Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Peradilan Kata-Kata

Karena sepenggal pernyataan, Goenawan Mohamad dan Koran Tempo dinyatakan bersalah. Undang-Undang Pers kembali tidak dipedulikan.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Trio majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tiba-tiba berubah. Satu dari pengadil kasus gugatan Tomy Winata terhadap Goenawan Mohamad, Koran Tempo, dan PT Tempo Inti Media Harian itu diganti, Senin pekan lalu. Hakim John Fritz Polnaja duduk di kursi yang biasa dipakai Hakim Rustam Idris.

Pertanda majelis hakim tidak mencapai kata sepakat? "Keputusannya bulat," kata Ketua Majelis Hakim, Zainal Abidin Sangadji. Menurut Sangadji, Hakim Rustam mendadak sakit kepala gara-gara malamnya makan cumi-cumi. Dengan formasi baru, majelis hakim meneruskan acara pembacaan putusan itu. Sejak awal Sangadji sudah mewanti-wanti, pihak yang kecewa dipersilakan banding.

"Majelis hakim memutuskan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum," kata Hakim Sangadji membacakan putusan. Majelis menolak seluruh eksepsi (keberatan) dari tergugat satu (Goenawan Mohamad) dan tergugat tiga (PT TEMPO Inti Media Harian). Hanya satu butir eksepsi dari PT Tempo Inti Media Harian yang diterima hakim, yaitu gugatan ganti rugi moril dan materiil dari Tomy Winata sebesar Rp 21 miliar, yang dinyatakan ditolak karena tidak dirinci.

Sedangkan eksepsi yang ditolak, antara lain, permintaan pengacara Goenawan yang mengatakan bahwa gugatan Tomy terlalu dini, karena sebelumnya Tomy tidak pernah melakukan hak jawab, somasi, atau teguran kepada Koran Tempo atas berita tersebut seperti diatur dalam Undang-Undang Pers. Selain itu, gugatan juga dinilai tidak jelas karena tidak menyebutkan secara khusus hubungan Goenawan dengan Koran Tempo. Satu lagi, gugatan dinilai kurang pihak karena media lain yang memuat berita yang sama tidak turut digugat.

Majelis hakim akhirnya memutuskan Goenawan harus memuat pernyataan maaf pada halaman satu di dua harian nasional selama dua hari berturut-turut. Selain itu, tergugat harus membayar dwangsom atau uang paksa sebesar Rp 10 juta per hari jika telah ada keputusan hukum tetap.

Kasus ini bermula ketika budayawan Goenawan Mohamad bersama sejumlah tokoh nasional mendatangi Kepala Polri, Maret tahun lalu. Mereka mengajukan protes terhadap penyerbuan orang-orang yang mengatasnamakan pendukung Tomy Winata ke kantor Majalah TEMPO beberapa hari sebelumnya. Saat jumpa pers, Goenawan menyampaikan, "Jangan sampai Republik Indonesia jatuh ke tangan preman, juga jatuh ke tangan Tomy Winata." Tomy menganggap pernyataan itu mencemarkan nama baiknya, sehingga ia menggugat secara perdata Goenawan, Koran Tempo, dan PT Tempo Inti Media Harian, penerbit Koran Tempo.

Perjalanan kasus ini memang diwarnai sejumlah kejanggalan. September lalu, rumah Goenawan dinyatakan dalam status sita jaminan oleh pengadilan atas permintaan penggugat. Padahal prosedur yang ada menyebut sita jaminan dilakukan dalam kasus sengketa utang-piutang. Sebulan kemudian, Ketua Majelis Hakim Mabruq Nur, yang menjatuhkan keputusan sita, dimutasi dan digantikan oleh Hakim Sangadji.

November lalu, saat Sangadji memimpin sidang, seorang pria yang tidak jelas identitasnya menggebrak meja pengacara TEMPO dan mengancam membunuh majelis hakim. "Saya tembak nanti majelis hakim semuanya," kata pria itu. Anehnya, perbuatan pria itu hingga kini tidak pernah diusut sebagai penghinaan terhadap lembaga pengadilan atau contempt of court.

Terhadap keputusan majelis hakim, pihak Goenawan dan Koran Tempo langsung menyatakan banding. "Kami menolak meminta maaf kepada Tomy Winata, apalagi membuat pengumuman iklan pernyataan minta maaf," kata pengacara Goenawan, Todung Mulya Lubis. Menurut dia, majelis tidak cukup kuat mengatakan bahwa pernyataan Goenawan merupakan perbuatan melawan hukum. Sebab, kebebasan menyatakan pendapat dijamin oleh undang-undang dasar. Esensi pernyataan itu, menurut Mulya, menyatakan bahwa tidak ada yang mau negara ini jatuh ke tangan preman, tidak ada pula yang mau negara ini jatuh ke tangan Tomy Winata.

Sementara itu, pengacara Tomy Winata, Erman Umar, menyatakan pikir-pikir terhadap keputusan majelis hakim. "Saya harus berkonsultasi dengan klien kami dulu," ujarnya seusai sidang. Secara pribadi, Erman mengaku tidak puas karena hakim menolak gugatan moril dan materiilnya.

Menurut pengamat hukum pers, Hinca Panjaitan, keputusan ini merupakan upaya pemasungan kebebasan berpendapat melalui media. "Media punya tugas melakukan kritik sepanjang itu untuk kepentingan publik, dan itu diamanatkan di Pasal 6 Undang-Undang Pers," tuturnya. Dia juga heran Sangadji mendikte kata demi kata pernyataan maaf yang harus dimuat. "Itu namanya intervensi terhadap karya jurnalistik," kata Hinca.

Agung Rulianto, Juli Hantoro, Indra Darmawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus