KASUS korupsi di PTP XXIV-XXV kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya, pertengahan Februari lalu. Kali ini di kursi terdakwa duduk Raden Moeradijani, 64 tahun, bekas direktur utama perusahaan itu. Kini ia direktur PT Galata Guna, Jakarta. Pengadilan yang sama sudah menyidangkan Raden Koesnawam, kepala bagian keuangan perusahaan tersebut, Maret tahun silam. Ia divonis 5 tahun penjara, 2 1/2 tahun lebih ringan dari hukuman yang diminta jaksa. Sementara itu, kejaksanaan bahkan siap untuk melimpahkan berkas Djohan Arifin, yang pernah menjabat direktur komersil, dan kini direktur PT Merak Tunggal di Surabaya. Akan halnya sidang Moeradijani, di sini baru didengar penjelasan terdakwa ihwal raibnya uang negara lebih dari Rp 1,4 milyar, dan Rp 432 juta uang Yayasan Dana Pensiun Buruh (YDPB). Dalam dakwaannya, Jaksa F.T. Paembonan menyebutkan terdakwa setidaknya menikmati Rp 50 juta bersama satu kaveling di kawasan Siwalan Kerto, Surabaya. Rinciannya, Rp 30 juta didapat dari seorang bernama Soemadi, Rp 20 juta dari kas PTP. Uang itu, menurut jaksa, dipakai oleh terdakwa untuk membangun rumah pribadi yang pemiliknya dibuat atas nama anaknya. Juga, kaveling itu adalah atas nama anaknya yang lain lagi. Nama Soemadi muncul di sidang karena disebut-sebut terdakwa terdahulu bahwa ia adalah pialang yang menguruskan pinjaman kredit Rp 2,5 milyar ke Bank Indonesia (BI). Adalah Soemadi pula yang minta uang pelicin Rp 500 juta agar kredit tadi bisa encer. Para terdakwa mengambil uang itu dari kas PTP. Lalu Moeradijani kecipratan Rp 30 juta dan Koesnawan Rp 25 juta konon -- sebagai tanda terima kasih dari Soemadi. Meski uang pelicin sudah dikeluarkan, kredit belum juga turun. Urusan kian rumit karena sosok Soemadi belum terungkap. Dalam keterangannya, Moeradijani menyatakan bahwa Soemadi itu bukan nama imajiner. Ia pernah bertemu sekitar Oktober 1982, dan ketika Soemadi menanyakan jaminan, Moeradijani menunjuk tanah milik YP3G (Yayasan Pembangunan Perumahan Pegawai Gula) di Dukuh Menanggal. YP3G didirikan Moeradijani dan kawan-kawan Oktober 1981, atau sekitar setahun setelah ia menjabat direktur utama di sana. Tujuannya untuk kesejahteraan karyawan. Padahal, di PTP itu sudah ada yayasan yang bertujuan serupa, yakni Yayasan Kesejahteraan Karyawan (YKK). Menarik, sebab Kusnawan yang pengurus YKK juga duduk dalam kepengurusan YP3G, dan menjabat bendahara pula. Ketua YP3G adalah Moeradijani sendiri. Baik pembentukan YP3G maupun kegiatan atas nama yayasan itu yang mengakibatkan rupiah satu milyar lebih tadi bertaburan ke mana-mana, dan menurut jaksa dilakukan Moeradijani. Melalui penasihat hukumnya Ernanto Sudarno, S.H., Moeradijani balik bertanya bagaimana mungkin jaksa menilai kebijaksanaan yang dilakukannya selama ia menjadi direktur utama itu sebagai perbuatan korupsi. Alasannya, pemakaian uang itu justru untuk keperluan karyawan. Ditunjuknya pembangunan 65 unit rumah di Klampis Ngasem, 10 rumah di Semolowaru, pengadaan tanah 3,6 ha yang dijadikan kaveling, pinjaman tunai kepada 12 karyawan untuk uang muka perumahan, bantuan bagi karyawan yang membangun rumah di Menanggal. Untuk itu semua, menurut Moeradijani, total pengeluaran lebih dari Rp 1,4 milyar. Sedangkan tuduhan tentang rumah dan tanah, menurut terdakwa, lumrah, sesuai dengan jatah -- sama seperti anggota direksi yang mendapat bagiannya. Itu pun, kata Moeradijani, diperolehnya dengan cara mencicil kembali pada YP3G. Juga disebutnya bahwa pembentukan yayasan tersebut sudah diketahui direksi serta komisaris. Sampai di sini Moeradijani ingin membuktikan: tidak ada uang yang ditilapnya sebagai korupsi. Ed Zoelverdi dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini