Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berubah menjadi layaknya sebuah ruang konferensi. Sebuah proyektor menghadap layar terpasang di sisi kiri meja majelis hakim. Seperangkat alat pengeras suara juga sudah tertata sebelum sidang dimulai, Senin pekan lalu. Hari itu majelis hakim akan menyidangkan kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap pengusaha Tomy Winata.
Saat memasuki sidang, ketua majelis hakim Suripto menanyakan kegunaan peralatan itu kepada Trimoelja D. Soerjadi, pengacara tiga terdakwa. Mereka adalah Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO Bambang Harymurti serta awak TEMPO Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali. Sang Pengacara menjelaskan bahwa alat itu akan digunakan untuk membeberkan cara pengujian suara Tomy Winata.
Itulah sidang kasus TEMPO yang kesekian kalinya. Ketiga terdakwa dituduh mencemarkan nama baik bos Grup Artha Graha tersebut gara-gara tulisan Ada Tomy di Tenabang? yang dimuat dalam TEMPO edisi 3-9 Maret tahun lalu. Tak hanya dituntut secara pidana, buntutnya pihak TEMPO menghadapi serangkaian gugatan (lihat Sederet Pengaduan dan Gugatan).
Pengujian suara Tomy perlu dilakukan karena dalam persidangan bulan Oktober 2003 dia membantah telah diwawancarai wartawan TEMPO. Saat mendengar rekaman hasil wawancara, ia menyebut suara itu hanya mirip suaranya. Padahal pihak TEMPO juga menyodorkan bukti berupa cetakan resmi sambungan pembicaraan dari PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Hasil cetakan Telkom menunjukkan adanya sambungan dari kantor TEMPO ke telepon genggam Tomy Winata pada 27 Februari 2003 pukul 17.12 WIB.
Cara mengujinya sederhana, yakni dengan membandingkan amplitudo dan frekuensi suara Tomy sehari-hari dengan suara Tomy saat diwawancarai TEMPO. Kebetulan wartawan TEMPO menyimpan rapi rekaman hasil wawancara tersebut. Suara Tomy sehari-hari bisa diambil sampelnya dari suaranya saat berbicara di persidangan atau pada kesempatan lain. Inilah yang hendak dipertunjukkan oleh pengacara TEMPO lewat proyektor.
Hanya, buru-buru jaksa penuntut umum Robert Tacoy memprotesnya. "Kami keberatan," katanya. Dia berpendapat alat-alat bantu tersebut tidak ada hubungannya dengan dakwaan yang diajukan.
Toh, sidang tetap dilanjutkan dengan agenda menguji keaslian suara Tomy dalam rekaman wawancara itu. Saksi yang dihadirkan tak lain dari Kanjeng Raden Mas Tumenggung (K.R.M.T.) Roy Suryo, seorang pakar telematika dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bukan kali ini saja Roy diminta sebagai saksi ahli untuk membuktikan keaslian suara seseorang dalam rekaman. Hal yang sama dilakukannya saat menguji keaslian rekaman pembicaraan telepon antara Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib dalam kasus pemuatan berita di majalah Panjimas. Dia juga pernah menguji rekaman pembicaraan antara A.A. Baramuli dan Setya Novanto dalam kasus cessie Bank Bali.
Dalam persidangan kasus TEMPO, Roy membandingkan rekaman suara Tomy pada tiga kesempatan. Yang pertama saat Tomy menjadi saksi di persidangan, kemudian saat rapat dengar pendapat di DPR, dan terakhir rekaman wawancaranya dengan wartawan TEMPO.
Sebagai patokan, ahli telematika tersebut memakai rekaman video Tomy dalam rapat dengar pendapat untuk melihat ketepatan antara gambar dan suara. Dokumentasi yang diambil dari rekaman Metro TV itu ditampilkan ke layar. Tampak beberapa kali Tomy mengawali kalimat memakai kata "kami"' dengan nada mengiba yang cukup jelas. Suara itu lalu dianalisis melalui alat bernama audio spectrum analyzer. Patokan ini kemudian dicocokkan dengan dua rekaman lainnya. Ternyata, dilihat dari frekuensi, amplitudo, resonansi, dan sebagainya, suara itu identik. Ketiga hasil rekaman itu berisi suara Tomy Winata. "Suara rekaman dengan suara pembanding sama," kata Roy (lihat juga Tiga Suara, Satu Nada).
Setelah mendengar kesaksian tersebut, pengacara TEMPO, Trimoelja, kemudian meminta majelis hakim memerintahkan agar jaksa menuntut Tomy. Permintaan serupa pernah disampaikannya dalam beberapa persidangan sebelumnya. Permintaan tersebut sesuai dengan aturan hukum Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ayat satu pasal tersebut jelas-jelas menyebutkan, jika keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Yang lebih penting lagi ketentuan ayat 2 pasal tersebut. Di situ dinyatakan, apabila saksi tetap pada keterangannya, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberikan perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
Lalu, pada ayat ketiga pasal yang sama disebutkan, dalam hal demikian terjadi (kejadian yang disebut kedua ayat sebelumnya), panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan saksi itu adalah palsu. Berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
Ayat terakhir menyebut, jika perlu, hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Namun, dalam kasus TEMPO kali ini, permintaan terdakwa yang diwakili pengacara selalu ditolak hakim. Penolakan ini dengan dalih agar pihak terdakwa saja yang mengadukannya ke kepolisian. "Seperti yang sudah saya katakan, silakan penasihat hukum mengadukannya ke kepolisian," kata Hakim Suripto.
Majelis hakim kemudian mempersilakan jaksa penuntut umum menanyai saksi Roy Suryo. Tapi jaksa tetap menolak. "Seperti keberatan kami tadi, kami juga menolak saksi ini karena tidak ada hubungannya dengan dakwaan," kata Robert Tacoy.
"Berbohong di bawah sumpah di hadapan hakim adalah penghinaan terhadap pengadilan. Itu contempt of court dan obstruction of justice," kata Trimoelja seusai persidangan. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memberikan keterangan palsu di bawah sumpah dalam persidangan bisa dikenai sanksi pidana hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Menurut Trimoelja, setelah majelis hakim meminta jaksa penuntut umum menahan Tomy, jaksalah yang melaporkannya ke polisi. Pekan ini, Trimoelja akan kembali meminta hakim menuntut Tomy. Bila permintaan ini kembali ditolak, dia akan segera melapor ke polisi. "Upaya melapor ke polisi juga diperkuat permintaan Tomy pada persidangan agar polisi mengusut rekaman suara yang diajukan TEMPO," katanya.
Menanggapi rencana TEMPO, Desmond J. Mahesa, pengacara Tomy Winata, mengatakan bahwa kliennya tidak pernah membantah asli atau palsunya bukti rekaman tersebut dalam kesaksiannya. "Yang dia katakan adalah lupa pernah diwawancarai oleh TEMPO," ujar Desmond. Dia juga mengungkapkan, saat diwawancarai, Tomy berada di Morowali, Sulawesi Tengah, sementara sinyal handphone tidak bisa masuk di wilayah tersebut. "Itu yang dia ragu," katanya.
Agung Rulianto, Edy Can, Ucok Ritonga
Sederet Pengaduan dan Gugatan
Terdakwa/ Tergugat | Perkara | Hasil |
David Tjiu, Teddy Uban (terdakwa) | David dan Teddy didakwa melakukan penganiayaan terhadap tiga orang wartawan TEMPO, Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan Abdul Manan, saat ratusan orang pendukung Tomy Winata menggeruduk kantor TEMPO pada 8 Maret tahun lalu. | Pengadilan Jakarta Pusat memvonis bebas David Tjiu alias A Miaw. Teddy dihukum 5 bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan. |
Bambang Harymurti, Teuku Iskandar Ali, Ahmad Taufik (terdakwa) | Mereka didakwa melakukan pencemaran nama baik lewat tulisan Ada Tomy di Tenabang? dalam TEMPO Edisi 3-9 Maret 2003. | Sidang masih berlangsung di Pengadilan Jakarta Pusat. |
Ahmad Taufik, Bernarda Rurit, Cahyo Junaedy, PT Tempo Media (tergugat | Dinilai mencemarkan nama baik lewat tulisan tersebut. Tomy Winata menuntut ganti rugi Rp 200 miliar dan permintaan maaf. | Pengadilan Jakarta Pusat menghukum tergugat membayar ganti rugi Rp 500 juta dan meminta maaf. TEMPO mengajukan banding. |
Ahmad Taufik, PT Tempo Inti Media (tergugat) | Dianggap mencemarkan nama baik lewat ?Kronologi penyerbuan kantor TEMPO? yang dibuat Ahmad Taufik yang dimuat di situs detik.com. Penggugat menuntut ganti rugi Rp 120 miliar. | Pengadilan Jakarta Pusat menolak gugatan karena dianggap kurang pihak. |
Goenawan Mohamad, Koran Tempo, PT Tempo Inti Media Harian (tergugat | Dinilai mencemarkan nama baik Tomy melalui ucapan ?Republik ini jangan jatuh ke tangan preman? yang dimuat di Koran Tempo. | Pengadilan Jakarta Timur memvonis Goenawan Mohamad meminta maaf lewat Koran Tempo dan Kompas. Tergugat mengajukan banding. |
Kepala Kepolisian RI (tergugat) | Aliansi Jurnalis Independen menggugat Kapolri karena dianggap membiarkan terjadi kekerasan terhadap wartawan TEMPO. | Pengadilan Jakarta Pusat menghukum Kapolri untuk meminta maaf. Kapolri mengajukan banding. |
Deddy Hermawan, Koran Tempo, PT Tempo Inti Media Harian (tergugat) | Tomy Winata menggugat wartawan Koran Tempo yang menurunkan berita berjudul Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Buka Usaha Judi. | Pengadilan Jakarta Selatan memutus tergugat bersalah dan harus membayar ganti rugi US$ 1 juta plus permohonan maaf. Koran Tempo mengajukan banding. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo