CECEP Suherman, 13 tahun, terpaksa tak dapat menikmati liburan panjang. Pelajar kelas dua SMP Yampi, Sunter Agung, Jakarta Utara, itu Selasa malam pekan lalu masuk ke Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) bersama teman-temannya. Mereka berniat menonton pertunjukan musik di Pasar Seni. Mereka memang biasa bermain di pusat hiburan itu maklum jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari kampungnya. Mereka bertujuh. Nah, soalnya di sini. Hari itu -- betul-betul cuma hari itu mereka tidak masuk lewat gerbang resmi. Artinya, mereka sengaja menghindar untuk membeli karcis masuk TIJA yang berharga Rp 800 per orang. Di dekat jembatan goyang, mereka berlompatan masuk ke kawasan TIJA. Semula aman. Mereka berjalan beriringan menuju Pasar Seni. Cecep, Edi, dan Anis berjalan di depan. Supaya tak dicurigai, begitu penuturan Edi kemudian, rencananya mereka masuk ke Teater Mobil dahulu. Namun, seorang satpam memergokinya dan langsung membentak, "Kau masuk dari mana?" Ketiga anak ini takut, maklum mereka merasa bersalah. Apalagi ketika mereka menoleh ke belakang, begitu penuturan Edi, ternyata teman-temannya sudah dalam sekapan satpam pula. Edi, Cecep, dan Anis langsung lari tunggang-langgang. Eh, satpam yang menegur itu mengejar mereka. "Mereka mengejar kami sambil mengacungkan kopelnya. Malah kepala saya kena pukulan," kata Edi. Edi hanya sanggup lari 25 meter, dan akhirnya tertangkap satpam. Ketika itu Edi sempat melihat Cecep sudah menggeletak, sekitar 10 meter jaraknya. Tak jelas mengapa Cecep tergeletak. Lalu Edi tak sempat melihat temannya lagi, "karena saya terus dinaikkan ke mobil patroli," katanya kepada TEMPO. Ketika Edi tiba di posko Pasar Seni, sebagian temannya sudah berkumpul di situ. "Kami digertak dan disuruh buka baju," kata Edi. Sekitar pukul 22.00 mereka dibawa ke Polsek Pademangan. Anak-anak itu dimintai keterangan polisi hingga pukul 10 pagi esok harinya. Luar biasa. Tapi Cecep tak ikut dibawa ke kantor polisi. Di mana dia? Ternyata -- ini masih kata Edi -- Cecep itu sudah jadi mayat ketika di posko. Dan memang, mayat Cecep kemudian dikirim ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ia sudah berlibur panjang, panjang sekali, di alam sana. Kematian Cecep memang mengenaskan. Tragis. Di kening dan hidungnya terlihat memar. Tengkuknya membiru. Di bagian perutnya ada bekas telapak sepatu. Tulang iganya patah. "Anak saya itu pasti mati karena dianiaya," kata Karsinah, ibu Cecep. Menurut Karsinah, satpam di situ semula menyebutkan Cecep meninggal karena terempas di aspal. Padahal, di situ hanya ada hamparan rumput. Karena kesal itulah, kata Karsinah, pihaknya tidak akan tinggal diam. "Kami merencanakan akan menuntut pihak pengelola taman hiburan Ancol lewat bantuan LBH Jakarta," kata ibu lima anak itu dengan sedih. Presiden Direktur Taman Impian Jaya Ancol, Ir. Ciputra, mengatakan pihaknya terus berupaya menghubungi keluarga korban. "Terlepas kami bersalah atau tidak, saya sendiri ingin sowan ke sana. Saya ingin berunding dengan keluarga korban, sekaligus memberi santunan," ujarnya kepada TEMPO. Kapan waktunya, sedang diatur. Tentang satpam itu, Ciputra akan menindak tegas dan kalau perlu memecatnya. "Sudah saya instruksikan supaya mereka jangan sekali-kali memukul meski ada yang masuk secara ilegal. Bukankah tujuan kami ingin menghibur orang," ujarnya kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Polisi masih terus mengusut sebab kematian Cecep. Dua satpam ditahan di Polres Jakarta Utara karena ada petunjuk bahwa mereka menganiaya Cecep hingga tewas. "Selain itu, seorang satpam lagi diperiksa sebagai saksi karena dialah yang melihat peristiwa penganiayaan itu," kata Kadispen Polda Metro Jaya, Letnan Kolonel Latief Rabar, kepada TEMPO. Polisi telah menyita barang-barang bukti berupa baju korban, yang konon ada bekas injakan sepatu, dan kopel rim. Polisi masih menunggu hasil visum dari Labkrim UI. Gatot Triyanto, Mukhlizardy Mukhtar, Muchlis H.J.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini