Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Peti jenazah Brigadir J yang tewas dalam baku tembak dengan Bharada E di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo sempat tak diizinkan saat akan dibuka oleh keluarga.
Saat itu keluarga ingin melihat untuk terakhir kalinya jenazah anggota Brimob tersebut. Lalu apa sebab peti jenazah Brigadir J sempat tak diizinkan dibuka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi pernyataan keluarga Brigadir J soal peti jenazah yang tak boleh dibuka oleh personel kepolisian.
Berikut fakta-fakta alasan polisi melarang keluarga Brigadir J buka peti jenazah, menurut psikologi forensik tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Merupakan langkah konstruktif
Menurut Reza, inisiatif personel polisi melarang pihak mana pun melihat apalagi memotret jenazah dapat dipahami sebagai langkah konstruktif. “Hal tersebut barangkali disikapi negatif oleh pihak yang ingin melihat jenazah,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Sabtu malam, 16 Juli 2022.
2. Kondisi jenazah dapat menyebabkan trauma
Trauma pada seseorang dapat terjadi tak hanya akibat ekspos langsung terhadap kejadian yang tidak menyenangkan. Tetapi juga karena pengamatan atau dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah vicarious trauma. Reza mengatakan, setiap orang memiliki ambang toleransi masing-masing terhadap peristiwa traumatis. Ada yang rendah, ada yang tinggi.
3. Dampak vicarious trauma sama seperti trauma langsung
Menurut Reza, ketika seseorang mengalami vicarious trauma, guncangan yang dirasakan bisa sama dengan orang-orang yang mengalami trauma langsung. Dampaknya pun luas, mulai fisik, psikis, hingga sosial. “Ini menjadi dasar teoretis pelarangan tersebut,” ujarnya.
4. Larangan tersebut untuk mencegah trauma pascamelihat jenazah
Pelarangan membuka peti Jenazah Brigadir J, kata Reza, bermanfaat agar pihak keluarga tidak menderita trauma pascamelihat jenazah. Apabila pihak yang menderita trauma bertambah, baik trauma langsung maupun vicarious trauma, maka bertambah pula ‘beban’ yang harus diatasi.
“Tidak bisa dimungkiri, personel Polri secara umum tidak terlatih untuk mendampingi individu-individu yang terguncang apalagi menderita trauma, termasuk vicarious trauma,” kata dia.
5. Disebut sebagai langkah penuh empati
Menurut Reza, keputusan personel polisi yang sempat melarang peti jenazah Brigadir J untuk dibuka merupakan langkah penuh empati. Sebab, kata dia, apa yang dilihat oleh mata awam berbeda tafsir dengan apa yang dilihat oleh mata profesional.
“Ketika jenazah dinilai oleh mata awam, keakuratannya juga sangat mungkin berbeda dengan mata profesional yang terlatih untuk itu,” kata Reza ihwal kasus Brigadir J. Selain itu, kata Reza, ketika foto jenazah tersebar lalu dikomentari secara keliru oleh yang bukan ahlinya, komentar-komentar tersebut dapat memunculkan imajinasi yang tak terkendali. Imajinasi sedemikian rupa akan melipatgandakan risiko vicarious trauma.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga : Keluarga Brigadir J Duga Ada Jejak Pidana di Mobil Irjen Ferdy Sambo
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.