Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA seperti disambar petir lagi.” Ucapan itu disampaikan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak di hadapan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis dua pekan lalu. Menurut Awang, itulah pe rasaannya kala dirinya ditetapkan sebagai tersangka korupsi kasus penyalahgunaan duit hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Mantan Bupati Kutai Timur itu mengetahui betul bagaimana rasanya tersengat petir. Awang pernah disambar geledek ketika bermain golf di lapangan golf Suwarna, Tangerang, pa da 2002. Temannya bermain, Robinson Hutapea, me ninggal akibat peristiwa tersebut. ”Pene tapan tersangka itu memukul saya dan keluarga,” kata Awang.
Kejaksaan Agung menetapkan Awang sebagai tersangka pada 6 Juli lalu. Dia dinilai bersalah karena tidak menyetor duit penjualan saham KPC ke kas da erah. Pada Juni 2008, atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Da erah, PT Kutai Timur Sejahtera (Grup Bakrie) membeli lima persen saham PT Kaltim Prima Coal milik Pemkab Kutai Timur senilai US$ 63 juta atau setara dengan Rp 576 miliar.
Hasil penjualan saham tersebut langsung mengalir ke PT Kutai Timur Energi, perusahaan yang ditunjuk Pemkab Kutai Timur untuk mengelola saham itu. ”Tindak pidananya karena dia tidak memasukkan uang itu ke kas pemerintah daerah,” kata Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Arminsyah, Kamis pekan lalu.
Oleh PT Kutai Timur Energi, uang hasil penjualan itu ditanam pada sejumlah produk investasi, di antaranya US$ 53 juta (setara dengan Rp 492 miliar) di Samuel Sekuritas dan US$ 7,7 juta (setara dengan Rp 72 miliar) di Bank IFI melalui Capital Trade Investment. Investasi di Capital Trade Investment itu terancam amblas karena Bank IFI, milik Bambang Rachmadi, dilikuidasi April tahun lalu.
Menurut kejaksaan, selain melanggar ketentuan pengelolaan keuangan daerah, penempatan duit di produk investasi itu melanggar hasil rapat pleno DPRD Kutai Timur pada 11 Oktober 2008. Dewan memutuskan duit tersebut akan ditaruh di Bank Kaltim, jasa keuangan, dan usaha mikro serta untuk pembayaran pajak.
Awang membantah semua tuduhan jaksa. Awang menegaskan sejak awal saham itu tidak tercatat di kas Pemkab Kutai Timur. Saham KPC sebanyak 15 ribu lembar itu langsung dikelola oleh PT Kutai Timur Energi. Perusahaan ini ditunjuk oleh Mahyudin, Bupati Kutai Timur periode 2003-2006. ”Mahyudin yang memberikan kewenangan pada perusahaan itu mengelola saham lima persen itu, bukan saya,” katanya.
Awang juga menolak tuduhan melanggar Undang-Undang Keuangan Negara karena tidak memasukkan penjualan saham tersebut ke kas daerah. ”Justru saya yang usul ke DPRD agar hasil penjualan saham itu dimasukkan ke kas daerah,” ujarnya.
Menurut Awang, rapat umum pemegang saham PT Kutai Timur Energi di Grand Melia, Jakarta, pada 22 Agustus juga tidak membahas penggunaan uang hasil penjualan saham. Pemakaian duit itu baru diputuskan dalam rapat pleno DPRD Kutai Timur pada November 2008. Setelah itu, Awang mengaku tidak mengikuti perkembangan penggunaan duit tersebut. ”Sejak awal November saya cuti karena ikut pemilihan Gubernur Kalimantan Timur,” ujarnya.
Awang mengaku baru mengetahui uang tersebut nyangkut di Bank IFI setelah diberi tahu anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil, pada 15 Februari 2010. ”Saya tahunya duit itu disimpan di Bank Mandiri,” ujarnya.
Awang juga membantah jika dikatakan ada kerugian negara dalam perkara ini. Uang tersebut per Desember 2009 sudah berkembang menjadi Rp 720 miliar. Apalagi Pem kab Kutai Timur tak mengeluarkan uang sepeser pun saat memperoleh lima persen saham KPC. ”Di mana kerugian negaranya?” katanya.
Meski sudah berstatus tersangka, Awang belum pernah dimintai keterangan oleh kejaksaan. Menurut Arminsyah, pemeriksaan Awang menunggu surat izin pemeriksaan dari Presiden. ”Senin lalu surat permohonan sudah dikirim ke Sekretaris Negara,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Sejak kejaksaan mengusut perkara ini, Awang giat berkeliling ke sejumlah lembaga ”mengadukan” nasibnya. ”Saya mengeluh dan lapor ke Menteri Dalam Negeri,” kata Awang. Selain ke Komisi Hukum DPR, ia mengirim surat klarifikasi kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji. Amir Syamsudin, kuasa hukum Awang, juga mengirim surat kepada Jaksa Agung pada 12 Juli lalu. Dia meminta kejaksaan mencabut status tersangka kliennya.
Menanggapi pengaduan Awang, Ketua Komisi Hukum DPR Benny Kabul Harman berjanji akan menanyakan kasus itu kepada Jaksa Agung. ”Kalau ada yang diperlakukan sewenang-wenang, masak kami diam,” kata politikus Partai Demokrat itu.
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo