HAKIM tentu manusia biasa: boleh mengutang. Tapi dia tampaknya tak boleh sembarangan dapat kredit. Hakim tinggi di Palembang, bekas Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Hasan Machmud, kini digugat Bank Internasional Indonesia (BII) karena dituduh tidak mengembalikan kredit Rp 100 juta. Persoalan menjadi berat, ketika diketahui bahwa direktur bank itu, Eka Tjipta Widjaja, adalah saksi pelapor pada perkara penggelapan tanah Sawangan Hill, Bogor, yang sebelumnya ditangani Hasan Machmud selaku ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Fakta gugatan itu segera disambut pihak yang dulu jadi tertuduh, Manuel Rawung. Pengacaranya, O.C. Kaligis, Denny Kailimang, dan Anton, menuntut agar kasus kliennya itu diperiksa ulang. Dalam suratnya ke Mahkamah Agung, Kaligis menilai bahwa Rawung bisa dipaksakan duduk di kursi terdakwa karena permainan antara saksi pelapor dan oknum-oknum penegak hukum. "Kami menduga bahwa pinjaman sebesar Rp 100 juta yang diberikan saksi, Eka Tjipta itu mempunyai kaitan erat dengan fasilitas istimewa yang diberikan Hasan Machmud secara timbal balik," tulis tim pembela dalam suratnya tertanggal 17 Februari lalu. Kendati kini Eka Tjipta yang dikenal sebagai Raja Minyak Goreng, pemilik PT Bimoli, balik menggugat hakim itu, Kaligis tidak meragukan tuduhannya: "Bila sekarang Hasan Machmud digugat, karena hakim itu gagal menjatuhkan hukuman kepada Rawung, sesuai dengan keinginan saksi." Dan, kenyataannya, kasus penggelapan itu sampai kini belum juga diputus, setelah sekitar empat tahun ditangani pengadilan, dan setelah 12 tahun perkara itu diusut polisi dan kejaksaan. Perkara tanah Sawangan Hill itu memang sudah berlumut di pengadilan. Pada 1971, Rawung, Direktur PT Pakuan, pemilik lapangan golf Sawangan, Bogor, mengadakan kerja sama dengan beberapa bankir, antara lain Eka Tjipta, direktur BII, dan Mu'min Ali Gunawan dari Panin Bank, untuk mengusahakan Sawangan Hill, real estate di dekat lapangan golf itu. Untuk itu, semua pihak sepakat mendirikan PT Sawangan Hill, dengan Manuel Rawung sebagai direkturnya. Para bankir sebagai penyetor modal, sementara Rawung bertugas membebaskan tanah untuk keperluan proyek itu. Rawung memang, menurut pengakuannya, berhasil membebaskan lebih dari 100 hektar tanah rakyat di situ. Tapi cekcok kemudian terjadi. Konon, akibat sertifikat untuk tanah-tanah itu belum dikeluarkan agraria. Di satu pihak, para bankir menuduh Rawung menggelapkan modal yang diterimanya, di lain pihak Rawung menuduh bankirnya tidak melunasi setoran modal yang dijanjikan. Persoalan itu, 1974, kemudian menjadi urusan polisi. Selama delapan tahun, kata Rawung, perkara bolak-balik antara Polres Bogor, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung. Menurut Rawung, ia sempat dipaksa oknum-oknum Kejaksaan Agung menandatangani bukti setoran, yang sebenarnya tidak pernah diterimanya. Pada Oktober 1982, Rawung disidangkan. Padahal, kata Rawung, sebulan sebelumnya sudah ditandatangani akta perdamaian di depan Notaris Ridwan Soesilo. Di situ pihak Eka Tjipta bahkan menyetor ke Rawung Rp 525 juta, dan mereka sepakat tidak akan saling menuntut lagi. Namun, Jaksa Saragih dan Hakim Hasan Machmud, menurut Rawung, tidak menghentikan persidangan. Bahkan Jaksa Saragih menuntut hukuman 6 bulan penjara untuk Rawung. Sebab, kalau ia dibebaskan, kata Rawung, berarti para bankir bisa dituduh balik karena memberi laporan palsu. Toh, putusan tidak kunjung keluar, sampai Hasan Machmud dipromosikan ke Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan. Sebelum pindah, September lalu, Hasan Machmud memang sempat membuat putusan. Tapi, ia menugasi Hakim Sarwoko -- yang kemudian menggantikannya menjadi ketua pengadilan -- membacakan putusan itu, setelah ia pergi. Sarwoko tidak melaksanakannya, sampai Eka Tjipta menggugat Hakim Hasan, dan Kaligis menuntut perkara Rawung diperiksa diulang. Hakim Hasan Machmud, yang dihubungi TEMPO lewat telepon, mengaku mempunyai pinjaman Rp 100 juta dari BII. Utang itu, katanya, adalah kredit biasa dengan jaminan beberapa rumah dan restoran miliknya di Bandung -- warisan orangtuanya. Akibat gugatan Eka Tjipta itu, kata Hasan, sekarang semua rumah yang dijaminkannya disita pengadilan. Namun, Hasan Machmud membantah pinjaman itu berkaitan dengan perkara Rawung. "Pinjaman itu semata-mata bisnis: saya meminjam uang dari BII, bukan dari Eka pribadi. Sementara itu, di perkara Rawung, Eka menjadi saksi pelapor selaku pribadi, bukan sebagai BII." Hasan Machmud juga membantah isu-isu bahwa ia mendapat pinjaman serupa dari Panin Bank dan Arta Pusara Bank. Menurut Hasan, perkara Rawung itu tidak terlunta-lunta, karena sudah diserahkannya kepada Hakim Sarwoko untuk memutuskannya. "Majelis sudah memutuskan kasus itu pada Agustus lalu. Kalau sekarang belum dibacakan, itu terserah Pak Sarwoko," katanya. Hakim Sarwoko membantah keras bahwa perkara itu sudah diputuskan Majelis Hasan Machmud. Tapi ia tidak bisa memastikan apakah perkara itu akan diperiksa ulang atau tidak. "Kami belum memutuskan," tambah Sarwoko, yang mengaku tidak tahu-menahu mengenai digugatnya Hasan oleh Eka di Bandung. Sayangnya, Eka Tjipta, sampai pekan lalu, berada di luar Jakarta. Rekannya, Mu'min Ali Gunawan, Wakil Presdir Panin Bank tidak bersedia berkomentar banyak kecuali mengaku secara pribadi memegang 5% saham di Sawangan Hill. Ia membantah keras mengajukan bukti-bukti setoran palsu ke PT Sawangan Hill untuk menjebloskan Rawung. Ia juga membantah memberi pinjaman kepada Hasan Machmud seperti yang dilakukan BII. "Baik selaku pribadi maupun pimpinan bank, saya tidak pernah berhubungan dengan Hasan Machmud," katanya. Ini baru seru. Karni Ilyas Laporan Eko Yuswanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini