Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI sudah tinggal di rumah kontrakan, Darmi masih terlihat murung. Ketika ditemui Tempo, Rabu pekan lalu, ibu enam anak yang pernah menghuni kandang kambing itu tak mau bicara banyak. ”Saya hanya ingin suami cepat bebas dari penjara,” kata perempuan 40 tahun itu, dalam bahasa Dermayu.
Sepatutnyalah Darmi gundah: harta nya habis untuk membayar polisi yang berjanji membebaskan suaminya, Ka dana, dari dak waan pembunuhan sang suami malah divonis tujuh tahun penjara. Kini Darmi menyewa rumah di Gang Empat, Desa Karangampel Lor, Indramayu, Jawa Barat.
Rumah itu sekitar seratus meter dari bekas kandang kambing tempat dia dan lima anaknya dulu berlindung selama sepuluh bulan. Sewa rumah dibayar oleh para donatur yang terenyuh mendengar kisah tragis keluarga buruh tani ini.
Sejak suaminya dipenjara, Darmi men jadi tulang punggung keluarga. ”Anak sulung saya kerja di Arab,” katanya. Sesekali si sulung mengirim uang. Untuk menambal kebutuhan, Darmi menjadi buruh cuci.
Hartanya tumpas karena bujuk rayu Ajun Inspektur Dua Nana Sudana, anggota Kepolisian Resor Indramayu. Nana, menurut Darmi, berjanji membebaskan suaminya dari dakwaan pembunuhan dengan imbalan Rp 23 juta.
Demi membebaskan sang suami, Darmi menjual harta satu-satunya, berupa tanah sepuluh bata sekitar 140 meter persegi seharga Rp 20 juta, kepada seorang guru di desanya. Uang hasil penjualan tanah diserahkan kepada Nana.
Bukannya bebas, sang suami malah dihukum tujuh tahun penjara. Darmi merasa diperdaya. Diantar kakak ipar nya, Casnawi, perempuan yang tidak bisa berbahasa Indonesia itu mengadu kan nasibnya ke Tim Satuan Tugas Pem berantasan Mafia Hukum, Kamis dua pekan lalu.
Di depan dua anggota Satgas, Denny Indrayana dan Mas Achmad Santosa, Darmi menceritakan kisah dukanya. ”Ba gi kami, ini kasus besar,” kata Den ny, Kamis pekan lalu. Tiga hari sebelumnya, Denny mengunjungi rumah kon trak an Darmi, mengantar sumbangan Rp 31 juta dari Sekretariat Negara dan sejumlah donatur.
Bantuan masyarakat juga mengalir, sehingga Darmi sudah bisa membeli tanah seluas 98 meter persegi dengan harga Rp 21 juta. ”Saya ingin membangun rumah,” katanya. ”Tapi menunggu suami.”
l l l
KISAH ini berawal pada Juli tahun lalu. Ruslanto, warga Gang Enam, Desa Karangampel Lor, mendengar teriakan yang mengabarkan sawahnya telah dipanen paksa. Ruslanto, yang baru saja menyelesaikan salat magrib, langsung berlari menuju sawahnya.
Mendengar anaknya pergi kesusu, ibunda Ruslanto, yakni Catur, menyu sul sang anak ke sawah. ”Ibunya memin ta Ruslanto pulang,” kata Sukur, paman Ruslanto. Di sawah, Catur mendapati padi milik anaknya sudah habis diba bat. Padahal tanaman itu belum siap panen.
Catur pun mencari anaknya hingga ke tengah sawah seluas satu hektare itu. Betapa kagetnya perempuan 63 tahun itu: dalam remang petang, ia melihat anaknya terlangkup bersimbah darah. Luka menganga di leher sebelah kanan. Ayah tiga anak itu segera dilarikan ke puskemas terdekat. Apa mau dikata, nyawanya tak tertolong.
Polisi yang mengusut kasus pembunuh an ini bergerak cepat. Malam itu juga mereka menangkap Kadana. Sembi lan teman Kadana juga digiring ke kantor polisi. Orang-orang inilah yang petang itu memanen paksa padi milik Ruslanto. Masyarakat Indramayu menyebutnya jorit alias hejo diarit (hijau disabit).
Kepala Kepolisian Resor Indramayu Ajun Komisaris Besar Nasri Wiharto mengatakan di daerah ini memang ada ”tradisi” jorit, yang biasanya dilakukan berkelompok. ”Sepuluh orang ini dikenai Pasal 170 jo 406 KUHP tentang perusakan,” kata Nasri Wiharto.
Khusus untuk Kadana, polisi menetapkannya sebagai tersangka pembu nuh Ruslanto. Nasri mengatakan, di antara sembilan orang itu, ada yang melihat Kadana menghabisi Ruslanto. ”Posisi Kadana pun paling dekat dengan Ruslanto,” Nasri menambahkan.
Keterangan saksi itu dikuatkan bukti lain. Polisi menemukan sebilah sabit yang masih ada bekas darahnya disimpan di tumpukan baju di lemari Kadana. Setelah diperiksa di laboratorium, darah yang menempel di sabit itu identik dengan darah korban. ”Atas dasar itulah Kadana dikenai pasal pembunuhan,” kata Nasri.
Ketika Kadana ditahan, Casnawi rajin membesuk. Pada suatu kunjungan, Casnawi bersua dengan Nana Sudana. Ajun inspektur dua itu menawarkan bantuan membebaskan Kadana, dengan imbalan Rp 23 juta. Casnawi menyanggupi.
Total uang yang diserahkan kepada Nana mencapai Rp 15,3 juta, hasil penjualan tanah tadi. Suatu kali, pada tengah malam buta, Casnawi pernah menempuh perjalanan sepuluh kilometer dengan menggunakan becak, hanya untuk menyerahkan Rp 300 ribu yang diminta Nana.
Di Pengadilan Negeri Indramayu, jaksa menuntut Kadana tiga belas tahun penjara. Oleh majelis hakim yang diketuai Robert Siahaan, Kadana divonis tujuh tahun penjara, pada 6 April lalu. Seusai pembacaan vonis, Casnawi marah-marah karena adiknya tetap dihukum meski sudah membayar polisi, jaksa, dan petugas rumah tahanan.
Nasri Wiharto mengakui anak buah nya teledor. Ketika diperiksa, Nana mengaku meminta uang kepada Casna wi. ”Uang itu digunakannya sendiri,” ka ta Nasri. Sebagai alasan, Nana menga ta kan uang itu untuk pengobatan ayahnya. ”Alasan itu enggak mutu,” ujar Nasri.
Nana Sudana dijerat dengan pasal penipuan. ”Pekan ini berkas Nana kami limpahkan ke kejaksaan,” kata Nasri. Ia terancam hukuman empat tahun pen jara. Tiga jaksa penuntut umum, yakni Dimas, Wawan, dan Fatimah, juga diperiksa, Jumat dua pekan lalu. Kepada Tim Pengawasan Kejaksaan Tinggi Bandung, mereka menyatakan tidak me nerima uang dari keluarga terdakwa. Dari pengakuan Casnawi, jaksa meminta bagian Rp 3 juta lewat Nana.
Satgas Mafia Hukum mencium sesua tu yang tidak beres pada saat pemeriksaan. Kepada anggota Satgas, Kadana mengaku disiksa selama ditahan di Kepolisian Sektor Karangampel dan Polres Indramayu. ”Ada luka bekas besi panas di kaki Kadana,” kata Denny Indrayana.
Nasri membantah cerita ini. ”Dia tidak bisa menyebut siapa polisi yang menyiksanya,” kata Nasri. Tapi, memang ada dugaan Kadana korban salah tangkap. Menurut Denny, rekan Kadana bernama Maendi, yang ikut menjarah padi hijau itu, mengaku membunuh Ruslanto.
Nasri Wiharto lagi-lagi membantah salah tangkap ini. Buktinya, kata Nasri, Maendi tidak bisa menunjukkan cara dia membunuh juragan padi itu. Berita simpang-siur mengenai pelaku pembunuhan Ruslanto akhirnya membuat keluarga almarhum gelisah.
Ditemui di rumahnya, paman Ruslanto, Sukur, terlihat berkaca-kaca. ”Hati ini masih sesak,” katanya. Vonis tujuh tahun untuk Kadana juga tidak membuat hatinya puas. ”Dia bisa kembali lagi,” katanya. ”Sedangkan keponakan saya sampai kapan pun tidak bisa kembali.” Sukur meminta polisi mengusut tuntas siapa sebenarnya pembunuh kepo nakannya. ”Kalau banding Kadana di terima, siapa sebenarnya yang membunuh keponakan saya?” ia bertanya.
Sutarto, Ivansyah (Indramayu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo