Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti dua peristiwa penembakan warga sipil oleh anggota Polri yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah, dan Bangka Belitung. Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, mengatakan Polri harus menghukum berat para anggota yang terlibat dan menjatuhkan hukuman Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KontraS menyebut penembakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius. “Polisi telah melakukan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing atau unlawful killing),” tutur Dimas dalam keterangan resmi, dikutip Ahad, 1 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimas menekankan berulangnya peristiwa penembakan oleh polisi terhadap warga sipil ini disebabkan karena proses penuntasan kasusnya tidak transparan. KontraS menuntut agar para pelaku dapat diberikan hukuman berat. “Tidak hanya sanksi etik yang berujung pada pemberhentian secara tidak hormat, namun juga penegakan hukum melalui peradilan umum,” tutur Dimas.
Dimas menilai penggunaan senjata api yang menyebabkan korban jiwa dan luka oleh polisi itu tidak sesuai dengan prosedur. Seharusnya, menurut Dimas, penggunaan senjata oleh institusi kepolisian disesuaikan dengan prinsip penggunaannya, termasuk tata cara ketika senjata tersebut digunakan.
Dalam kasus tewasnya seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Semarang, Jawa Tengah, pada Ahad, 24 November 2024 lalu, polisi berdalih bahwa penembakan itu dilakukan untuk melerai tawuran. Selain korban meninggal, penembakan tersebut juga melukai dua pelajar lain.
Sementara di Bangka Belitung, pada hari yang sama, penembakan juga terjadi di kebun kelapa sawit PT Bumi Permai Lestari (PBL). Korbannya ialah seorang warga Desa Berang, Benny. Dia dituduh mencuri sawit milik PT BPL, dan meninggal setelah ditembak oleh anggota Brimob Polda Bangka Belitung.
Adapun KontraS menilai penembakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga sipil itu melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan hingga prinsip-prinsip internasional. Salah satunya ialah terlanggarnya hak untuk hidup bagi korban, yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 (UU 12/2005).
Selain itu, penembakan oleh polisi itu juga melanggar prinsip penggunaan kekuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. “Di mana ada prinsip yang harus dihormati yakni legalitas (sesuai hukum yang berlaku), nesesistas (situasi yang tak dapat dihindarkan), dan proposionalias (menghindari timbulnya kerugian, korban, atau penderitaan yang berlebihan),” kata Dimas.
Lebih lanjut, KontraS juga menyebut dua anggota Polri yang menjadi pelaku penembakan itu telah melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Dalam aturan tersebut pada Pasal 48 huruf b, tertuang bahwa senjata api hanya digunakan dalam keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia.
“Penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian harus melalui prosedur sebagaimana telah diatur dalam kedua perkap tersebut, dengan maksud untuk menghentikan dan menghindari jatuhnya korban,” ujar Dimas.
Pilihan Editor: Penembakan Tiada Henti oleh Polisi