Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dua tembakan di lampu merah

Hary gunawan, 39, tewas ditembak pembunuh misterius, diduga kematiannya akibat bercerai dengan istrinya rina hartati serta pemerasan oleh pengusaha mobil. kasusnya sempat memanaskan suasana surabaya.(krim)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU lalu lintas di perempatan Jalan Gemblongan-Tunjungan, Surabaya, baru menyala hijau. Tapi sebuah sedan Peugeot putih L 1502 SV tak kunjung jalan, padahal lampu sein kanan menyala menandakan mobil akan berbelok ke arah Jalan Praban. Klakson pun bertalu-talu dari mobil di belakangnya. Ketika orang-orang makin kesal, lantas turun mendekati mobil tersebut, ternyata . . . ya ampun, kaca rayban sebelah kanan berlubang dua dan retak. Seseorang tampak menggeletak di mobil itu, berlumur darah. Seorang penumpang bis kota, Jumat malam lalu sekitar pukul 20.30 -- segera turun menghampiri mobil korban. Ia, seorang Satpam, kepada polisi mengaku menjadi saksi mata penembakan itu. Korban adalah pengemudi Peugeot yang ternyata bernama Hary Gunawan, 39, pemilik toko mebel Reims dan Sudi Murni yang terletak hanya sekitar 600 meter dari tempat kejadian. Dari bis yang berhenti persis di sebelahnya, saksi itu melihat ada lelaki bertubuh tinggi, keriting, berjaket putih, bercelana gelap mendekati mobil Hary -- yang berhenti lantaran terhalang lampu merah -- lalu menembakkan pistolnya dua kali. Lalu, lelaki tadi dengan tenang melangkah menuju gang. "Saya kira ada ban meletus. Bunyinya ndak begitu banter," kata seorang tukang parkir. Tukang parkir lainnya melihat seseorang dengan ciri-ciri serupa keluar dari gang di Jalan Praban, mengambil motornya yang entah merk apa, dan pergi tanpa membayar parkir. Sementara itu, seorang penduduk di gang itu menyebut bahwa pastilah pembunuh telah merencanakan usahanya dengan saksama. "Selain penduduk setempat, sulit mengikuti liku-liku gang di sini," ujarnya. Mengapa Hary harus mati menjadi teka-teki. Di mobilnya, terdapat uang sekitar Rp 300 ribu, dua kondom merk You & Me, sebuah foto wanita, dan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Pengacara Bambang Soekandri. Bambang pun mengakui itu tulisan tangannya, yang diberikan setahun lalu. "Waktu itu ia konsultasi bagaimana membagi harta bila bercerai dengan istrinya." Dan perceraian dengan istri itu memang sempat menjadi perhatian, kalau-kalau ini yang melatarbelakangi kematian Hary. Achmad Arifin, pengacara LBH Kosgoro, berulang kali mendengar keluh kesah Hary memasalahkan istrinya yang sering pergi ke luar rumah. "Rupa-rupanya, Hary cemburu," kata Arifin. Dan perceraian pun tak terhindarkan, dua bulan lalu, pada suami istri beranak empat ini. Dan, konon, Hary menyesal mengapa toko mebel Reims diatasnamakan istrinya. Menurut Arifin pula, mustahil bila kematian Hary dilatarbelakangi sengketa harta gono-gini (harta suami dan istri) yang menurut sumber TEMPO diperkirakan senilai Rp 2,5 milyar. Rina Hartati -- bekas istri Hary -- belum bisa ditanyai. "Ia pingsan, setelah penguburan Hary," kata keluarganya. Terbetik kabar lain bahwa pembunuhan Hary bermotif pemerasan. Menurut sumber kepolisian, Hary "ada main dengan istri pengusaha mobil." Sang suami lalu memanfaatkan itu dengan minta uang Rp 50 juta pada Hary, yang ternyata dipenuhi. Namun, permintaannya yang kedua Rp 1 juta -- ditolak. Agaknya, persoalan tak sejelas dua perkiraan di atas. "Kayaknya dia mempunyai satu janji yang belum ditepati, hingga merasa selalu diteror." kata Arifin. Utang pun bertumpuk, satu di antaranya bernilai Rp 750 juta. Bahkan dua minggu lalu masih ada tagihan. Sumber di kejaksaan malah tahu pasti bahwa Hary ikut menanamkan uangnya pada sindikat penjual kupon berhadiah. Kupon-kupon itu dijual mendompleng penjualan buku oleh Yayasan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Di Jawa Timur penjualan kupon YPBJS sempat laku keras menyaingi Porkas, sebelum dibekukan oleh Menteri Sosial. Apa pun penyebabnya, kematian Harry sempat memanaskan suasana Surabaya yang memang tengah hangat (lihat Nasional). Soalnya, kaliber peluru yang membunuh Hary adalah 38 mm -- melubangi pelipis dan kepala bagian belakang -- melahirkan isu bahwa tentara mulai menembaki para WNI keturunan. Kaliber tersebut termasuk senjata organik ABRI. Pangdam Saiful Sulun segera membantah, "penembaknya bukan ABRI." Sedang Kapolwiltabes Surabaya, Kolonel Moh. Hartantyo, menyebut kasus ini "kriminalitas biasa".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus