Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peradilan Setengah-Setengah

Ahmad Haerudin & Suganda (korban salah tangkap dengan tuduhan mencuri) menggugat polisi di praperadilan Bandung. Hakim menyatakan polisi bersalah, tapi menolak tuntutan ganti rugi. Vonis hakim setengah-tengah.(hk)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK yang menilai bahwa lembaga praperadilan, unsur utama yang menjamin hak asasi manusia, dalam praktek hampir tidak ada artinya bagi pencari keadilan. Selain sebagian besar tuntutan para korban salah tangkap ditolak, jika menang pun tidaklah gampang mengurus ganti rugi, seperti ditentukan undang-undang. Bahkan Hakim Djaelani di Pengadilan Negeri Bandung, baru-baru ini, yang memutuskan bahwa penahanan terhadap Ahmad Haerudin dan Ahmad Suganda tidak sah, menolak tuntutan tersangka pencuri itu untuk mendapatkan ganti rugi. Djaelani menunjuk alamat lain ke mana tuntutan ganti rugi harus diajukan: ke Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) atau menggugat ke peradilan perdata -- artinya, kedua tersangka harus menggugat oknum polisi yang salah tangkap itu. "Saya memang sudah menduga bahwa keputusan itu akan mengundang perhatian orang. Tapi, saya merasa, putusan itu benar," ujar Djaelani, ketika ditemui TEMPO, pekan lalu. Ahmad Haerudin alias Hery bersama temannya, Ahmad Suganda, bernasib sial pada suatu malam November lalu. Kedua bujangan itu malam itu bergadang sebelum berziarah ke makam Gunung Jati di Cirebon keesokan harinya. Kebetulan pula Suganda membawa keris yang rencananya akan dimandikan di tempat itu. Sekitar pukul 12 malam, di Jalan Supratman, mereka ditangkap petugas Siskamling. Mereka dituduh, tiga hari sebelumnya, mencuri di rumah seorang penduduk. Kedua pemuda itu menyangkal, tapi tetap saja diangkut ke Polsekta Cibeunying. Malam itu juga, cerita Haerudin, ia dijebloskan ke tahanan setelah sebelumnya sempat dipukul petugas karena tidak mau mengaku. Selama lima hari ia diperiksa di kantor polisi itu, tanpa surat penangkapan, penahanan, atau pemberitahuan kepada keluarga. Tapi, karena tidak terbukti bersalah, mereka dibebaskan kembali. Karena semua itulah Haerudin, melalui LBH Bandung, mempraperadilkan polisi. Ia menuntut agar polisi menjernihkan namanya dan membayar ganti rugi Rp 3 juta. "Sebab, akibat penangkapan dan penahanan itu, kini saya dijauhi tetangga," kata Haerudin. Hakim Djaelani, yang memeriksa kasus itu, sependapat bahwa polisi telah salah tangkap. Apalagi, penyidik itu ternyata tidak pula melengkapi penangkapan dan penahanan dengan surat-surat yang sah. Selain itu penyidik, menurut hakim, juga berani menangkap orang tanpa bukti-bukti permulaan yang cukup. Tapi, hakim tidak menghukum polisi membayar ganti rugi. Alasannya, berdasarkan kekurangan bukti-bukti itu, Haerudin dan Suganda bukanlah tersangka yang berhak mendapat ganti rugi. "Ia belum tersangka," kilah Djaelani. Apalagi, kata Djaelani, meski sempat menginterogasi kedua orang itu, polisi tidak membuat berita acara pemeriksaan. "Jadi, mereka tidak akan diperkarakan, dan karena itu belum bisa disebut tersangka," katanya. Karena itu pula Djaelani menunjuk pengadilan lain yang bisa menyelesaikan kasus salah tangkap itu. KEPUTUSAN hakim itulah yang dinilai Badar Baraba, pengacara Haerudin dari LBH Bandung, sebagai "setengah-setengah". "Pada saat seseorang ditangkap polisi, orang itu sudah tersangka," katanya, sembari menyatakan heran dengan kesimpulan hakim yang mengatakan kliennya belum disebut sebagai tersangka. Praperadilan itu, kata Badar, sesuai dengan KUHAP jelas bertujuan untuk menguji penyidik apakah bertindak sewenang-wenang atau tidak. "Kalau ternyata penyidik melanggar, harus ada sanksinya," katanya. Hukum acara pidana, pasal 95 KUHAP, memang memberikan hak kepada tersangka yang ditangkap, ditahan, diadili tanpa berdasarkan undang-undang atau kelalaian, menuntut rehabilitasi nama baik dan ganti rugi. Menurut peraturan pemerintah, 1983, korban berhak mendapatkan ganti rugi antara Rp 500.000 dan Rp 3 juta. Siapa orang itu? Dosen Hukum Acara Pidana Unpad, Roehimat, jelas-jelas menunjuk orang semacam Haerudin itulah. "Justru karena dia itu belum tersangka, tapi sudah ditangkap dan ditahan, ia berhak mendapat ganti rugi," kata Roehimat, yang menganggap keputusan hakim itu aneh dan lucu. Haerudin, yang tidak puas atas putusan itu tapi tidak mengerti seluk belum hukum menyatakan akan banding ke Mahmilti seperti disarankan Djaelani. Tapi, sebaliknya, Kepala Polsekta Cibeunying, Kapten Pol. Soenarjo, yang bertanggung jawab atas kesalahan menangkap para korban, menganggap persoalan sudah selesai. "Persoalan itu sudah selesai, sudah diputus pengadilan, dan polisi dinyatakan menang. Jadi, tidak perlu ditulis lagi," katanya. Gampang, kok?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus