Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF6600>Bisnis Seluler</font><br />Telkomsel Keserimpet Amdocs

Kontroversi perusahaan Israel di PT Telkomsel terus berlanjut. Teknologi Amdocs lebih baik.

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHERINA Munaf menggebrak meja sebuah restoran. Penyanyi remaja ini jengkel karena makanan favoritnya, udang goreng, omelet, dan es teh manis, sudah habis. Ia lalu menumpahkan kekesalannya dengan menyanyikan Geregetan, yang tak lain adalah lagunya sendiri. Itulah sepenggal iklan Simpati Freedom yang tayang di televisi.

Iklan itu menjadi booster penjualan Simpati Freedom yang dirilis PT Telkomsel dua pekan lalu. Berbeda dengan kartu ”prabayar” sebelumnya, Simpati dan Kartu As, fitur dan aplikasi Simpati Freedom lebih lengkap. Teknologi penghitungan tarif pulsanya juga berbeda. Simpati dan Kartu As menggunakan teknologi Convergys Corporation, sedangkan Simpati Freedom menggunakan teknologi Amdocs Ltd.

Meski lebih komplet, penggunaan teknologi Amdocs itu ternyata malah menimbulkan bom waktu. Amdocs terus digoyang setelah memenangi tender billing system (penghitungan biaya percakapan, pesan pendek, dan data) Telkomsel senilai Rp 1,2 triliun pada Maret lalu. Perusahaan penyedia peranti lunak sistem telekomunikasi itu menyisihkan Convergys, Comverse Technology Inc., Oracle Corporation (ketiganya perusahaan dari Amerika Serikat), dan Orga BV, yang terdaftar di Jerman.

Selama proses tender, ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang meri butkan keikutsertaan Amdocs karena diduga merupakan perusahaan Israel. Sedangkan Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Penolakan itu juga berkait an dengan posisi Indonesia yang mendukung perjuangan bangsa Palestina terhadap pendudukan tentara Israel.

Tiga bulan berlalu. Kontroversi Amdocs belum selesai juga. ”Telkomsel harus memberikan klarifikasi,” kata Ahmad Muzani, anggota Dewan dari Partai Gerakan Indonesia Raya, pekan lalu. Muzani anggota Dewan yang paling vokal menyoroti Amdocs.

Dua pekan lalu, anggota dari Komisi Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi ini menyatakan Amdocs bisa menjadi kuda Troya—kisah patung kuda besar berisi prajurit Yunani saat menyerbu Kota Troya—bagi Israel untuk kepentingan ekonomi dan politiknya di Indonesia. Muzani khawatir Amdocs menjadi mata-mata Israel dan menyadap percakapan telepon di Tanah Air. Dia heran Telkomsel memilih Amdocs. Padahal, di Amerika Serikat dan Irlandia, perusahaan tersebut diboikot.

Disorot habis-habisan, manajemen Telkomsel gerah juga. Anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) ini membantah Amdocs merupakan perusahaan Israel. ”Itu perusahaan dari Amerika Serikat,” ujar juru bicara Telkomsel, Ricardo Indra, pekan lalu. Lagi pula, kata Ricardo, pemilihan mitra bisnis perseroan itu dilakukan melalui prosedur yang sesuai dengan peraturan perundangan.

Sebelumnya, Direktur Utama Telkomsel Sarwoto, di sela-sela peluncuran Simpati Freedom di Hotel Intercontinental Mid Plaza, Jakarta, dua pekan lalu, menegaskan Amdocs perusahaan yang berbasis di Missouri, Amerika Serikat. ”Kami sudah mengkaji nya sebelum memilih mereka,” ujarnya.

Kajian Telkomsel terhadap asal-usul Amdocs, kata Sarwoto, juga diperkuat oleh surat pernyataan dari Cameron Hume. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia itu menyebutkan Amdocs adalah perusahaan dari Negeri Abang Sam. Surat pernyataan itu ditembuskan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring.

Isu Amdocs bertambah panas setelah Menteri Tifatul ikut bersuara. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini menyatakan perusahaan negara yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia seharusnya tak bisa ikut tender. Ia memang tak menunjuk langsung hidung Amdocs. Tapi pernyataannya jelas ditujukan kepada perusahaan tersebut. Alhasil, Hume mau tak mau ikut meredam bola panas itu.

Menurut sumber Tempo, Hume ”mendekati” Tifatul dan meyakinkan bahwa Amdocs adalah perusahaan Amerika. ”Sikap Tifatul mencair setelah ada penjelasan Hume,” ujarnya. Atase pers Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, Paul T. Belmont, mengaku tidak tahu ihwal pendekatan Hume kepada Tifatul. Tapi Belmont membenarkan Amdocs berasal dari negerinya. ”Amdocs tercatat di bursa efek New York. Kantor pusatnya di Missouri,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Tifatul membantah cerita itu. ”Saya tak pernah bertemu dengan Hume membicarakan Amdocs,” ujarnya pekan lalu.

l l l

Tifatul dan para pejabat Kementerian Komunikasi makan pagi dengan para petinggi perusahaan telekomunikasi pada awal Maret 2010. Di acara itu, Tifatul bertemu dengan Sarwoto. Tifatul mengeluh kepada bos Telkomsel itu. Perusahaan seluler yang menggelar tender, tapi Kementerian Komunikasi yang menjadi sasaran protes. Para pe mrotes berpikir Telkomsel berada di bawah Kementerian Komunikasi. ”Saya tanya Sarwoto, ada apa, siapa Amdocs,” kata Tifatul menceritakan pertemuan itu.

Selang beberapa hari, Sarwoto memberikan profil Amdocs, termasuk surat penjelasan dari Hume. ”Saya diberi salinan surat dari Hume yang menjelaskan Amdocs perusahaan Amerika,” katanya. Lebih jauh, Tifatul menjelaskan, ia tak pernah memberi Telkomsel izin meloloskan Amdocs lantaran perusahaan telekomunikasi itu berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara. ”Telkomsel anak usaha Telkom, berada dalam pengawasan Menteri BUMN,” ujarnya. Kementerian Komunikasi sama sekali tak bisa mencampuri urusan korporasi Telkomsel. ”Jadi jangan dipelintir isunya.”

Sumber Tempo di Telkomsel mengungkapkan, Amdocs dipilih lantaran teknologinya lebih efisien dibanding Convergys. Satu server Convergys hanya bisa menampung sekitar sejuta data kartu seluler ”prabayar”. Sebaliknya, teknologi Amdocs bisa menampung data lebih banyak, 15-25 juta data kartu seluler ”prabayar”. Teknologi Amdocs juga lebih canggih karena bisa menekan potensi kehilangan Telkomsel ratusan miliar rupiah gara-gara teknologi lama yang ketinggalan zaman.

Dia meyakinkan, Amdocs merupakan badan hukum Amerika Serikat meski bukan mustahil banyak orang Yahudi di dalam perusahaan itu. ”Orang Israel memang menguasai teknologi telekomunikasi dunia,” ujarnya. Di Indonesia, Amdocs sudah lama bekerja sama dengan PT XL Axiata—dulu Excelcomindo. Dia menduga ada persaingan bisnis di balik ribut-ribut Amdocs tadi.

Sumber Tempo lainnya menampik sinyalemen ini. Kecurigaan sejumlah kalangan terhadap Amdocs boleh jadi ada benarnya. Hal itu bisa terlihat dari formulir isian 6-K. Perusaha an yang mencatatkan saham di bursa saham Amerika harus mengisi formulir itu dan menyampaikannya kepada Securities and Exchange Commission (SEC) atau Badan Pengawas Pasar Modal Amerika.

Bila sebuah perusahaan tak mengisi formulir 6-K, kata dia, korporasi itu berasal dari Amerika. Sebaliknya, bila mengisi formulir 6-K, itu berarti korporasi tersebut merupakan perusahaan dari luar Amerika alias emiten asing. Ternyata, kata dia, berdasarkan fasilitas pencarian EDGAR, pencarian data perusahaan publik yang disediakan SEC, pada 22 Juli 2010, Amdocs mengisi formulir 6-K. Artinya, Amdocs adalah perusahaan asing atau bukan per usahaan Amerika Serikat.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies Marwan Batubara, Telkomsel harus membatalkan kerja sama dengan Amdocs bila ternyata terbukti memanipulasi informasi material tersebut. ”Selanjutnya, perusahaan itu dimasukkan ke dalam daftar hitam,” ujar mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jakarta ini. Untuk meluruskan kesimpangsiuran tersebut, kata Muzani, Komisi Pertahanan dan Informasi akan mengundang pemerintah dan Telkomsel ke Senayan. ”Diharapkan pada Agustus klarifikasi mereka bisa diagendakan,” ujarnya.

Enggartiasto Lukita, anggota Komisi Informasi dari Partai Golkar, menyatakan persoalan tender di Telkomsel sebenarnya urusan korporasi, bukan wilayah pemerintah. Terlebih lagi bila Amdocs sudah memenuhi semua syarat yang ditetapkan Telkomsel. Tapi Enggartiasto sepakat ada baiknya Telkomsel menyampaikan klarifikasi resmi kepada Dewan agar bola panas tak menggelinding semakin liar.

Padjar Iswara, Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus