Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ferdy Sambo mengajukan banding atas keputusan Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) yang memvonisnya Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH). "Tidak berlaku PK. Jadi keputusan banding adalah final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lagi," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, Jumat, 26 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tampilan layar tv Irjen Ferdy Sambo menghadiri sidang kode etik di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis 25 Agustus 2022. Sidang kode etik tersebut berjalan secara tertutup untuk menjelaskan motif dan menentukan sanksi terhadap Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur soal peninjauan kembali (PK) terhadap putusan banding KKEP. Mekanisme ini tergolong baru di kepolisian.
Dalam aturan lama tak ada mekanisme PK terhadap putusan banding KKEP, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengubahnya. Peraturan Polisi Nomor 7 Tahun 2022 itu baru disahkan pada 14 Juni 2022. Menurut Pasal 83 Perpol Nomor 7 Tahun 2022, PK hanya bisa diajukan oleh Kapolri. Ferdy Sambo sebagai pihak yang mendapat vonis tidak bisa mengajukan PK.
Peninjauan kembali atau PK selain sidang etik kepolisian
Merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Bab XVIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, peninjauan kembali didefinisikan sebagai upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Itu berupa persidangan Pengadilan Negeri, sidang banding Pengadilan Tinggi, dan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Dalam upaya hukum biasa, kasasi MA langkah terakhir yang ditempuh untuk mendapat keadilan bagi para pihak dalam suatu perkara. Putusan kasasi MA yang telah keluar memiliki sifat mengikat dan berkekuatan hukum tetap.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali tidak bisa ditempuh terhadap putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, bila putusan telah menyatakan terdakwa bebas. Kendati demikian, peninjauan kembali tetap bisa diajukan terhadap putusan kasasi MA.
Jika dalam putusan sebelumnya ada kesalahan hakim ketika memutus perkara dan bukti baru yang belum pernah dikeluarkan dalam persidangan. Peninjauan kembali diajukan selama 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap dan sudah diberitahukan kepada pihak berperkara.
Peninjauan kembali dalam sistem peradilan di Indonesia memiliki beberapa prinsip umum yang harus ada ketika melakukan permohonan pengajuan. Mengutip dari Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), prinsip umum peninjauan kembali antara lain"
1. Pidana tidak melebihi putusan awal
Prinsip sesuai dengan Pasal 266 ayat 3 KUHAP yang berbunyi, “Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.”
Pasal itu bermakna, MA tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana yang melebihi putusan pengadilan dalam pengajuan peninjauan kembali. Prinsip ini pun sesuai tujuan dibentuknya lembaga peninjauan kembali untuk memenuhi hak pemohon dalam mencari keadilan dan terbebas dari ketidakbenaran penegak hukum.
2. Tidak menghentikan pelaksanaan putusan
Berdasarkan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 dan pasal 67 UU MA, peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan jalannya pelaksanaan putusan (eksekusi). Secara normatif yang mengacu kedua pasal itu objek permohonan upaya peninjauan kembali adalah putusan berkekuatan hukum tetap (BHT). Berarti, ketika putusan BHT dijatuhkan, terdakwa atau tersangka telah berubah status hukumnya menjadi terpidana.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.