Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF0000>Korupsi APBD</font><br />Di Paledang Mereka Reuni

Kejaksaan menahan dua puluh anggota Dewan Kota Bogor periode 1999-2004. Baru separuh dari total tersangka ”APBD-gate”.

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK sari-sarinya Wali Kota Bogor Diani Budiarto mendatangi Lembaga Pemasyarakat­an Paledang, Bogor. Bersama sejumlah pejabat kota hujan itu, Selasa pekan lalu, Diani membesuk mantan sejawatnya yang ditahan. Mereka adalah dua puluh bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bogor. ”Ini bukan kunjungan biasa, sangat berarti bagi kami,” kata Margajaya Sampurna, salah satu mantan anggota Dewan yang ditahan.

Sejak mendapat penghuni baru, para bekas orang penting tersebut, penjara itu mendadak meriah. Bukan hanya keluarga dan handai tolan, sejumlah pejabat pemerintah daerah dan anggota Dewan kerap datang saat jam besuk tiba. Akibatnya, jalan di depan penjara Paledang itu kerap macet karena bahu jalan berubah jadi arena parkir.

Para anggota Dewan periode 1999-2004 tersebut dijebloskan Kejaksaan Negeri Bogor tepat pada Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember lalu. Penahanan dilakukan setelah mereka dijadikan tersangka dugaan korupsi tunjangan Dewan Kota Bogor tahun 2002. Mereka diduga secara bersama-sama menilap uang rakyat Rp 6,164 miliar. Setiap orang mengantongi sekitar Rp 150 juta.

Kendati kasus ini menggegerkan warga Bogor, hingga Juni lalu, baru 39 orang bisa dijadikan tersangka. Lima anggota lainnya sudah meninggal dan seorang lagi, Mochamad Sahid, sudah lebih dulu dijerat perkara serupa. Mantan ketua Dewan ini pada Januari 2006 bahkan sudah divonis penjara empat tahun. Hukuman itu sudah berkekuat­an hukum tetap (in kracht) pada 2 Desember lalu, setelah upaya peninjauan kembali mantan Wakil Wali Kota Bogor ini ditolak Mahkamah Agung.

Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Bogor Andi Muhammad Taufik, pihaknya punya alasan tidak menahan semua tersangka. Dua puluh orang yang dijebloskan ke Paledang itu dianggap tak kooperatif, emoh mengembalikan 80 persen duit yang diselewengkan. Padahal, sebelum perkara ke tahap penuntutan, semua tersangka hanya dikenai status tahanan kota. Dari total tersangka, kata Andi, hanya sepuluh orang yang mampu mengembalikan 80 persen. ”Bahkan ada yang sampai 100 persen,” katanya. Dengan tabiat mereka seperti itu, wajar jika duit yang diselamatkan baru mencapai Rp 832 juta.

Salah satu tersangka yang kini di­uber aparat adalah Nurruzzaman. Selain belum mengembalikan duit, anggota Partai Keadilan Sejahtera itu tak memenuhi panggilan kejaksaan. Kejaksaan sudah meminta bantuan Partai Keadilan untuk menghadirkan Nurruzzaman. Namun, hingga tenggat Rabu pekan lalu yang ditetapkan kejaksaan, Nurruzzaman tak juga datang. ”Statusnya sudah menjadi buron,” kata Andi. Ketika tim kejaksaan mendatangi rumahnya di Perumahan Indraprasta, Bogor Utara, Kamis pa­ginya, Nurruzzaman tak ada.

Tersangka lain yang tidak ditahan, kata Andi, adalah empat orang yang statusnya pejabat publik. Tiga di antaranya anggota Dewan Kota Bogor, yakni Gatut Susanta, Yayu Wahyudin, dan Taufik Khusnun, sedangkan seorang lainnya, Ahmad Ru’yat, kini wakil wali kota. Untuk tiga anggota Dewan tersebut, kejaksaan masih menunggu izin Gubernur Jawa Barat, sedangkan untuk Ru’yat masih menunggu izin Presiden.

Untuk kasus ini, sejak penyidikan, kejaksaan sudah membaginya dalam tujuh berkas. Untuk Ru’yat, dibuat satu berkas sendiri. Sedangkan berkas ketiga anggota Dewan dijadikan satu. Sisanya, setiap satu berkas diperuntukkan bagi beberapa tersangka. Adapun tuduhan pasalnya sama dengan yang dikenakan pada Mochamad Sahid. Mereka dijerat Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman hukuman maksimalnya penjara seumur hidup.

Gebrakan kejaksaan ini tak pelak menuai banyak pujian. Isanmasardi alias Ki Gendeng Pamungkas, Ketua Komite Rakyat Antikorupsi Bogor, misalnya, menyebut yang dilakukan kejaksaan ini sebagai ”kemajuan besar”. Komite Rakyat merupakan organisasi yang paling rajin memasang spanduk menuntut kasus korupsi ini dituntaskan. ”Tak sia-sia menuntut keadilan di bumi Bogor yang magis ini,” katanya. Sebagai bentuk dukungannya, paranormal ini menghadiahi kejaksaan seekor kambing. ”Supaya tidak takut menyembelih koruptor,” kata Gendeng.

l l l

KASUS yang dikenal dengan istilah ”APBD-gate” ini mangkrak sejak vonis pengadilan pertama dijatuhkan kepada Sahid. Sampai enam kali pergantian Kepala Kejaksaan Bogor, hanya dia yang dianggap bertanggung jawab mengkorup dana tunjang­an itu. Kader dari PDI Perjuangan itu dijadikan pelaku utama karena perannya sebagai ketua panitia anggaran sekaligus ketua Dewan.

Sahid dianggap me-mark up sejumlah pos anggaran, seperti bujet gene­ral check-up dan tunjangan hari raya. Total yang ia terima, menurut jaksa, Rp 183 juta. Merasa dikorban­kan, Sahid lalu bernyanyi dan menyeret-nyeret nama 44 anggota Dewan lainnya yang ia sebut juga menikmati duit itu. ”Ini hukum paling konyol. Anggaran itu disahkan secara kolegial, harusnya ditanggung bersama,” kata Sahid.

Pada Januari 2005, Sahid sempat di atas angin. Pengadilan Bogor membebaskannya dalam putusan sela. Jaksa lalu minta banding. Pengadilan dilanjutkan awal Mei 2005, setelah banding itu diterima. Akhirnya, Sahid divonis penjara empat tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan. Ia juga diharuskan membayar uang pengganti Rp 183 juta. Sahid melawan vonis itu sampai tingkat Mahkamah Agung. Ia hanya dikenai status tahanan kota lantaran vonisnya di bawah lima tahun.

Baru setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Sahid pada medio Juni 2008, kejaksaan mulai bergerak. Sahid sendiri baru ditahan kejaksaan pada April lalu setelah penyakit jantungnya sembuh. Nah, dua bulan kemudian, kejaksaan menetapkan semua anggota Dewan itu sebagai tersangka kasus ini. ”APBD-gate ini jelas dilakukan bersama-sama,” kata Andi.

Di penjara, dua pekan lalu itu, senyum Sahid terkembang lebar saat menyambut para bekas koleganya di Dewan. Sesekali ia terlihat menepuk-nepuk pundak sejawatnya. ”APBD-gate” telah ”menyatukan” mereka kembali.

Anton Aprianto, Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus