Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 26 Juli, tepat 20 tahun yang lalu, adalah hari yang nahas bagi Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Dalam perjalanan kerjanya ke Mahkamah Agung (MA), ia tidak sadar jika mobilnya diikuti oleh dua pria tak dikenal yang berboncengan menaiki motor. Saat melintasi Jalan Pintu Air Serdang, Kemayoran, pria yang dibonceng tiba-tiba saja meluncurkan beberapa tembakan ke arahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peluru yang terlepas berhasil menembus lengan, dada, dan rahang kanan Syafiuddin. Meskipun masih bernapas di lokasi kejadian, ia dinyatakan wafat setelah dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sementara itu, dua pelaku pembunuhannya berhasil melarikan diri setelah mengancam para saksi.
Syafiuddin adalah hakim yang terkenal akan kredibilitasnya. Ia banyak menangani perkara besar yang menyangkut nama-nama penting dan berkuasa. Sebelum pembunuhannya terjadi, ia disibukkan dengan kasus tukar guling PT Goro Batari Sakti (GBS) dengan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang menyeret nama anak presiden kedua, Tommy Soeharto.
Melansir dari pemberitaan Tempo, Kamis, 14 Agustus 2003, kasus tukar guling PT GBS dan Bulog berpangkal sejak Soeharto masih berkuasa pada 1994. Kasus ini membawa kerugian bagi negara hingga Rp 95,6 miliar.
Pada April 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Tommy Soeharto dari segala dakwaan. Setelah jaksa mengajukan banding di tingkat kasasi MA, Hakim Agung Syafiuddin akhirnya memvonis Tommy bersalah dengan hukuman kurungan 18 bulan penjara, ganti rugi Rp 30 miliar, dan denda Rp 10 juta pada 22 September 2000. Tommy sempat menemui presiden Abdurahman Wahid untuk mengajukan permohonan grasi namun ditolak. Ia lalu melarikan diri.
Peristiwa pembunuhan Syafiuddin terjadi di waktu yang sama pada saat Polda Metro Jaya sedang memburu Tommy melalui tim khusus. Hal ini memunculkan dugaan yang kuat bahwa Tommy merupakan otak dari pembunuhan itu. Pada 6 Agustus 2001, dugaan tersebut terbukti setelah penyidik menemukan senjata api, bahan peledak, dan dinamit dari rumah yang disewa Tommy di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Pada 7 Agustus 2001, polisi berhasil menangkap dua pria penembak Syafiuddin. Mereka adalah Mulawarman dan Noval Hadad. Keduanya mengaku membunuh atas perintah Tommy dengan bayaran senilai 100 juta rupiah. Tommy yang akhirnya tertangkap pada akhir November kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Di dalam tahanan, Tommy masih bisa menikmati berbagai kemewahan. Ada helikopter yang siap menerbangkannya dari Nusakambangan ke Jakarta apabila ia sakit, sebagaimana dikutip dari Koran Tempo edisi 31 Oktober 2006. Baru sepertiga masa tahanannya, Tommy dinyatakan bebas bersyarat berkat pengurangan masa hukuman oleh MA dan beragam remisi yang diterimanya.
Istri Syafiuddin, Soimah, mengaku sakit hati saat mendengar kabar pembebasan Tommy. Menurutnya, pembebasan itu penuh dengan rekayasa. “Mereka semua yang atur itu supaya Tommy cepat bebas. Kalau tak direkayasa, pasti dia masih di dalam (penjara),”ujar Soimah.
Kini, 20 tahun semenjak kematian Syafiuddin, Tommy Soeharto masih eksis berkarir sebagai pengusaha papan atas. Dirinya bahkan aktif dalam dunia politik dan sempat berpartisipasi dalam pemilu 2019 silam melalui Partai Berkarya.
Dalam wawancaranya dengan presenter Najwa Shihab, Tommy mengatakan jika selama persidangan tidak ada saksi yang memberatkannya. “Yang menyatakan bahwa saya pelakunya atau dalangnya. Tak ada satu pun," ucap dia 2019 lalu.
Ia pun merasa embel-embel mantan narapidana tidak memberatkannya untuk aktif di dunia politik dan memimpin partai. "Tidak, karena memang sudah dijalankan. Secara hukum juga sudah bebas murni dan MK sudah memutuskan bebas murni. Kalau ada masyarakat yang mengaitkan seperti itu ya boleh-boleh saja. Itu hak mereka," kata Tommy saat ditanya soal kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
SITI NUR RAHMAWATI
Baca juga: