Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ancaman anak penjual es

Karena tak kuat membayar spp yanto, 15, siswa smtp menuntut uang kepada puspo & srinatun lewat surat ancaman. yanto mengaku terpengaruh film & ide memeras muncul setelah membaca cerita detektif.(krim)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSPO Ardhoko terkejut. Kepala Desa Pandean di Trenggalek, Jawa Timur, ini suatu kali menerima sepucuk surat lewat pos. Surat itu bukan dari siapa pun, melainkan tergolong surat yang "kembali si pengirim" karena alamat tujuan tidak jelas. Dengan kata lain, surat itu seolah dikirim oleh Puspo, yang telah tiga tahun menjadi kepala desa. Tapi, tunggu dulu. Rasa-rasanya dia tak pernah mengirim surat ke alamat yang tertera di surat itu. Dan tulisan di sampul surat itu pun jelas bukan tulisan tangannya. Dengan penasaran, surat dibuka, dan terkejutlah dia. "Sediakan Rp 500 ribu. Kebusukan Anda sebagai kades akan dibongkar. Atau, anak gadis Anda akan kami culik, bila permintaan ini tidak dipenuhi...." Begitu antara lain isi surat. Maka, "surat misterius" itu pun jadi jelas. Ini sebuah usaha pemerasan. Yang ramai, tak lama kemudian sampai pula kepada Nyonya Srinatun, pemilik Toko Sri Katon, yang tinggal di desa itu juga, surat senada yang muncul dengan cara yang mirip. Janda berusia 35 dengan empat anak ini malah mendapat dua pucuk surat. Surat pertama berisi ancaman agar menyediakan Rp 1 juta, dan pada surat kedua, permintaan dinaikkan menjadi Rp 10 juta. Uang mesti ditaruh dalam amplop, diletakkan di sebelah batu nisan makam suami Srinatun -- yang meninggal dua tahun lalu dan ditindih batu bata. Pada hari yang ditentukan, setelah berunding dengan polisi dan Puspo, Srinatun pura-pura ziarah Amplop berisi uang diletakkan sebagaimana yang diinstruksikan. Tak lama kemudian muncul dua remaja bersepeda, mondar-mandir. Setelah keduanya pergi, seorang remaja lain muncul. Dia inilah yang mengambil amplop, yang sebenarnya hanya berisi sobekan kertas dan uang Rp 3 ribu. Ia segera berlari masuk ke sebuah rumah. Ia ternyata Yanto (bukan nama asli). Hari itu juga, belum lama ini, dia pun ditangkap. Penangkapan ini sekaligus menghilangkan rasa penasaran Puspo. Sebab, Juli lalu, saat ia mendapat surat ancaman dan jebakan dibuat bersama polisi, si pemeras tak jadi muncul di tempat yang ditentukan. Mungkin dia sudah curiga, atau masih ragu-ragu. Yanto, 15, bukan residivis. Dia pelajar kelas II SMTP, yang dikenal pendiam dan tak banyak ulah. Sebab itu, banyak yang tak percaya bahwa dialah yang mengirim surat ancaman untuk melakukan pemerasan. "Caranya begitu meyakinkan. Tadinya kami pikir, pelakunya pastilah penjahat profesional yang biasa beroperasi di kota-kota besar," kata Puspo. Remaja ini mengaku terpaksa membuat surat ancaman, karena sudah dua bulan tak membayar uang SPP. "Orangtua saya tak kuat membayar," ujar anak tunggal penjual es lilin ini. Menurut gurunya, Yanto sebenarnya anak yang penurut. Dia tidak tergolong pintar, tapi juga tak terlalu bodoh. "Kelebihannya" barangkali karena ia gemar menonton televisi dan mendengarkan cerita radio. Ide melakukan pemerasan, katanya, muncul setelah ia banyak mengikuti cerita detektif. Ini mirip dengan pengakuan Hari (nama samaran), 15, siswa SMP di Yogyakarta, yang beberapa waktu lalu juga kedapatan membuat surat ancaman tertuju pada Supardjimali, guru SMP Negeri V, Yogya. Pak guru diancam agar menyerahkan Rp 600 ribu. Beberapa korban lain adalah teman-temannya sendiri. Hari, antara lain, pernah menitipkan surat ancaman lewat seorang pengemis, yang diberinya upah, agar menyampaikan surat itu kepada calon korban (TEMPO, 5 Juli 1986). KETIKA itu, dalam sidang pengadilan, Hari, yang juga sering berlagak sebagai dukun sakti, mengaku terdorong bertindak kriminal karena terpengaruh film koboi, detektif, dan Superman. Baik Puspo maupun Srinatun sempat gentar. Habis, surat itu nadanya serius, seolah datang dari penjahat profesional. Coba, inilah ancaman terhadap Sri: "Akan membongkar rahasia hubungan Ibu dengan seorang lelaki." Akan pula disebarluaskan bahwa kekayaannya, ternyata, diperoleh dengan bantuan tuyul, makhluk halus yang konon bisa dipelihara untuk membantu mengumpulkan harta. "Semua itu fitnah belaka," kata Sri pula. Tapi ada yang ditakutkannya benar-benar, yakni menyangkut keselamatan dua anak gadisnya, Enny dan I'in, yang masih duduk di SMP dan SMA, yang akan diculik itu. "Tak tahulah. Saya heran betul, kenapa Yanto sampai berbuat begitu," kata bapak Yanto. Penjual es lilin itu memang tak mencoba menduga, misalnya bahwa anaknya menjadi korban perbedaan sosial di kampungnya. Ia pun tentu tak jauh mencari kemungkinan, anaknya terpengaruh film televisi. Akan halnya Yanto sendiri tak hendak bicara banyak. Yang dia harapkan, sekeluar dari tahanan dan usai diadili kelak, ia ingin masuk sekolah kembali. Katanya penuh harap, "Boleh, 'kan ?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus