Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Anak-Anak Durhaka

Beberapa motif pembunuhan terhadap ayah dan ibu kandung. Asmuri, 33, membunuh ibunya Soblem, 65, karena jengkel. Padahari, 26, membunuh ayahnya Sorimuda, 69, karena membela ibunya. (krim)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Anak-Anak Durhaka
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ATI, 19, kini masih diperiksa Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Gadis itu, amit-amit, dituduh memberikan bubur beracun dan menikam ibundanya sendiri Nyonya Salbiah, sampai tewas. Belum lagi diketahui bagaimana akhir perkara itu, di Madiun, Jawa Timur, muncul kasus serupa: anak membunuh ibunya. Caranya malah lebih hebat. Soblem, 65, ibu yang malang itu dihajar habis-habisan oleh anak tunggalnya sendiri, Asmuri, 33, guru SD. Asmuri menjotos, menendang, dan memukuli ibu yang melahirkannya dengan sepotong kayu. Masih belum puas, ia membantingkan sepeda ke atas tubuh tua yang sudah pikun itu sampai meninggal. "Saya malu," begitu alasan Asmuri, waktu ditanya mengapa ia begitu tega membunuh ibu sendiri. Ayah empat anak dari tiga istri dua sudah diceraikan - itu kini ditahan di Polsek Jiwan. Malu, kata Asmuri, karena ibunya yang sudah tua itu suka meminta-minta kepada tetangga Soblem, yang sudah tertatlh-tatlh kalau berjalan itu, katanya, juga suka pergi dari rumah tanpa tujuan. Sore harinya, atau beberapa hari kemudian, datang orang melapor kepada Asmuri bahwa ibunya dijumpai di desa lain dalam keadaan sakit atau terjatuh. Asmuri jadinya merasa jengkel. Padahal, kata tetangganya "Mestinya dia tak boleh begitu. Orang dan tetangga toh maklum, Soblem sudah pikun." Sayang, lelaki bertubuh tinggi semampai itu tak menyadari keadaan ibunya. Ia tak mau dibikin susah. Pak guru itu, kata tetangganya yang lain dan dibenarkan kepala desa Bakur, Koesno, memang tergolong slebor. Sebagai guru, perangainya terkadang kelewatan. Selain doyan kawin cerai, ia sering meninggalkan tugas mengajar untuk ngobyek, dengan bekerja di kebun tebu. Pada saat lain, ia berpakaian seperti turis bule kepanasan: mengenakan pakaian minim dan rambutnya disemir kemerah-merahan. Karena ke-slebor-annya itu, para tetangga tak heran benar kalau Asmuri tega menghabisi ibu kandung yang sudah membesarkannya. Asmuri jelas sangat berbeda dengan Rofidin, 32, dari Desa Tangkolo di pedalaman Kuningan, Jawa Barat, yang berpembawaan kalem dan tenang. Ia juga dikenal sangat dekat dengan ayah kandungnya, Sanuhri, 70. Maka, bisa dibayangkan keterkejutan penduduk dan semua saudaranya ketika, dua pekan lalu, Rofidin ditangkap polisi dengan tuduhan membunuh sang ayah. Sanuhri ditemukan tewas di dangau dengan 17 luka bacokan di sekujur tubuh. Polisi mencurigai Rofidin karena di baju dan golok miliknya ada bercak darah. Dan sewaktu diberi tahu ayahnya tewas terbunuh kata Mayor Aam Amijaya, kepala Polres Kuningan, ia tidak menangis. Padahal, dibanding kedelapan saudaranya, dialah yang selama ini dikenal paling dekat dengan korban. Rofidin kini masih terus diperiksa. "Dia kelihatan gugup. Terkadang dia mengaku membunuh, kadang-kadang mungkir," ucap Aam. Kepada TEMPO yang menjenguknya di kamar tahanan, ayah dua anak itu membantah telah membunuh orangtuanya. Tapi, Padahari Harahap, 26, yang kini menghuni LP Padangsidempuan di Sumatera Utara, mengaku terus terang telah membunuh bapaknya. "Saya memang anak durhaka, tapi juga putra yang sayang kepada ibu," ujarnya kepada TEMPO. Mei tahun lalu, Padahari memukulkan sepotong balok ke tubuh ayahnya, Sorimuda Harahap, 69, sampai tersungkur dan mati. Itu dia lakukan karena ia tak tahan lagi melihat ibunya terus-menerus disiksa sang ayah. Sorimuda, yang sudah tua itu, di kampungnya dikenal sebagai orang yang galak kepada istri. Ia biasa memaki, menampar, main pukul, main tendang, dan minta duit pada istrinya. Dia sendiri hampir tak punya penghasilan dan malas bekerja. Sekali waktu, Padahari menyaksikan ibunya dianiaya sang ayah sampai pingsan dan berdarah. Ia tak tahan. Dan kali itulah ia memberanikan diri melawan sang ayah. Oleh pengadilan, Padahari divonis 6 tahun penjara, Februari lalu. Ia tampak pasrah menerima nasib. Terhadap Padahari, orang mungkin masih bisa mengerti mengapa ia sampai nekat dan bermata gelap. Tapi terhadap perbuatan seperti yang dilakukan Asmuri, siapa pun agaknya akan mengutuk. Bagaimana bisa ada anak membunuh orangtuanya sendiri?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus