Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Amnesty International Temukan Indikasi Menguatnya Praktik Otoriter di Indonesia

Amnesty International melihat ada indikasi penguatan tren praktik otoriter di Indonesia. Salah satunya yaitu menguatnya militerisme di ruang sipil.

8 Maret 2025 | 14.30 WIB

Sekjen Amnesty International Agnes Callamard dari London bertemu dengan ketua Mahkamah Agung Sunarto dan beberapa hakim agung lainnya di gedung Mahkamah Agung pada Kamis siang, 6 Maret 2025. Dokumentasi Amnesty International Indonesia.
material-symbols:fullscreenPerbesar
Sekjen Amnesty International Agnes Callamard dari London bertemu dengan ketua Mahkamah Agung Sunarto dan beberapa hakim agung lainnya di gedung Mahkamah Agung pada Kamis siang, 6 Maret 2025. Dokumentasi Amnesty International Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard menemukan indikasi menguatnya tren praktik otoriter di Indonesia. Callamard mengatakan saat ini sedang terjadi tren global meningkatnya praktik-praktik otoriter, termasuk di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan salah satu indikasinya tampak dari mendominasinya peran militer dalam berbagai kebijakan dan lembaga sipil dalam satu dekade terakhir. Callamard menyebut dalam beberapa tahun pelanggaran HAM dan militerisasi atas ruang-ruang sipil di Indonesia kian marak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Saya berkunjung ke Indonesia dalam rangka kampanye global menentang praktik-praktik otoriter di penjuru dunia sebagai bagian dari resistensi global terhadap langkah Donald Trump bersama sekutunya melanggar hak asasi manusia dan tata kelola global,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 Maret 2025.

Selama kunjungan ini, Callamard yang didampingi pegiat Amnesty International Indonesia juga menggelar pertemuan dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil, korban pelanggaran HAM berat masa lalu dan kalangan jurnalis. Dalam berbagai pertemuan itu, dia merekam berbagai laporan atas situasi HAM dan nasib pengusutan pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Callamard juga menyerukan pentingnya penguatan peran lembaga Yudikatif guna menangkal praktik otoriter di ranah hukum. Selain itu, dia mengatakan kunjungan ini juga berkaitan dengan antisipasi dari dampak kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Selain menguatnya militerisme di ranah sipil, Callamard juga melihat masih berlangsungnya praktik impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM berat atau pelanggaran hukum yang melibatkan aparat. Menurut dia, bila impunitas terus dilanggengkan, hal itu akan menjadi lahan subur bagi praktik otoriter.

“Kami menyerukan pihak-pihak berwenang segera mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi lembaran hitam sejarah Indonesia. Ini termasuk pembunuhan putra dari Ibu Sumarsih (Wawan) dalam demonstrasi mahasiswa 1998, yang hingga kini belum ada keadilan. Untuk itu kami menyerukan adanya pengadilan ad hoc HAM untuk mengusut kasus ini,” kata Callamard.

Dia menambahkan, dalam situasi seperti ini, peran jurnalis dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan. Terlebih lagi di saat peran parlemen sulit diharapkan karena lemahnya pengawasan terhadap pemerintah.

“Saya menyerukan peran yang lebih besar bagi media-media massa yang independen beserta segenap masyarakat dan tokoh-tokoh agama untuk menentang bangkitnya praktik-praktik otoriter di negeri ini,” kata Callamard.  

Kekhawatiran Amnesty Internasional terhadap menguatnya gejala otoritarianisme cukup beralasan. Salah satunya terkonfirmasi oleh penurunan skor indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU). Lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, itu, menunjukkan skor demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 6,44/

Skor ini membuat Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Berdasarkan skor itu, Indonesia turun tiga peringkat dari posisi 56 di tahun sebelumnya, menjadi peringkat 59 di tahun ini dari total 167 negara yang diteliti. 

Pada tahun 2023, skor demokrasi Indonesia menunjukkan angka 6,5 yang juga menunjukkan penurunan. Di mana pada tahun sebelumnya atau 2022, skor demokrasi Indonesia mencapai besaran 6,71. Itu artinya, tiga tahun berturut-turut Indonesia berada di kategori negara dengan demokrasi yang cacat.

Dalam dokumen hasil penelitian mereka, EIU menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi komponen penilaian mereka terhadap jalannya demokrasi di negara-negara dunia. Beberapa komponen tersebut seperti proses pemilihan dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.

“Pada tahun 2024, dua kategori yang mencatatkan penurunan terbesar adalah fungsi pemerintahan dan proses pemilihan serta pluralisme,” tulis EIU dalam dokumen yang diterima oleh Tempo, Rabu, 5 Maret 2025.

Vedro Immanuel Girsan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Nandito Putra

Nandito Putra

Lulus dari jurusan Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang pada 2022. Bergabung dengan Tempo sejak pertengahan 2024. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal. Anggota Aliansi Jurnalis Independen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus