lahir pada 1960 dan kini masih segar bugar. Pertemuan ajaib itu hanya terjadi di sebuah bingkai lukisan berukuran 75 x 70 sentimeter berjudul Heri Dono und Raden Saleh auf dem Motorrad (Heri Dono dan Raden Saleh di Atas Motor).
Lukisan itu satu dari 15 lukisan Heri Dono mengenai sang maestro yang dipamerkan selama Maret-September 2011 di Istana Maxen, yang terletak di Maxen, sebuah desa kecil yang rimbun, sejuk, dan asri, sekitar 18 kilometer dari Kota Dresden, Jerman. Istana yang dibangun pada 1728 itu dulu milik Mayor Friedrich Anton Seere, ajudan gubernur militer Dresden, yang punya selera seni tinggi. Di istana bergaya Barok inilah Raden Saleh tinggal selama sepuluh tahun (1839-1849) dan melahirkan karya-karya besarnya.
Pada saat itu pula Saleh bergaul dengan para seniman besar Eropa abad ke-19 yang kerap bertamu ke sana, seperti Christopher August Tiedge, penyair Jerman; Franz Liszt, komponis asal Hungaria; Christian Clausen-Dahl, pelukis asal Norwegia; dan Hans Christian Andersen, pendongeng asal Denmark.
Kini, di istana yang sama, Heri Dono menggelar pameran pertamanya di Jerman dengan tajuk Heri Dono Hommage an Raden Saleh (Penghormatan Heri Dono kepada Raden Saleh). Pameran yang diselenggarakan Heimat Museum ini digelar untuk memperingati 200 tahun kelahiran sang maestro. ”Saya mengagumi Raden Saleh sebagai pelopor seni rupa Indonesia. Ia sendirian melakukan diplomasi kebudayaan meski diimpit dan ditekan pemerintah kolonial Hindia Belanda, hingga ia terkenal di dunia dan punya hubungan dekat dengan seniman kelas dunia,” kata Heri tentang alasannya memilih Raden Saleh sebagai obyek lukisannya.
Werner Kraus, pendiri dan Direktur Centre for Southeast Asian Art di Jerman, menilai karya Heri sebagai ”wayang global dan lokal di atas kanvas”. Heri Dono adalah seniman kontemporer yang sudah menggelar pameran di berbagai belahan dunia, seperti Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Swiss, dan Norwegia. Karena itulah Kraus menganggap tak masuk akal jika mengelompokkan gaya lukisan Heri ke aliran ekspresionisme dan kubisme. ”Heri hidup di alam modern dan berintegrasi dengan seniman internasional, tapi karya-karyanya tetap mencerminkan filsafat Jawa,” kata Kraus.
Kraus adalah salah satu ahli lukisan Raden Saleh yang dihormati di dunia seni. Dia telah menulis buku Raden Saleh, Ein Malerleben Zwischen Zwei Welten (Kehidupan Pelukis Raden Saleh di Dua Dunia), yang menjadi literatur penting mengenai Saleh, setelah meneliti tentang Indonesia dan sang maestro saat belajar di Universitas Heidelberg, Jerman, serta Universitas Cornell, Amerika Serikat. Kraus kini menjadi penanggung jawab riset dan teks katalog lukisan Raden Saleh di hampir semua balai lelang di seluruh dunia. ”Inilah impian saya, yakni bagaimana karya seni dan seniman Indonesia dikenal lebih baik lagi di pasar seni internasional,” kata Kraus.
Penggagas pameran ini adalah Kraus dan Jutta Tronicke, yang pernah merancang pameran Raden Saleh di sana pada 2004. Tronicke adalah pemilik Rumah Biru (Blaue Haeusel), rumah peristirahatan Seere, yang terletak tak jauh dari Istana Maxen. Rumah berbentuk kubah masjid hasil rancangan Raden Saleh itu dibangun pada 1848. Heri Dono ”berkenalan” dengan Raden Saleh saat mengunjungi rumah itu pada 2008.
Kraus melihat Heri Dono dan Raden Saleh punya beberapa kemiripan, yakni sama-sama hidup di dua dunia serta akrab dengan seniman internasional tapi tetap setia dengan identitasnya sebagai orang Jawa. Dia menunjuk lukisan Der Globus Studieren (Kajian Bola Dunia). Di situ Raden Saleh digambarkan punya banyak tangan sebagai lambang banyaknya tanggung jawab seorang seniman dan berdiri limbung di atas ice skate sambil memandang bola dunia yang dijunjung kedua tangannya dan peta Indonesia di kedua tangannya yang lain. Di sampingnya tergeletak radio pada gelombang Indonesia dengan figur Bung Karno dan Affandi. Di dahi bangsawan asal Semarang ini tergambar lambang burung garuda. ”Lukisan ini memberi pesan betapa anak bangsa ini mempunyai tanggung jawab berat. Sebagai seniman, ia harus memenuhi tugas dan kewajibannya bagi dunia seni internasional dan bagi bangsanya (yang berjuang bersama Pangeran Diponegoro),” kata Kraus.
Pasangan seniman kondang Dresden, Wolfgang dan Karola Smy, menilai lukisan Heri sebagai karya bermutu dengan warna memukau. ”Raden Saleh bukan cuma milik Indonesia, tapi sudah menjadi bagian penting dari sejarah seni lukis Eropa. Dan Heri Dono adalah seniman Indonesia dengan reputasi internasional yang berada di ‘rumah’ yang benar,” kata Karola.
Kedua pelukis itu hadir dalam pembukaan pameran pada 22 Mei lalu, yang dijubeli lebih dari 100 pengunjung, yang disuguhi kue berinisial RS (Raden Saleh). Di antara tamu yang hadir adalah pemilik Istana Maxen, Herr Peter Flache; Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Eddy Pratomo; anggota parlemen Jerman dari Dresden yang juga penggemar seni, Klaus Breming; seniman Dresden, Petra Martin; dan Profesor Dr Hans Joachim, bekas Direktur Galeri Neue Meister, Dresden.
Kraus menilai lukisan Heri mengandung kritik politik dan nada satire sekaligus jenaka. Beberapa karyanya, kata dia, terlihat seperti tak akan berubah gayanya karena Heri sudah berhasil menemukan ekspresinya. ”Tapi di karyanya yang lain terlihat seperti ada pengulangan,” katanya.
Heri mengatakan pengulangan seperti itu biasa terjadi di dunia seni lukis karena, ”Seni rupa konvensional memerlukan kedalaman nilai.” Kraus membenarkannya. ”Pengulangan juga terjadi pada seniman besar seperti Van Gogh atau Renoir sekalipun, sehingga kadang sulit mengenal artis hanya dari gaya lukisannya saja,” kata Kraus.
Heri Dono menganggap pameran ini ”bak napak tilas di ranah seni rupa”. Semua lukisan akrilik di atas kanvas pada pameran ini dijual untuk umum. Lima lukisan seharga 2.500 euro per buah itu sudah terjual pada saat tulisan ini dibuat. Satu di antaranya adalah Kajian Bola Dunia, yang dibeli Kraus. ”Saya bangga Werner Kraus mengoleksi karya saya,” kata Heri.
Harian kondang di Kota Dresden, Saesische Zeitung, mengomentari pameran ini sebagai pameran spektakuler. ”Kedua pelukis berasal dari Jawa dan bertemu untuk pertama kalinya di atas kanvas,” tulis Thomas Morgenroth, wartawan budaya koran itu.
Berita itu juga menyebut soal penjualan lukisan Raden Saleh, Last Resort, di balai lelang Van Ham, Koeln, Jerman, seharga US$ 2,8 juta atau lebih dari Rp 23 miliar, yang baru memecahkan rekor dunia untuk lukisan Saleh. Lukisan cat minyak berukuran 154 x 168,5 sentimeter itu diciptakan Raden Saleh di Maxen pada 1842. ”Untuk mencapai harga itu masih impian buat Heri. Tapi toh umur Heri belum 200 tahun,” tulis Morgenroth.
Sri Pudyastuti Baumeister (Maxen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo