Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font size=2 color=#FF9900>PEMBUNUHAN</font><br />Sepotong Mayat di Gudang Arang

Polisi yakin Ardiansyah, wartawan Merauke TV, tewas bukan karena dibunuh. Aliansi Jurnalis Independen menemukan fakta sebaliknya. Ia dibunuh sebelum dilemparkan ke sungai.

30 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua, seratusan wartawan bergerak ke kantor Kepolisian Daerah Papua. Senin pekan lalu itu, mereka ingin bertemu dengan Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Bekto Suprapto. Bukan untuk meliput kegiatan Kepala Polda, melainkan menanyakan kasus pembunuhan Ardiansyah Qomar Wibisono Matra’is. Akhir Juli lalu, wartawan Merauke TV yang biasa dipanggil Ardi itu ditemukan tewas di Sungai Maro, di wilayah Gudang Arang, Merauke.

Tiba di pintu gerbang, para wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik dengan berjalan mundur menuju kantor Bekto. Aksi jalan mundur tersebut merupakan simbol kerja polisi yang, menurut para wartawan, tak becus mengusut kematian Ardiansyah. ”Kami minta Kapolda dicopot karena tak mampu mengungkap pembunuhan ini,” kata Victor Mambor, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, yang mengkoordinasi unjuk rasa ini.

Kepolisian menolak dituding lamban mengusut kasus kematian Ardiansyah. Kepala Kepolisian Resor Merauke Ajun Komisaris Besar Djoko Prihadi, misalnya, menegaskan pihaknya masih menyelidiki kasus ini. Djoko mengakui pihaknya kesulitan menemukan penyebab kematian Ardi. ”Saksi dan buktinya sangat minim,” katanya.

Menurut Djoko, dari hasil otopsi, dokter menyimpulkan Ardi tewas bukan karena penganiayaan. Kepada AJI Jayapura, Milka Betaubun, dokter yang mengotopsi mayat Ardi, membantah keras soal adanya luka bekas pukulan di tubuh Ardi. ”Memang ada luka, tapi luka itu bukan akibat kekerasan,” ujar Milka. Memar tersebut, menurut Milka, muncul karena mayat Ardi lama terendam di air.

Para wartawan di Jayapura tak percaya atas keterangan itu. Mereka yakin Ardi tewas lantaran dibunuh. AJI sendiri telah melakukan investigasi soal tewasnya Ardi. Hasilnya, AJI menyimpulkan mantan wartawan tabloid Jubi ini dibunuh sebelum kemudian mayatnya dilempar ke sungai. Menurut Viktor, saat ditemukan mengambang di Sungai Maro, di leher Ardi ada bekas luka jeratan. Lidahnya terjulur keluar. ”Jadi dia dibunuh, bukan bunuh diri.”

Keluarga Ardi juga meyakini hasil temuan AJI. ”Ada bekas pukulan di bawah ketiak, di bawah telinga, dan di ulu hati,” kata Uki, kakak Ardi. Dari telinga adiknya itu, menurut Uki, keluar air bercampur darah. Keluarga Ardi menuding rumah sakit berusaha menyembunyikan sejumlah fakta penyebab kematian Ardi. Suratno, ayah Ardi, juga menyatakan lebih percaya pada hasil investigasi AJI. ”Karena ada tulang rusuk Ardi yang patah,” kata Suratno.

l l l

Mayat Ardi pertama kali dilihat Rudolf Kemon, seorang warga Gudang Arang, sekitar pukul 06.00 pada 30 Juli lalu. Jenazahnya mengapung di dekat sebuah tiang kayu penyangga jembatan. Kemon langsung mengambil seutas tali dan mengikat tangan mayat itu agar tidak hanyut terbawa arus. Sekejap penemuan mayat itu pun membuat warga geger.

Saat ditemukan, kondisi mayat itu sulit dikenali. Tubuh membengkak dan berwarna kehitaman. Belakangan, saat Uki memeriksa gigi mayat tersebut, ia yakin itu Ardi, adiknya. ”Dia punya dua gigi palsu.”

Dua hari sebelum ditemukan meninggal, menurut Uki, Ardi sempat mengantar dua anaknya pergi ke sekolah. Rabu, 28 Juli, setelah menjemput anaknya, Ardi, yang pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Abepura karena depresi, terlihat bingung dan ketakutan. Saat ditegur ayah dan istrinya, ia diam saja. Ia lalu pergi ke luar rumah. ”Saya sedih. Saya tanya mau ke mana, tapi dia langsung pergi,” kata Wulistilahwati, istri Ardi, mengenang pertemuan terakhirnya dengan sang suami.

Hingga malam, Ardi tak kunjung pulang. Istri dan keluarganya mulai gelisah. Dengan mengendarai sepeda motor, Uki berkeliling Kota Merauke mencari Ardi. Sekitar pukul 19.30, Denny, kawan Uki, melihat sepeda motor yang dipakai Ardi. Sepeda motor itu diparkir di pinggir jembatan Tujuh Wali-wali, 100 meter dari Kuprik, Distrik Semangga, pinggiran Kota Merauke. Helmnya diletakkan di atas trotoar. Sandal yang dikenakan Ardi berada lima meter dari sepeda motor, yang diletakkan rapi di besi penyangga jembatan.

Ardi sendiri raib. Dua hari kemudian, barulah ia ditemukan. Mayatnya hanyut dibawa aliran Sungai Maro sejauh 20 kilometer dari jembatan Tujuh Wali-wali, tempat sepeda motornya ditemukan.

l l l

Ardiansyah sudah malang-melintang di berbagai media. Pertengahan 2008, ia diterima di tabloid Papua Fokus. Hanya beberapa bulan di Papua, ia kemudian menjadi wartawan lepas ANTV. Dari ANTV ia pindah lagi ke majalah Foja dan Top TV Papua. Sekitar Maret 2009 dia pindah lagi ke tabloid mingguan Jubi, sebelum kemudian menjadi reporter Merauke TV.

Kepada teman-temanya, Ardi mengaku mendapat teror setelah merekam banjir di Arso, Kabupaten Jayapura, akhir Januari tahun lalu. Banjir bandang itu menghanyutkan kayu hasil pembalakan liar. Hasil liputan ini dimuat di Jubi TV dengan durasi 3 menit 3 detik. Menurut Dedek, rekan Ardi yang juga wartawan, seusai liputan banjir itu, Ardi mengaku sering dibuntuti orang. ”Dia mengeluh diteror lewat SMS dan telepon.”

Dedek mengatakan Ardi tidak pernah memberi tahu siapa pengancamnya. Ia hanya menyatakan orang yang mengancam tersebut tidak menyukai pekerjaannya sebagai wartawan. Beberapa kali Ardi menunjukkan pesan pendek berisi ancaman itu kepada Dedek. Bunyinya, ”Tolonglah, Mas, NKRI dikit-lah,” kata Dedek menirukan isi SMS tersebut. Menurut Dedek, peneror itu meminta Ardi tidak membuat berita yang menonjolkan persoalan Papua.

Tidak hanya kepada Dedek, Ardi juga menceritakan ancaman itu kepada teman-temannya di kantor. Menurut anggota staf redaksi tabloid Jubi, Jerry Omona, Ardi pernah menyampaikan ancaman itu di rapat redaksi. ”Kalian semua yang membuat begini. Saya diteror untuk kepentingan yang lebih besar. Saya tahu, saya pasti mati,” kata Jerry menirukan ucapan Ardi. Menurut Dedek, Ardi juga pernah bercerita bahwa ia kesal kepada temannya di redaksi yang ia duga agen intel. ”Dia bilang yang disusupkan Badan Intelijen Negara,” kata Dedek.

Kini, sebulan sejak jenazah Ardi dimakamkan, motif dan pelaku pembunuhan itu masih gelap. Polisi mengatakan kesulitan mengusut ancaman teror itu karena telepon seluler Ardi hilang. Tapi alasan ini tidak bisa diterima AJI. Organisasi wartawan itu mendesak polisi segera mengungkap kasus pembunuhan ini.

Selain itu, Ridwan Salamun, wartawan Sun TV, Sabtu dua pekan lalu meninggal saat meliput kerusuhan di Tual, Maluku Tenggara. Ia terjebak di tengah bentrokan warga Kampung Banda Ely dengan warga Desa Tigitan. Ridwan meninggal dengan luka bacok di kepala dan punggungnya.

Polda Maluku bergerak cepat mengusut kasus ini. Polisi menetapkan Ibrahim Raharusun sebagai tersangka yang membunuh Ridwan. Empat belas saksi yang terlibat dalam bentrokan itu juga sudah diperiksa. Menurut Viktor, mestinya Polda Papua mencontoh kesigapan polisi Maluku untuk mengungkap kasus Ardi.

Sutarto (Jakarta), Tjahyono E.P. (Merauke), Cunding Levi (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus