Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF0000>Kutai Timur</font><br />Terbuai Rayuan Bunga Tinggi

Kejaksaan meningkatkan kasus dugaan penyalahgunaan duit penjualan saham PT Kaltim Prima Coal ke penyidikan. Sejumlah bekas bupati dibidik.

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA penyidik asyik berapat di ruang rapat lantai tiga Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Dipimpin Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Arminsyah, para jaksa itu tengah melakukan gelar perkara dugaan penyalahgunaan dana hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal milik Pemerintah Kabupa ten Kutai Timur.

Senin pekan lalu itu, setelah rapat selama dua jam, keputusan diambil. Mereka sepakat meningkatkan kasus tersebut ke tahap penyidikan. ”Tindak pi da nanya terang-benderang,” kata Arminsyah kepada Tempo seusai rapat itu.

Menurut Armin, demikian jaksa ini biasa dipanggil, pihaknya mengusut kasus itu sejak awal Maret lalu. Dari hasil penyelidikan, kejaksaan menemukan sejumlah penyimpangan yang berkaitan dengan penggunaan dana hasil penjualan lima persen saham itu. Penyimpangan, kata Armin, semakin terlihat ketika duit hasil penjualan senilai US$ 63 juta atau setara dengan Rp 586 miliar tak disetor ke kas daerah. ”Tapi dikelola perusahaan daerah,” kata Armin.

Perusahaan yang dimaksud adalah PT Kutai Timur Energi. Badan usaha milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur ini memang menangani penjual an saham itu. Pada Juni 2008, saham dibeli perusahaan lokal PT Kutai Timur Sejahtera. Nah, duit hasil penjualan itu langsung mengalir ke kas Kutai Timur Energi.

Tergiur keuntungan besar, sampai Desember 2008, Kutai Timur Energi telah menyalurkan sebagian besar duit itu ke sejumlah produk investasi. Penempatan itu dinilai kejaksaan bermasalah karena tidak mengantongi persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ”Padahal DPRD sudah mengatur penggunaan dana itu,” kata Armin.

Merunut hasil Sidang Paripurna DPRD Kutai Timur, pertengahan September 2008, mestinya duit itu ditempatkan di Bank Kaltim, untuk jasa keuangan, diinvestasikan ke usaha mikro, kecil, dan menengah, serta untuk kebutuhan pembayaran pajak dan konsultannya. ”Tapi faktanya digunakan di luar itu,” kata Armin.

Dari penelusuran Tempo, Kutai Timur Energi menanamkan duit itu ke sejumlah produk investasi berbunga tinggi, rata-rata 15-17 persen. Di antaranya, US$ 53 juta (setara dengan Rp 492,75 miliar) diinvestasikan di Samuel Sekuritas dan US$ 7,7 juta (Rp 72 miliar) di Bank Indonesian Finance and Investment (IFI) melalui Capital Trade Investment.

Belakangan, duit di Bank IFI ini terancam amblas setelah pertengahan April tahun lalu bank milik Bambang N. Rachmadi itu dilikuidasi. Penempatan dana di Bank IFI ini terungkap setelah Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit laporan keuangan Kutai Timur Investama, induk Kutai Timur Energi, Februari lalu. Badan Pemeriksa Keuangan menilai penempatan dana itu bermasalah karena tak melalui izin DPRD.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan ini ditindaklanjuti kejaksaan. Belakangan, kejaksaan menemukan penyimpangan lain. Tak hanya dalam bentuk investasi, penyimpangan juga ditemukan pada penggunaan dana Rp 3,2 miliar untuk biaya konsultan pajak. Setelah ditelusuri kejaksaan, perusahaan konsultan yang dipakai Kutai Timur Energi ternyata belum berbadan hukum. ”Intinya, dibuat seolah-olah ada pembayaran konsultan pajak,” kata Armin.

Selain menabrak Undang-Undang Keuangan Daerah, menurut Armin, penggunaan dana hasil penjualan saham oleh Kutai Timur Energi itu melanggar Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Kejaksaan mengendus ada pihak yang diuntungkan oleh praktek itu. Untuk tahap awal, kejaksaan menunjuk Kutai Timur Energi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.

Kesimpulan itu diperoleh setelah medio Maret lalu kejaksaan memeriksa sejumlah orang yang dinilai mengetahui dan terlibat perkara ini. Mereka adalah tiga pejabat dan mantan pejabat pemerintah Kutai Timur serta empat petinggi Kutai Timur Energi dan Kutai Timur Investama. Semua pemeriksaan dilakukan di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda.

Rabu pekan lalu, hasil pemeriksaan sudah keluar. Kejaksaan menetapkan dua pemimpin Kutai Timur Energi sebagai tersangka, yaitu Anung Nugroho, presiden direktur, dan Apidian Tri Wahyudi, direktur. ”Keduanya yang paling berperan,” kata Armin. Menurut Armin, lantaran kasus ini masih di kembangkan, keduanya tidak dita han. ”Mereka juga tidak dicekal.”

Dihubungi Tempo Kamis pekan lalu, Anung Nugroho mengaku belum diberi tahu kejaksaan perihal penetapannya sebagai tersangka. Anung mengaku memang pernah diperiksa berkaitan dengan kasus ini. Menurut dia, soal penggunaan dana itu, pihaknya sudah mendapat restu dari pemegang saham, yakni pemerintah Kutai Timur dan DPRD.

Menurut Anung, setelah diinvestasikan, dana itu justru berkembang. Pada Desember 2008, ujarnya, nilainya sudah bertambah menjadi Rp 680 miliar. ”Itu di luar dana di Bank IFI,” kata pria yang juga menjabat Presiden Direktur Kutai Timur Investama ini. Soal duit di Bank IFI, ia optimistis tak akan hangus. Sebab, ujarnya, duit itu dijamin oleh sejumlah aset milik bank. Adapun soal dugaan rekayasa setoran pajak, Anung menyatakan tak tahu-menahu.

Bukan hanya penggunaan duit yang ditelisik kejaksaan. Kepada Tempo, seorang penyidik menyatakan pihaknya juga tengah menelisik peran bupati dalam pengalihan saham Pemerintah Kabupaten ke Kutai Timur Energi pada Juli 2004. Menurut sang penyidik, akibat pengalihan ini, Kutai Timur Energi dianggap sebagai pemilik lima persen saham Kaltim Prima. ”Padahal di Kutai Timur Energi itu ada saham swastanya, kendati kecil,” kata sumber tersebut. Saat pengalihan terjadi, Bupati Kutai Timur dijabat Mahyudin.

Dihubungi di tiga nomor telepon selulernya, Mahyudin tak pernah menjawab. Kepada Tempo, seorang anggota stafnya menyatakan Mahyudin tengah berada di Cina. Sebelumnya, kepada wartawan di Samarinda, Mahyudin menegaskan Kutai Timur Energi memang didirikan untuk mengakuisisi jatah divestasi saham Kaltim Prima ke Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. ”Perusahaan itu seratus persen milik Pemerintah Kabupaten,” katanya.

Seorang penyidik berbisik, kejaksaan juga tengah menyoroti penjualan saham itu. Ini, ujarnya, karena penjualan itu tak pernah mengantongi persetujuan DPRD. Saat penjualan terjadi, Bupati Kutai Timur dijabat Awang Faroek.

Awang sendiri mengakui penjualan saham itu terjadi pada masanya. Namun dia membantah kabar bahwa penjualan itu tanpa persetujuan Dewan. ”Itu sudah disetujui DPRD,” katanya. Penjualan dilakukan, kata Awang, karena saham lima persen itu seperti saham tidur. Sejak dimiliki pemerintah Kutai Timur pada 2005, ujarnya, saham itu baru sekali menghasilkan dividen atau bagi hasil, yakni pada 2005. Soal penggunaan dana, Awang menyatakan tak tahu-menahu karena, setelah penjualan dilakukan, ia mengundurkan diri untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Kalimantan Timur. ”Setelah penjualan, saya tak tahu-menahu.”

Baik Mahyudin maupun Awang, ujar Armin, sudah diperiksa pertengahan Maret lalu di Samarinda. ”Penyidik tengah mendalami keterlibatan mereka,” kata Armin. Kepada Tempo, seorang penyidik menyatakan hanya ada dua kemungkinan yang bakal terjadi pada Mahyudin dan Awang. ”Salah satu jadi tersangka atau dua-duanya jadi tersangka.”

Anton Aprianto (Jakarta), Firman Hidayat (Samarinda)


Petaka Saham Hibah

Kejaksaan Agung menengarai terjadi penyimpangan dalam penjualan 5 persen saham Pemda Kutai Timur di PT Kaltim Prima Coal (KPC). Indikasinya: duit hasil penjualan tak disetor ke kas daerah.

1996
Pemilik KPC, Sangatta Holding (anak usaha Rio Tinto) dan Kalimantan Coal Ltd. (anak usaha BP), menawarkan 51 persen saham ke pemerintah Indonesia. Terjadi divestasi. Harga penawaran US$ 822 juta.

31 Oktober 2002
Pemerintah daerah Kutai Timur ditunjuk pemerintah supaya membeli 18,6 persen saham KPC.

16 Juli 2003
Pemilik KPC dan PT Bumi Resources (Grup Bakrie) meneken akta jual-beli seluruh saham KPC senilai US$ 500 juta.

29 Juli 2003
Pemerintah daerah Kutai Timur dijanjikan hibah 5 persen saham KPC oleh Bumi.

10 Juni 2004
Pemerintah daerah Kutai Timur mendirikan PT Kutai Timur Energi untuk membiayai pembelian 18,6 persen saham KPC

13 Oktober 2003
Pemerintah daerah Kutai Timur meneken akta jual-beli (hak beli) 18,6 persen saham KPC senilai US$ 104 juta (bagian dari divestasi).

Juli 2004
Bupati Mahyudin
Pemerintah daerah Kutai Timur mengalihkan 18,6 persen hak beli saham KPC ke PT Kutai Timur Energi.

Oktober 2005
Karena tak punya duit, Kutai Timur Energi mengalihkan 13,6 persen hak belinya ke Bumi. Imbalannya, Pemda Kutai Timur mendapat realisasi 5 persen saham hibah.

Desember 2005
Bumi resmi menguasai 95 persen KPC.

Agustus 2006
Bupati Awang Faroek
Penawaran penjualan 5 persen saham milik Pemda.

25 Juni 2008
Bupati Isran Noor
Saham Pemda dilego ke PT Kutai Timur Sejahtera senilai US$ 63 juta (sekitar Rp 586 miliar). Duit hasil penjualan tersebut ditampung PT Kutai Timur Energi.

Agustus 2008
Hasil penjualan disalurkan ke produk investasi.

16 Februari 2010
BPK melihat kejanggalan penyaluran duit itu.

Maret 2010
Kejaksaan menyelidiki dugaan penyimpangan penyaluran duit itu.

12 April 2010
Kejaksaan meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus