Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tak Ada Air Mata di Sabra dan Shatila

Warga Palestina kecewa Ariel Sharon meninggal sebelum diajukan ke pengadilan. Dianggap pahlawan di Israel.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembantaian keji lebih dari tiga dekade silam masih terekam jelas di benak Abu Jamal. Pada suatu pagi bulan September, sekelompok anggota milisi Libanon sekutu Israel membangunkannya di kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, Beirut. Beberapa lelaki bersenjata memaksa Jamal dan para pengungsi lain membentuk barisan. Laki-laki dan perempuan diminta berbaris terpisah. Lalu mereka menarik sejumlah pria muda dari barisan dan menembakinya hingga tewas.

Salah satu korbannya adalah putra Jamal, siswa kelas akhir sekolah menengah berusia 19 tahun. "Ia tak pernah melihat ijazahnya," ujarnya di Beirut kepada Reuters, Sabtu dua pekan lalu. Untuk mengenang sang putra, Jamal menyematkan pin bergambar wajah putranya di baju hangatnya.

Serdadu Israel tak bereaksi setelah mengetahui pembantaian pada 16-18 September 1982 itu, yang diperkirakan menewaskan lebih dari 750 orang. Bila ditambah dengan korban invasi Israel ke Libanon pada tahun yang sama, jumlahnya mencapai 20 ribu orang.

Kenangan pahit atas tragedi itu muncul kembali ketika Jamal mendengar kabar Ariel Sharon tutup usia pada Sabtu dua pekan lalu. Bekas Perdana Menteri Israel itu meninggal pada usia 85 tahun setelah delapan tahun koma. Tak ada tangis duka bagi Sharon di Sabra dan Shatila. Bahkan, menurut Milany Boutrous Alha Bourje, yang suami dan anaknya tewas dalam peristiwa itu, Sharon pantas mendapat hukuman lebih berat. "Semoga Tuhan mengirimnya jauh ke dalam bumi. Saya berharap ia menderita seperti kami," kata perempuan 70 tahun itu di rumahnya tak jauh dari lokasi pembantaian.

Hasil penyelidikan pemerintah Israel setahun kemudian membuktikan Sharon, yang kala itu menjabat menteri pertahanan, bertanggung jawab karena tak mencegah pembantaian. Peristiwa itu memaksanya mundur. Ia kemudian terjun ke politik dan bergabung dengan Partai Likud. Bersama partai inilah karier politiknya moncer hingga menjabat perdana menteri pada 7 Maret 2001.

Sharon lahir di wilayah Palestina yang diduduki Inggris pada 26 Februari 1928 dari ayah asal Belarus. Pada usia 17 tahun ia bergabung dengan milisi Haganah—cikal- bakal militer Israel—dalam perang kemerdekaan 1948. Ia juga terjun dalam Perang Enam Hari pada 1967, Perang Yom-Kippur 1973, dan konseptor Perang Libanon 1982.

Dianggap pahlawan militer di negaranya, Sharon tak lebih dari penjahat bagi bangsa Palestina. Ia salah seorang penganjur utama pembangunan permukiman di Gaza dan Tepi Barat. Menurut dia, setiap orang harus merebut seluas mungkin puncak Bukit Yudea untuk melebarkan permukiman. "Ia tahu apa yang dibutuhkan untuk melindungi negaranya," ujar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengenai kiprah Sharon.

Banyak warga Palestina kecewa karena Sharon tak sempat dibawa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC). Partai Fatah, yang berkuasa di Tepi Barat, menudingnya bertanggung jawab atas kematian Presiden Palestina Yasser Arafat pada 2004. "Sebenarnya kami berharap melihatnya diadili di pengadilan pidana internasional sebagai penjahat," ujar Jibril Rajub, pejabat senior Fatah. Hamas, yang menguasai Gaza, pun menyatakan kematian Sharon menandai hilangnya seorang penjahat yang tangannya berlumuran darah bangsa Palestina.

Kepada program berita Democracy Now!, aktivis, pengamat politik, dan pakar bahasa asal Amerika Serikat berdarah Yahudi, Noam Chomsky, menyebut Sharon sebagai pembunuh brutal yang punya gagasan pasti di dalam pikirannya. "Israel yang lebih besar dan kuat dengan sesedikit mungkin orang Palestina serta Israel yang cukup kuat untuk mendominasi wilayah."

Bagi Chomsky, 85 tahun, penarikan pasukan Israel dari Gaza pada 2005 adalah lelucon belaka. Sebab, saat itu Gaza sudah hancur. Tak masuk akal menjaga beberapa ribu pemukim Yahudi di lahan luas yang langka air dengan sejumlah besar serdadu. Yang lebih masuk akal, kata dia, adalah memindahkan para pemukim ke Dataran Tinggi Golan dan Tepi Barat.

Beberapa bulan setelah penarikan pasukan dari Jalur Gaza, Sharon meninggalkan Partai Likud dan membentuk partai baru, Kadima, dengan dalih mendukung penarikan lebih lanjut pasukan Israel dari Tepi Barat. Namun pada 14 April 2006, ketika masih menjabat perdana menteri, Sharon terserang stroke dan tak pernah sadar hingga akhir hayatnya.

Sapto Yunus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus