KETERANGAN Ketua Umum BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) di depan DPR, dan pada seminar nasional percengkehan, penting untuk memahami kondisi nyata yang dialami perdagangan cengkeh nasional. Ternyata, berlangsung overstock dalam jumlah yang amat besar, sekitar 168.822 ton per 31 Desember 1991. Sepanjang 1991, BPPC menjual 36.685 ton, sedangkan pembeliannya mencapai 205.508 ton. Kredit likuiditas BI dan bankbank negara yang dialokasikan sebesar Rp 759 milyar hingga kini belum diketahui nasib pembayaran bunga dan cicilan utangnya, karena BCN (Badan Cengkeh Nasional) belum menyampaikan laporannya kepada Bank Indonesia. Yang penting untuk disimak adalah keinginan untuk "menyeimbangkan" supply dan demand. Apakah arti overstock, "menyeimbangkan supply dan demand" cengkeh itu? Apa hubungan semua itu dengan nasib petani cengkeh (produsen), pabrik rokok kretek (konsumen), serta kegiatan mata rantai perdagangan rokok yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku? Menurut ketua umum Gappri, penggunaan tenaga kerja yang terlibat dalam pertanian tembakau, pertanian cengkeh, pengecer rokok, serta pekerja di pabrik rokok, sekitar 4,16 juta. Bila tiaptiap orang mempunyai istri dan dua orang anak, ada sekitar 17 juta orang yang hidup dari industri dan produksi yang berkaitan dengan cengkeh. Jalan keluar yang ditawarkan oleh BPPC dalam upaya menyeimbangkan supply dan demand adalah memusnahkan supply yang ada dan mengadakan konversi tanaman cengkeh dengan menggantikannya dengan tanaman seperti tembakau, pinang, kemiri, atau melinjo. BPPC memperkirakan adanya sekitar 250.000 ha tanah yang harus dikonversi. Persoalan yang timbul dari penjelasan BPPC ini memerlukan catatan sebagai berikut. Pertama, menarik untuk diperhatikan bahwa peningkatan produksi terjadi justru ketika tata niaga mencapai tingkat yang paling birokratis (1991, dengan fenomena BPPC dan kekuasaan membeli dan menjual cengkeh pada satu badan itu). Pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah perlukah dibuat badan-badan yang sejenis seperti BPPC untuk meningkatkan produksi pada berbagai komoditi lainnya. Dengan perkataan lain, tepatkah kebijaksanaan deregulasi untuk meningkatkan pertumbuhan yang kita ketahui dihitung dari sisi produksi? Kedua, bila cengkeh yang ada dimusnahkan dan bila konversi lahan dilaksanakan, bisakah dijamin keseimbangan supply dan demand di masa depan? Jawaban atas kedua pertanyaan itu barangkali dapat menjelaskan besarnya peran efisiensi pembentukan harga (price formation) sebagai masalah yang kurang atau tidak dilihat sementara kalangan sebagai hal yang paling penting. Para pejabat dan sebagian pakar cenderung mengabaikan peran price formation dalam mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Keseimbangan permintaan dan penawaran itulah yang sebenarnya menjadi kunci penyelesaian masalah. Atau seperti dikatakan C. Peter Timmer, guru besar Universitas Harvard, "mendapatkan harga yang tepat bukanlah akhir proses pembangunan, tapi menetapkan harga yang salah pasti merupakan akhir pembangunan itu sendiri". Kembali kepada cengkeh, tepatkah harga cengkeh kepada petani sebesar Rp 7.904,85 per kilogram? Atau tepatkah harga jual ke pabrik rokok oleh BPPC sebesar Rp 10.840,74 per kilogram ditambah beban bunga kredit bank dan provisi. Siapa yang tahu? Secara konsepsional bisa saja stabilitas harga sementara didapatkan dengan pola pelayaran hongi (membakar cengkeh yang dilakukan VOC) tetapi apakah untuk selanjutnya produksi tidak meningkat lagi? Mungkinkah untuk mengurangi insentif diturunkan harga pembelian cengkeh menjadi Rp 5.800 dan tidak Rp 7.904,85? Kalau mungkin, apakah itu benar-benar menjamin bahwa akan terdapat keseimbangan supply dan demand? Seluruh persoalan negara-negara Eropa Timur dan mantan Uni Soviet adalah penggenjotan produksi yang mampu merombak struktur ekonomi menjadi ekonomi industri, tapi pada saat yang sama tidak menciptakan sistem ekonomi yang efisien. Karena itu, persoalan pencapaian sistem ekonomi yang efisien sebenarnya merupakan inti permasalahan. Pada gilirannya hal ini tidak dapat dipecahkan dengan penetapan harga (price regulation) yang justru dilakukan dalam tata niaga cengkeh. Satu-satunya cara mengatasi masalah cengkeh dan juga berbagai komoditi yang diberlakukan tata niaganya (seperti jeruk Pontianak) adalah melalui market solution (penyelesaian pasar). Dengan begitu keseimbangan supply dan demand akan terjadi pada saat QD (quantity demanded) dan QS (quantity supplied) bersepakat pada titik harga keseimbangan (market equilibrium). Deregulasi pada dasarnya mengacu pada efisiensi pasar dan karena itu hubungannya pada pertumbuhan (growth) tidak selalu positif langsung. Bila deregulasi dikenakan pada tata niaga cengkeh, produksinya pada mulanya tentu turun karena market equilibrium pasti jauh lebih rendah dari pada harga penetapan cengkeh Pemerintah. Satu indikator dalam mengukur market equilibrium adalah harga internasional. Harga internasional komoditi bisa menjadi patokan karena adanya perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Meskipun begitu, harga dalam negeri bisa saja berbeda dengan harga internasional, tapi perbedaan yang dianggap "normal" adalah 15% sampai 25% (di luar ongkos cost, insurance, dan freight). Agar harga cengkeh tidak dipermainkan oleh pabrik-pabrik rokok dengan sekehendak hatinya, perbedaan harga 15-25% dari harga internasional dapat dibenarkan melalui cara-cara yang dianggap perlu oleh Pemerintah. Tapi bagaimana dengan upaya mengatasi masalah cengkeh saat sekarang? Walaupun dengan "pil pahit" yaitu anjloknya harga, jalan market solution jauh lebih menjanjikan harapan di masa depan ketimbang jalan keluar yang dikemukakan oleh BPPC serta para pakar yang setuju dengan "pemusnahan" cengkeh. Bila ekonomi dikembalikan kepada niat baik semata-mata, sudah lama koperasi berkembang dengan pesat. Begitu juga bila ekonomi bisa merupakan list of wishes atau daftar permohonan, maka pemerataan pertumbuhan, peningkatan penerimaan pajak, pemberantasan kemiskinan, peningkatan usaha skala kecil, stabilitas neraca pembayaran serta pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah, semuanya tentu ingin dicapai. Alangkah baiknya kita mencoba kembali kepada market solution yang selama ini kita tempuh melalui deregulasi ekonomi. Cara demikian di jangka panjang lebih menjamin kepentingan petani, pabrik rokok beserta karyawan, penerimaan cukai Pemerintah, serta pengecer rokok dan konsumen pada umumnya. Dengan market solution untuk cengkeh, kita mencanangkan dimulainya deregulasi di sektor riil pada tahun 1992.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini