Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF9900>INFORMASI PUBLIK</font><br />Keterbukaan yang Dibayangi Rahasia

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik berlaku mulai 1 Mei. Lembaga pemerintah belum siap meski dua tahun sosialisasi.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANGAN pada akhir pekan itu segera menyebar di kalangan wartawan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kepala Kepolisian Daerah Brigadir Jenderal Yori Yance Worang meminta semua juru warta berkumpul di kantornya pada Sabtu dua pekan lalu. ”Saya ingin memberi tahu bahwa hari ini Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mulai berlaku,” kata Yori. ”Silakan bertanya apa saja, kami akan terbuka.”

Yori juga menunjuk satu perwira yang ia tempatkan di setiap kepolisian resor. Perwira ini bertugas khusus melayani pertanyaan wartawan dan warga Nusa Tenggara Timur. Yori yakin, dengan sikap terbuka dan transparan ini, korupsi di kantornya bisa ditekan. ”Tapi untuk pemeriksaan tersangka tak semua bisa kami buka karena ini menyangkut penyidikan kasus,” katanya.

Menurut catatan Komisi Informasi, kepolisian adalah lembaga yang paling siap melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 ini. Mereka bisa memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan undang-undang tentang lembaga publik yang terbuka: ada rancangan peraturan internal sebagai turunan beleid, memiliki pejabat informasi dan dokumentasi, dan sudah mengklasifikasi jenis informasi. Adapun lembaga lain seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika baru memenuhi satu atau dua kriteria.

Agak aneh juga, lembaga publik kesulitan memenuhi tiga syarat standar itu. Padahal undang-undang ini sudah disahkan dua tahun lalu, setelah perdebatan yang sengit dan alot sejak 2003. ”Dua tahun memang untuk sosialisasi, terutama jeda kepada lembaga publik agar memilah informasi sebelum diakses publik,” kata Ahmad Saragih, Ketua Komisi Informasi Pusat. Menurut Ahmad, memilah-milah mana informasi publik dan mana rahasia menjadi problem semua lembaga negara.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Sekretaris Jenderal DPR baru pekan lalu membuat peraturan layanan informasi. Di daerah, persoalannya lebih gawat. Kecuali Jawa Tengah dan Jawa Timur, provinsi lain belum punya anggaran untuk mendirikan dan menunjuk anggota Komisi Informasi Daerah. Alasan utamanya uang.

Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Bupati Aceng H.M. Fikri bersemangat menyambut berlakunya undang-undang ini. Per 1 Mei 2010 ia memerintahkan semua pejabat di bawahnya agar tak alergi kepada wartawan. Semua pejabat wajib menjawab pertanyaan jurnalis atau warganya yang memerlukan informasi. ”Saya larang pejabat menjawab no comment atau memberikan informasi off the record,” katanya. ”Semua harus terbuka.”

Namun Aceng belum membentuk Komisi Transparansi dan Akuntabilitas Publik sebagai lembaga yang menjembatani informasi pemerintah dengan warganya. Padahal peraturannya sudah dibuat dan disahkan DPRD sejak 2008. Aceng beralasan masih mengkaji cara kerja lembaga ini, jika nanti sudah dibentuk. Bagi dia, anggaran tak jadi soal, tak seperti kabupaten lain yang justru bermasalah dalam urusan duit ini.

Provinsi Jawa Tengah menganggarkan Rp 1,4 miliar setahun untuk membiayai komisi yang dibentuk 27 April lalu. Tapi 35 kabupaten di bawahnya justru belum merencanakan pembentukan lembaga ini. Kabupaten yang sudah memiliki lembaga pengaduan informasi barangkali hanya Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Komisi Informasi Lebak sudah bekerja sejak 2004, ketika elite di Jakarta saling mempertentangkan ketentuan informasi yang bersifat rahasia.

Tahun lalu majalah ini memilih kabupaten termiskin di Banten itu sebagai pelopor akuntabilitas. Lebak bisa bangkit menumbuhkan ekonominya justru bukan dari sumber daya alamnya yang fakir, melainkan transparansi dan keterbukaan. Hasilnya langsung terasa. Pada 2004, investasi yang masuk ke Lebak hanya Rp 235 miliar, tapi pada 2008 investasi naik hingga Rp 5,8 triliun.

Kabupaten dan kota memang tak diwajibkan membentuk Komisi Informasi. Undang-undang hanya memerintahkan pembentukan Komisi Informasi di pusat dan provinsi. Ahmad Saragih bersama enam anggota lain yang dipilih DPR pada Juli tahun lalu akan mengurusi sengketa memperoleh informasi antara warga dan pejabat serta lembaga publik.

Berlakunya Undang-Undang Keterbukaan Informasi ini menandai era baru demokrasi di Indonesia—setelah 32 tahun birokrasi dan lembaga publik merasa harus merahasiakan berbagai jenis informasi. Dengan ketentuan ini setiap orang berhak mengakses dan meminta informasi yang diperlukan, serta lembaga yang dibiayai oleh anggaran negara dan bantuan luar negeri wajib mempublikasikan kegiatan serta anggarannya.

Pejabat atau lembaga yang menolak dan sengaja menghalang-halangi warga memperoleh informasi diancam penjara dan denda dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Komisi Informasi itulah yang akan menengahi jika terjadi sengketa antara peminta dan pemberi informasi.

Sengketa bisa jadi akan marak. Dalam undang-undang ini ada pasal 17, yang mengatur soal kerahasiaan, yang tak boleh diketahui orang banyak. Lalu ada pasal 54, yang mengancam bui siapa saja yang menyebarkan informasi berkategori rahasia. Ketua Dewan Pers Bagir Manan menyebut pasal ini ranjau bagi wartawan. Dengan pasal ini, setiap orang bisa menyeret wartawan yang menulis, misalnya, rahasia kejahatannya. Ini karena tak jelasnya perincian tentang apa itu informasi yang bersifat rahasia. ”Karena itu, perlu dijabarkan lagi dalam peraturan pemerintah,” kata Bagir setelah mendiskusikan hubungan undang-undang ini dengan kemerdekaan pers, Senin pekan lalu.

Tapi, bagi Agus Sudibyo, kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Menurut Koordinator Lobi Koalisi untuk Kebebasan Informasi, yang mengawal pembahasan undang-undang ini sejak awal, undang-undang ini punya rambu di pasal 2, yang menyebut soal konsekuensi kerahasiaan informasi yang harus diuji lebih dulu di Komisi Informasi. ”Jadi, tak semua orang bisa sewenang-wenang menyebut sebuah data berupa informasi rahasia,” katanya. Uji kriteria itu untuk mengetahui kadar kepentingan publiknya.

Agus memberi contoh, jika seorang wartawan memuat data lalu narasumbernya tak terima data itu dipublikasikan karena dianggap rahasia, tak bisa urusannya langsung ke pengadilan. Komisi Informasi akan menguji data itu lebih dulu. Jika kepentingan publik lebih besar, atau data itu penting diketahui publik sehingga harus disiarkan, narasumber tak bisa mengklaim informasi itu berkategori rahasia.

Agus justru lebih khawatir pada pasal 51, yang memuat ancaman penjara satu tahun dan denda Rp 5 juta bagi siapa saja yang dengan sengaja memakai informasi publik untuk melawan hukum. ”Ini bisa dijadikan dalih pencemaran nama baik,” kata Agus, yang kini jadi anggota Dewan Pers. Menurut dia, di negara maju, undang-undang memperoleh informasi hanya mengatur soal akses warga negara, bukan bagaimana dan untuk apa informasi publik itu dipakai.

Toh, Agus menilai undang-undang ini sebuah kemajuan. Agus menghitung, 65 persen dari pasal yang diajukan dalam draf awal disetujui oleh DPR dan pemerintah. ”Setelah reformasi, ini undang-undang paling bagus yang pernah dibuat parlemen,” katanya.

Bagja Hidayat, Erwin Daryanto (Jakarta), Sigit Zulmunir (Garut), Yohannes Seo (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus