Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Saling Tuding Keputusan Presiden

Keputusan presiden yang tak sesuai dengan undang-undang menambah masalah dalam penyatuatapan peradilan di Mahkamah Agung. Di mana kesalahannya?

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah Agung tengah berbenah diri. Sejak Kamis, 1 April, 20 ribu pegawai dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia "bedol desa" ke lembaga peradilan tertinggi itu. Walaupun belum satu kantor, toh kewenangannya sudah berpindah dan disebut "satu atap". Cuma dasar kepindahan itu, Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004, masih mengganjal.

Beberapa butir dalam keputusan yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri pada 23 Maret itu tak sesuai dengan undang-undang yang di atasnya. Dari segi teks terjadi perbedaan antara UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA, dan Keppres No. 21/2004. Dalam Bab II bagian keempat UU No. 5/2004, istilah Sekretaris Jenderal MA diubah menjadi Sekretaris MA, tapi dalam keputusan presiden istilah sekretaris jenderal masih dipakai.

Menurut Direktur Jende-ral Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Abdul Gani Abdullah, istilah sekretaris jenderal dalam keputusan presidenlah yang ngaco. "Salah itu, bertentangan dengan undang-undang. Tidak ada lagi Sekjen MA, yang ada Sekretaris MA," katanya serius. Namun, menurut Sekretaris MA, kesalahan itu tak dianggap serius. "Anggap saja ini masih peralihan, ha-ha-ha..., yang berlaku kan undang-undangnya, karena lebih tinggi dari keputusan presiden," ujarnya.

Kerancuan istilah juga terjadi dalam Direktorat Peradilan Agama. Dalam Pasal 44 UU No. 4/2004 disebutkan, semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama di MA. Dalam UU No. 5/2004 juga disebut adanya beberapa direktorat jenderal. Namun, dalam keputusan presiden itu, untuk Badan Peradilan Agama masih disebut direktorat (tanpa kata jenderal).

Walaupun Direktorat Peradilan Agama baru boyongan dua bulan lagi, istilah itu nantinya akan berpengaruh pada masalah jabatan. Sebab, jabatan direktur jenderal setingkat pejabat eselon 1A, sedangkan direktur hanya setingkat pejabat eselon 2. "Memang, berdasarkan undang-undang, pengalihan itu menaikkan jabatan Direktur Peradilan Agama jadi direktur jenderal. Kami sedang membicarakan secara intensif dengan tim dari MA," kata Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Wahyu Widiana. Menurut Wahyu, nanti direktorat jenderal tersebut ditangani wakil ketua non-yudisial MA, Syamsuhadi.

Perbedaan istilah itu mengundang kritik. Menurut pengamat Kemitraan untuk Pemerintahan yang Bersih di Indonesia (Partnership), Mas Achmad Santosa, seharusnya keputusan presiden konsisten dengan peraturan yang di atasnya. "Saya duga ada vested interest, sehingga keputusan presiden dibuat seperti itu," katanya.

Dugaan itu, menurut Mas Achmad, karena sistemnya bedol desa, sehingga posisi jabatan yang ada ketika pengalihan tak boleh diubah oleh MA. "Padahal, di tempat asal, terjadi kolusi pada saat mutasi atau perpindahan hakim," ujarnya. Karena itu, untuk mendapat tenaga yang berkualitas dan memiliki integritas, menurut Ketua I Badan Pekerja Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, diperlukan tes ulang, terutama untuk pejabat eselon III (tingkat kepala bagian), eselon II setingkat direktur, dan eselon I setingkat direktur jenderal. "Kalau tidak, proses satu atap percuma saja," kata Mas Achmad.

Lalu di mana akar kesalahannya? Menurut Sekretaris Jenderal MA, Gunanto, yang membuat draf keputusan presiden itu tim gabungan dari berbagai instansi, mulai dari Departemen Kehakiman, MA, hingga Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. "Nah, dari Menteri Negara diberikan ke Sekretaris Kabinet. Kok, sekarang jadi enggak keruan. Mestinya Sekretaris Kabinet harus meneliti, dong," kata Gunanto.

Apakah keputusan presiden itu tetap sah? Kalau sudah begitu, menurut Gunanto maupun Abdul Gani, istilah yang ada dalam undang-undanglah yang dipakai. "Hierarkinya, undang-undang yang kita pegang," kata Gunanto.

Ahmad Taufik, Poernomo Gontha Ridho (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus