Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mendesak Kapolri untuk menangkap otak di balik pembubaran diskusi diaspora yang diadakan Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang pada 28 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kapolri wajib memastikan adanya tindakan hukum yang tegas terutama terhadap otak pelaku aksi main hakim sendiri,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangan pers, Senin, 30 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menangkap otak di balik pembubaran diskusi, Usman mendesak kepolisian untuk mengusut anggotanya yang melakukan pembiaran terhadap pelaku intimidasi. Polisi yang seharusnya mencegah dan menindak pelaku intimidasi, justru melakukan pembiaran.
“Malah berangkulan dan berjabat tangan dengan mereka, seperti yang terlihat pada insiden sabotase acara diskusi Forum Tanah Air,” ucap Usman.
Amnesty International juga mendesak Komisi III DPR RI segera mengevaluasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara menyeluruh. Evaluasi ini dinilai penting untuk memastikan keseriusan negara dalam menjaga hak asasi manusia secara keseluruhan.
Amnesty International menyoroti respons kepolisian terhadap serangan-serangan dalam aksi unjuk rasa dan acara berkumpul sah yang belakangan ini terjadi. Mereka mencatat adanya 255 kasus intimidasi dan serangan fisik atas 482 pembela HAM, yang terdiri aktivis, masyarakat adat, akademisi, dan jurnalis, sejak Januari 2019 hingga September 2024.
Usman Hamid menilai kepolisian bersikap tak profesional karena membiarkan serangan-serangan itu terjadi. “Kepolisian seperti merestui aksi sekelompok orang yang main hakim sendiri,” katanya.
Dalam sepekan terakhir, sekelompok orang terekam melakukan serangan terhadap kebebasan sipil yang dilindungi undang-undang. Beberapa di antaranya ialah serangan terhadap Aksi Damai Global Climate Strike pada 27 September, dan diskusi diaspora Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang pada 28 September lalu.
Sementara di Jawa Tengah, sekelompok orang juga merusak tanaman milik petani Pundunrejo. Para petani Desa Pundenrejo menerima intimidasi dari sekelompok orang yang merusak tanaman mereka dan merampas banner-banner aspirasi petani pada Ahad, 29 September 2024.
Peristiwa ini, kata Usman, terkait konflik agraria antara petani Pundenrejo dengan pihak korporasi. “Ini adalah serangan terhadap kebebasan sosial petani. Serangan-serangan itu jelas tidak bisa dibenarkan serta tidak boleh diberi tempat,” ucap dia.
"Di saat seperti inilah masyarakat perlu kehadiran aparat keamanan dan juga penegak hukum untuk melindungi mereka dari tindakan main hakim sendiri sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab,” jelasnya.
Namun, aparat di lokasi kejadian justru terlihat membiarkan. Polisi, menurut Usman, seharusnya bertugas melindungi warga yang mengekspresikan hak berpendapatnya secara damai. “Mengapa polisi terkesan justru melindungi penyerang? Siapa dalang pelaku penyerangan pertemuan dan ekspresi damai itu?” kata dia.
Usman mengatakan, konstitusi dan hukum-hukum di Indonesia menjamin kebebasan sipil seperti hak berkumpul serta berpendapat, dan juga kebebasan sosial seperti bercocok tanam serta menikmati hasilnya. “Itu dijamin pula oleh hukum internasional,” jelas Usman. “Tindakan intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.”