Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah seorang anggota tim perumus Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Andi Hamzah mengatakan pasal makar adalah warisan Belanda. Adapun pencantumannya di KUHP baru menurutnya karena sarjana hukum Indonesia tak mengerti sejarah pasal tersebut.
“Pencatuman makar di RKUHP karena sarjana hukum Indonesia tidak tahu Belanda (dulu) membuat UU anti-revolusi,” kata Andi di acara Bedah RUU KUHP di Bianca Cocktail House & Dining Room, Jakarta, Kamis 10 Oktober 2019.
Ia menceritakan asal-usul dari pasal makar adalah pembunuhan adik raja Siberia oleh penganut komunis pada tahun 1918. Peristiwa tersebut, kata dia menyebarkan ketakutan terhadap revolusi di Eropa. Belanda jadi salah satunya. Mereka saat itu memasukan pasal makar dalam Undang-undang kitab pidananya.
Belanda, kata dia, menjadi satu-satunya negara di Dunia yang mencantumkan pasal itu. Sementara Indonesia yang saat itu adalah wilayah koloni Belanda juga menerapkan hukum yang sama, bahkan hingga merdeka, karena masih menggunakan KUHP yang sama.
“(Yang memasukkan pasal makar, akan) jadi dua dengan Indonesia dalam KUHP baru nanti. (Padahal) KUHP makar dimaksudkan mencegah revolusi komunis,” ucap dia.
Andi menilai pasal ini sudah tak relevan. Pasalnya makar adalah percobaan menggulingkan atau membunuh presiden. Sedangkan bila rencana tersebut berhasil, dan presiden terbunuh, tak ada pasal yang mengaturnya.
“Usulan solusi rancangan KUHP diubah menjadi, sengaja merampas nyawa presiden atau wapres diancam dengan pidana mati. Percobaan merampas nyawa presiden atau wapres diancam dengan pidana seumur hidup,” tuturnya.
Andi Hamzah merupakan anggota tim perumus RKUHP yang dibentuk pemerintah pada 1964. Tim ini dibentuk untuk menanggapi seminar Hukum Nasional I di Semarang setahun sebelumnya, yang mengusulkan soal RKUHP asli Indonesia.
Saat ini RKUHP ditunda pembahasannya. Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 lalu atas permintaan pemerintah memutuskan untuk menunda dan melimpahkan RKUHP untuk dibahas kembali di DPR periode 2019-2024.
FIKRI ARIGI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini