Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Aweng, di kamar tidur penculik

Aweng ditemukan tewas di pavilyun penculiknya,eka wijaya dan linda alias esmawati di siantar,sum-ut. mereka gagal menerima uang tebusan rp 30 juta. aweng dikubur dalam posisi duduk oleh penculik.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada jalan lain, polisi harus menggerebek suami-istri Eka Wijaya dan Linda, yang tinggal di pavilyun kontrakan di Jalan Bulutangkis 12, Siantar, Sumatera Utara. Sebab, pasangan itu dipastikan telah menculik Grendi alias Aweng, 19 tahun, calon mahasiswa Universitas Nommensen. Sekitar pukul 3.00 dini hari Senin pekan lalu, sepasukan polisi dipimpin Kapolres Simalungun sendiri, Letnan Kolonel Togar Sianipar, menyerbu pavilyun tersebut. Ternyata, di rumah itu polisi menemukan pasangan tersebut tengah tidur lelap. Di mana Aweng? Tak jauh. Pemuda malang itu ada di bawah tikar yang ditiduri pasangan penculik tersebut. Anak itu rupanya telah dikubur dalam posisi duduk di kamar itu. Tangan dan kaki korban terikat tali nilon. Sedangkan rantai anjing dengan tiga gembok mengganduli lehernya. Mulutnya dijejali tisu serta busa. Kuburan itu disemen dan kemudian baru ditutupi tikar alas tidur untuk si pemilik kamar. Niat mengubur orang dalam kamar tidurnya ternyata sudah direncanakan Eka, 23 tahun, bersama istrinya, Linda Boru Siregar alias Esnawati, 18 tahun, dan teman mereka Boyke Napitupulu, sejak 1 Juli lalu. Motifnya, mereka ingin mengubah nasib yang amburadul -- karena Eka tidak memiliki pekerjaan tetap. Caranya, dengan menculik anak orang berada. Jika gagal, korban akan ditanam dalam lubang sedalam satu meter di kamar tidur mereka. "Sehari penuh kami gali memakai pedang," kata Eka di selnya kepada TEMPO. Hampir dua minggu lubang itu menganga karena calon korban belum ditemukan. Korban memang harus diseleksi keadaan keuangannya. Kebetulan, pada 13 Juli Eka berpapasan dengan Aweng di rumah bilyar Olimpic. Mereka memang saling mengenal karena Eka pernah bekerja di perusahaan angkutan milik ayah Aweng. Ini dia, sasaran empuk, pikir Eka. Aweng adalah anak bungsu dari pengusaha kaya itu. Selain itu, walau dia pemain bilyar andal, anak itu amat penakut dan fisiknya lemah. Sambil bersiul, Eka memberi tahu istrinya. Surat ancaman pun diketik. Isinya, korban harus ditebus dengan uang Rp 30 juta. Batas waktu penyerahan uang tebusan pukul 10.00, 16 Juli, di depan RSU Jalan Sutomo. Esoknya, setelah menjemput kawannya Boyke, Eka menelepon Aweng dan memintanya datang ke Bilyard Centre -- dekat rumah Aweng. "Temui saya karena ada masalah penting," kata Eka. Aweng, tanpa curiga, membonceng sepeda motor temannya Asiang, menemui Eka. Asiang sendiri menunggu di kedai kopi. Ternyata, anak itu dibawa Eka ke pavilyunnya. Di situ Aweng diikat dan mulutnya disumpal. Belum cukup, masih diplester lagi. Malamnya, Linda menelepon ibu Aweng, mengabarkan Aweng berada di tangannya. Ia mengatakan bahwa surat ancaman bisa diambil di dalam tong sampah di depan rumah tetangga korban. Ngadimin, ayah korban, yang sedang berada di Prapat, segera pulang begitu mendengar kabar itu. Ia menyanggupi memberi uang tebusan. Tapi pada Minggu siang, kondisi Aweng sudah lemas. Celakanya, para penculik itu tidak berani membuka sumpalan mulut korban. Akibatnya, dua jam kemudian, ketika mereka masuk kamar, Aweng sudah mati tertelungkup. Mau tak mau, Aweng terpaksa dikubur dalam posisi duduk di lubang yang sudah disiapkan dalam kamar tidur tersebut. Lubang itu kemudian disemen sebatas lutut. Dibutuhkan 15 kilogram semen untuk menutupnya. Dengan ditekan, kepala korban yang dibungkus plastik hitam itu lalu disemen. Lima menit kemudian, kepala itu muncul menembus semen. Ngadimin dan istrinya benar-benar terpukul dengan kematian anak bungsunya itu. Sementara itu, tersangka tampak tidak menyesali perbuatannya. "Itu kan untuk mengubah nasib. Kalau tak berubah, ya, sudah risiko," kata Eka di selnya. Diah purnomowati dan Sarluhut Napitupulu (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus