Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Polisi kerap menjadikan razia sebagai modus pemerasan.
Alih-alih memberikan rasa aman sebagai tujuan razia, polisi di luar kantor mereka jadi meresahkan masyarakat.
Masyarakat perlu mengetahui aturan tentang razia agar dapat menghindari pemerasan.
KEPOLISIAN Resor Kota Besar Semarang menetapkan dua polisi sebagai tersangka pemerasan. Mereka adalah Ajun Inspektur Satu Kusno, 46 tahun, dan Ajun Inspektur Dua Roy Legowo, 38 tahun. "Kasusnya sudah ditangani Polrestabes Semarang, sudah naik ke tahap sidik. Dua anggota, termasuk satu warga sipil, sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Artanto, Selasa, 4 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga sipil yang dimaksudkan Artanto adalah Suyatno, warga Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Laki-laki 44 tahun itu diduga membantu Kusno dan Roy memeras dua remaja Kota Semarang. Adapun Kusno tercatat bertugas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polrestabes Semarang, sementara Roy bertugas di Samapta Kepolisian Sektor Tembalang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat yang sama, kata Artanto, Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Tengah memeriksa Kusno dan Roy atas dugaan pelanggaran etik. Propam sudah menahan kedua polisi itu sejak 2 Februari 2025. "Sidang etik akan digelar secepatnya," kata Artanto.
Praktik pemerasan yang melibatkan ketiganya terjadi pada akhir Januari 2025 di Jalan Telaga Mas, Semarang Utara. Menurut Kepala Kepolisian Resor Kota Semarang Komisaris Besar M. Syahduddi awalnya Kusno, Roy, dan Suyatno mengunjungi kawasan Pantai Marina untuk mencari makan.
Di sana, mereka melihat ada mobil yang terparkir di pinggir jalan. Di dalam mobil itu ada sepasang remaja, yaitu MRW, 18 tahun, dan MMX, 17 tahun. "Melihat keduanya ada di dalam mobil, para tersangka menghampiri mereka," kata Syahduddi.
Mereka mengaku sebagai polisi yang sedang menggelar razia. Ketiganya menuduh dua remaja itu melakukan tindak pidana dan mengancam akan memprosesnya secara hukum. MRW dan MMX percaya begitu saja pengakuan ketiganya karena saat itu Kusno dan Roy memakai seragam polisi bersalut aket hitam.
Kepala Polrestabes Semarang Komisaris Besar Polisi M. Syahduddi. Antara/I. C. Senjaya
Alih-alih membawa dua remaja itu ke kantor polisi, ketiganya merampas kunci mobil dan kartu tanda penduduk (KTP) MRW seraya meminta uang Rp 2,5 juta. MRW tidak punya pilihan selain memenuhi permintaan itu. Namun, setelah uang itu ia berikan, para polisi itu tidak segera menyerahkan kunci mobil dan KTP sehingga terjadi perdebatan antara mereka.
MMX yang khawatir terjadi sesuatu terhadap MRW lalu berteriak, "Maling, maling!" Sejumlah pengunjung datang setelah mendengar teriakan itu. Mereka mengepung mobil yang digunakan tersangka.
Pada saat yang sama, seorang pengunjung menghubungi kantor Kepolisian Sektor Semarang Utara untuk meminta bantuan. Tidak berapa lama, polisi datang. Saat pemeriksaan di kantor polisi itu terungkap praktik pemerasan yang dilakukan oleh dua polisi tersebut.
Pemerasan oleh polisi dengan modus razia sebelumnya terjadi di arena festival musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Korbannya adalah para penonton dari Malaysia. Para penonton ini diminta menyerahkan sejumlah uang bila tidak ingin diperiksa atas dugaan penggunaan obat terlarang. Skandal itu terungkap setelah sejumlah korban mengunggah testimoni di media sosial.
Operasi Patuh Jaya 2024 di kawasan Cideng, Gambir, Jakarta, 15 Juli 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Gina Sabrina berpendapat, masyarakat perlu mengetahui prosedur menggelar razia agar bisa terhindar dari pemerasan. Dia mencontohkan razia yang digelar di konser DWP. "Razia narkotik bisa dilakukan, asalkan pelakunya tertangkap tangan," kata Gina.
Sedangkan dalam pemerasan di Semarang, polisi tidak bisa tiba-tiba merazia mobil yang sedang berhenti di pinggir jalan. Sebab, razia kendaraan di jalan raya memiliki aturan dan tidak bisa dilakukan sembarangan. "Pemerasan seperti yang terjadi di Semarang itu menjadi modus yang paling sering digunakan," ujar Gina. "Pelaku harus dipidanakan, tidak cukup dengan sanksi etik."
Aturan RaziaRazia kendaraan bermotor oleh kepolisian mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memuat ketentuan: |
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pemerasan yang melibatkan polisi di Semarang jelas mencoreng wajah Kepolisian RI. Peristiwa ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap polisi makin menyusut.
Menurut Ardi, razia yang digelar polisi sejatinya bertujuan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda. Masyarakat justru merasa khawatir dan terancam bila polisi menggelar razia. "Masyarakat merasa tidak aman karena sering dicari-cari kesalahannya dan dimintai sejumlah uang jika tidak ingin diproses lebih lanjut," ucapnya.
Secara prosedur, kata Ardi, setiap razia yang digelar kepolisian harus didasarkan pada perintah atasan. Pelaksanaan razia pun harus jelas lokasi, target, dan durasi yang dibutuhkan. Setiap personel yang terlibat dalam razia juga harus jelas. "Namun dalam implementasinya tetap saja terjadi penyimpangan," tuturnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyatakan berbagai modus pemerasan yang dilakukan polisi harus mendapat perhatian serius. Apalagi kejahatan ini terus berulang. "Ini menunjukkan ada problem yang sangat serius di tubuh Polri," kata Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Arif Maulana.
Masalah utama yang membuat polisi mudah tergoda melakukan pemerasan adalah buruknya sistem pengawasan. Ditambah dengan impunitas yang seakan-akan melekat pada setiap aparat penegak hukum. "Polisi kerap hanya dikenai sanksi etik tanpa diproses pidana," ujarnya.
Arief mengungkapkan, upaya penegakan hukum oleh polisi, seperti razia, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan, harus didasarkan pada surat perintah. Penegakan hukum juga tidak boleh transaksional. "Tidak ada biaya dalam kerja-kerja kepolisian, jadi masyarakat jangan mau kalau diperas."
Arif pun menyitir ketentuan yang mengatur soal razia. Salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pasal 40 poin f aturan tersebut menyatakan, "Dalam melaksanakan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, setiap anggota Polri dilarang melaksanakan razia atau operasi kepolisian secara liar atau tanpa dilengkapi surat perintah dinas atau izin dari atasan yang berwenang."
Anggota Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Mohammad Choirul Anam, juga menilai pemerasan oleh anggota Polri di Semarang merupakan perbuatan tercela. Namun dia mengapresiasi Bidang Propam Polri yang sudah turun tangan dan memeriksa kedua pelaku.
Anggota Polri yang melanggar etik, kata dia, harus menjalani sidang etik. "Kalau ada tindak pidananya, ya, harus dipidana," ujarnya pada Selasa, 4 Februari 2025. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo