"RUSAKNYA kehidupan perkawinan berpangkal dari kesalahan berpikir," tulis Aaron Beck dalam bukunya Love Is Never Enough. Jadi, bukan gara-gara perasaan dan emosi. Pikiran salah itu yang membuat soal sepele bisa menjadi masalah serius yang jauh di luar proporsi. Penyamarataan atau generalisasi, misalnya, menurut psikiater itu, membuat salah tafsir berkembang menjadi pikiran dengan bingkai negatif. Kecenderungan mencari "salah" inilah yang kemudian membangkitkan emosi negatif. Teori Aaron Beck agaknya, 2 Mei lalu, tergambar di Desa Bendung, Kabupaten Gunung-kidul, Yogyakarta. Jumin, 32 tahun, hari itu dengan keji membunuh dua anaknya sendiri. Kemudian ia membakar seorang di antaranya. Ia juga menusuk mati Suhartono, pamannya. Pangkalnya bermula karena cemburu. Perkawinan Jumin dengan Yatini, 30 tahun, yang sudah berjalan 7 tahun, retak beberapa bulan lalu. Setelah hidup mencari nafkah bersama istrinya di Jakarta, akhirnya Jumin memutuskan pulang ke rumah orangtuanya di Gunungkidul. Jumin yakin, istrinya punya pacar. "Ia selalu memaksa saya untuk mengakuinya. Tapi saya tak bisa menjawab, karena pacar itu memang tidak ada," kata Yatini pada Heddy Lugito dari TEMPO. Lebaran lalu Yatini, bersama tiga anaknya, menyusul suaminya. Mulanya tidak ada apa-apa. Mereka sekeluarga melewati Hari Raya dengan bahagia dan semua tidur sekamar. "Anak-anak di ranjang, saya dan Mas Jumin gelaran di bawah," ujar Yatini. Tapi pada malam nahas itu, Jumin kembali memaksa dia mengungkapkan siapa laki-laki lain itu. Prasangka Jumin rupanya berkembang sangat lanjut. Ia menuduh Yatini sudah lama berbuat serong, dan hanya anak sulung mereka yang sesungguhnya anaknya. Si suami meyakini, istrinya yang pedagang ayam itu memanfaatkan kesempatan bekerja untuk menyeleweng. Jakarta, dalam persepsinya, kota penuh maksiat. Jumin mengancam akan membunuh bila Yatini menolak mengaku. Si istri tetap menyangkal, dan Jumin memang tanpa bukti. Si suami urung membunuh istrinya, tapi ia berubah kalap. "Mas Jumin teriak-teriak dan menyuruh saya, Bapak, dan Ibu keluar rumah. Anak-anak ketinggalan di dalam karena masih tidur, tutur Yatini. Dan terjadilah pembantaian itu. Hanya anak sulung mereka yang selamat, karena merangkak ke luar. Pikiran serba negatif seperti yang dikemukakan Beck terlihat lebih nyata dalam kasus Sudarno, 52 tahun, pegawai perkebunan PTP II Kwalamadu, Tanjungselamat. Dituduh membunuh, ia akan diadili di Langkat, Sumatera Utara, minggu-minggu ini. Motivasinya juga didorong cemburu. Menurut tetangganya, ia memang pencemburu berat. Padahal, usia istrinya 50 tahun. "Heran, saya kan sudah peot dan tak cantik, apa yang mau dicemburui," kata Soerip, istrinya. Malah, ia berulang kali menyangkal dan bersumpah tak menikah lagi bila Sudarno meninggal. Tapi si suami selalu mengintai. Bahkan Sudarno melubangi dinding kamar kecil, serta mengintip setiap kali istrinya buang air besar. Penderita asma ini mengaku curiga dan cemburu karena tak yakin istrinya puas ketika berhubungan seks. "Sebetulnya saya belum pernah melihat istri saya berhubungan dengan lelaki lain," katanya. Sampai suatu ketika Sudarno dirawat di RS PTP II. Di ruangan yang sama juga dirawat Mahmud, yang masih keluarganya. Sewaktu Soerip menjenguk suaminya, tentu saja ia sekalian menengok Mahmud. Melihat tegur sapa ini, Sudarno seperti mendapat bukti bagi pikiran negatifnya itu. Pada 19 April lalu ia mengamuk, lalu membunuh Mahmud, melukai beberapa pasien lain, dan seorang perawat. "Kecemburuan yang berakibat fatal itu tak terlepas dari male chauvinism," kata Psikolog Sawitri Supardi dari Universitas Padjadjaran Bandung. Pikiran negatif berkembang, sebab harga diri suami tersinggung. Bukan cuma istrinya disentuh orang lain. "Tapi juga karena terancamnya berbagai kebanggaan lain," kata psikolog itu kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Inilah yang terlihat nyata pada kasus pasangan suami-istri di Muara Aman, Rejanglebong, Bengkulu. Murdan, 34 tahun, adalah penjaga SD Negeri V Muara Anam. Istrinya, Utik, 31 tahun, harus berdagang karena gaji Murdan tidak mampu mencukupi kebutuhan eko nomi keluarga dengan tiga anak itu. Bersama sejumlah penduduk Muara Anam, Utik menyuplai kebutuhan sehari-hari di pertambangan emas rakyat Ulu Ketenong, 19 kilometer dari Muara Anam. Usaha Utik maju. Menurut rekan-rekannya sesama berdagang, istri Murdan ini gesit dan rajin. Hasilnya mencapai Rp 200.000 sebulan. Angka ini jauh di atas gaji Murdan. Sukses Utik membuat pasangan tersebut malah sering bertengkar. Menurut tetangga mereka, belakangan Murdan juga cemburu, karena di Rejanglebong, yang penduduknya berasal dari berbagai suku, nilai-nilai moral agak longgar. Awal Februari lalu Utik mengajak suaminya yang sedang cuti itu mengikutinya berdagang ke Ulu Ketenong. Barangkali ia hendak mem buktikan pada suaminya bahwa dia tak punya pacar penambang emas. Namun, yang terbukti bukan itu. Perjalanan pulang pergi ke Ulu Ke tenong membuat Murdan keletihan dan sakit. Para tetangga pasangan itu menuturkan pada Aina Rumiyati Azis dari TEMPO, pertengkaran besar terjadi sesudah perjalanan itu. Konon, Murdan minta upah, dan istrinya menolak memberikannya. Rasa tersinggung Murdan agaknya sudah menumpuk. Pada 7 Februari lalu ia mengatakan pada tetangga: istrinya kabur, dan ia pergi untuk mencarinya. Sebaliknya, sanak keluarga Utik curiga. Benar. Utik dibunuh suaminya. Hasil pemeriksaan polisi menunjukkan wanita perkasa itu dipukuli babak belur. Bagian bawah tubuhnya melepuh akibat disiram air panas. Mayatnya ditemukan dibenam di sumur mati, di belakang rumah mereka. Jim Supangkat dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini