Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dewan Pengawas KPK Mengawasi tanpa Taji

Menurut Tumpak, kehadiran Dewan Pengawas KPK nyata-nyata belum memberikan efek besar terhadap lembaga antirasuah itu. Ibarat pengawas tanpa senjata.

24 Desember 2024 | 09.22 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perseteruan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan Dewan Pengawas KPK menjadi momok tak terlupakan bagi Tumpak Hatorangan Panggabean dan kawan-kawan. Pengawasan yang dilakukan olehnya bersama empat anggota Dewan Pengawas KPK seolah mendapat perlawanan dari dalam. “Pimpinan KPK menggugat peraturan dewas, agak aneh tuh kan, menjengkelkan,” kata Tumpak dalam wawancara kepada Tempo di ruang kerjanya, 12 Desember 2024.

Nuurl Ghufron yang diduga terlibat pelanggaran etik karena menyalahgunakan wewenangnya karena membantu mutasi kerabatnya di Kementerian Pertanian. Justru melawan dengan menggugat Dewan Pengawas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) serta Mahkamah Agung, hingga laporan pidana ke Bareskrim dengan tuduhan pencemaran nama baik.
 
Ghufron bukanlah satu-satunya pimpinan yang berurusan dengan Dewas KPK. Sejak dibentuk melalui Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hampir semua pimpinan KPK peridoe 2019-2024 pernah diperiksa Dewas KPK. Mulai dari Lili Pintauli Siregar, Firli Bahuri, Johanis Tanak, hingga Alexander Marwata.
 
Firli Bahuri menjadi pimpinan yang pernah dijatuhi hukuman terberat dari Dewas KPK yakni pengunduran diri dari lembaga antirasuah itu. Sementara Lili, sebelum dijatuhi hukuman sudah mengundurkan diri, jadi perkaranya gugur. Namun dibalik itu, tak jarang pimpinan KPK berseteru dengan Dewas. Salah satunya dengan mangkir dari panggilan. 
 
Menurut Tumpak, sebagai struktur baru yang hadir setelah 10 tahun lebih lembaga antirasuah berdiri, memang tantangan Dewas KPK kerap dihadapkan dengan pertentangan dengan pimpinan dan pegawai KPK.  “Wajar saja terjadi resistensi, karena biasanya tidak ada yang mengawasi, tiba-tiba ada yang mengawasi,” kata Tumpak.
 
Sebagai bagian dari lembaga antirasuah yang bertugas mengawasi, Tumpak mengatakan sudah menjadi tanggung jawab Dewas KPK untuk menghadapi dinamika tersebut. Tapi, yang jadi soal justru tidak adanya kewenangan Dewas KPK untuk mendukung kerjanya.
 
Menurut Tumpak, kehadiran Dewas itu nyata-nyata belum memberikan efek besar terhadap lembaga antirasuah itu. Karena rupanya undang-undang UU 19 tahun 2019 dibuat secara serampangan, karena tidak memuat kewenangan Dewan Pengawas dalam melakukan tugasnya. “Seolah kami disuruh mengawasi, tapi tidak diberikan senjata,” kata Tumpak.
 
Tugas Dewan Pengawas tertuang dalam Pasal 37B UU Nomor 19 tahun 2019. Ada enam tugas yakni mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantaasn Korupsi; memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan; menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK; menerima dan menindaklanjuti laopran dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.
 
Menyelenggaraan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK; serta terakhir melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu tahun sekali. “Satu pasal pun dalam UU itu tidak menyebut apa kewenangan Dewas untuk melaksanakan tugas itu,” kata Tumpak.
 
Untuk itu, kata Tumpak, hal ini lah yang sangat krusial untuk diperjuangkan bagi anggota Dewas KPK jilid II. Perlu adanya revisi undang-undang agar Dewas memiliki kewenangan yang bisa menjerakan untuk menciptakan KPK yang independen, berintegritas dan akuntabel.
 
Tumpak mengatakan, sepanjang 2019-2024, Dewas KPK telah memberikan sebanyak 329 rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh KPK. Rekomendasi itu berdasarkan hasil evaluasi, sidang etik hingga laporan masyarakat. Namun, hasil rekomendasi itu hanya 295 yang ditindaklanjuti, karena tidak ada daya paksa bagi KPK untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. “Kembali lagi, kalau dia enggak mau peduliin omongan kami, aku nggak bisa apa-apa juga,” kata Tumpak. 
 
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengatakan, selama menjabat sejak 2019 hingga 2024, dirinya menilai lembaga antirasuah itu masih perlu banyak perbaikan dari segi sinergi, kolegialitas, dan kerjasama antar pimpinan. 
 
Selain itu pengawasan atau supervisi pimpinan terhadap perkara tindak pidana korupsi kurang maksimal. “Sehingga tidak sedikit perkara yang penanganannya berlarut-larut, baik di tahap penyelidikan maupun penyidikan,” kata Syamsuddin.
 
Sebagai anggota yang bertanggungjawab terhadap evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK, Syamsuddin telah mengeluarkan 114 rekomendasi untuk evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK yang dinilai melalui Indikator Kinerja Utama (IKU). “Salah satu contoh rekomendasinya meningkatkan pemanfaatan LHA LHKPN, PPATK serta LHP BPK untuk pengusutan dugaan tindak pidana korupsi,” kata Syamsuddin.
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan, hal yang paling krusial di periode pimpinan 2019-2024 adalah penanganan perkara baik dari sisi kuantitas maupun kualitas masih kurang. “Perkara case building yang merugikan keuangan negara dalam jumlah yang relatif besar masih jarang,” kata Albertina.
 
Selain itu, pimpinan KPK periode 2019-2024 juga belum bisa menjadi pelopor dan teladan dalam pelaksanaan tugas secara kolektif kolegial. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan yang saling berkomentar di media dengan pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan.
“Keteladanan itu perlu dalam penegakkan etik,” kata Albertina.
 
Albertina mengatakan, sepanjang 2019-2024, pihaknya mendapati 188 aduan dugaan pelanggaran etik insan KPK. Setiap tahunnya bervariasi yakni pada 2020 sebanyak 20 pengaduan, 2021 sebanyak 38 aduan, 2022 sebanyak 26, 2023 sebanyak 65 aduan. “2024 hingga 10 Desember sebanyak 39 aduan,” kata Albertina.
 
Dari aduan itu, yang terbukti melanggar etik sebanyak 109 orang, tiga diantaranya adalah pimpinan yakni Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri dengan sanksi berat, dan Nurul Ghufron dengan sanksi ringan. 
 
Anggota Dewas KPK Harjono berharap dewan pengawas ke depan, mampu mengubah citra buruk KPK di masyarakat yang merosot akibat banyak pimpinannya yang terasandung etik. “Jika melihat kasus-kasus tersebut, integritas harus dijaga untuk masa yang akan datang,” kata Harjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus