MINGGU malam awal bulan ini, Pos Polisi Teluk Kijing di Kecamatan Kota Sekayu, Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, sepi seperti biasanya. Seorang tersangka pembunuhan, Fachrulrozi, yang baru dua hari menghuni tahanan, tepekur di dalam sel. Di luar, tiga orang polisi piket berjaga di bawah sinar bulan. Tiba-tiba suasana tenang itu sontak berubah jadi huru-hara. Tak kurang dari 500 penduduk setempat bak mara ke medan laga menyerbu pos polisi tersebut. Di tengah gegap gempita pekikan "lepaskan Fachrul", massa membakar pos polisi itu setelah menyiramnya dengan bensin. Komandan Pos, Sersan Kepala Rivael, mengerahkan sebagian penduduk yang ramai menonton memadamkannya. Untung, pos itu terletak di tepi Sungai Musi. Tapi penyerang semakin mengamuk. Bersenjatakan golok, bambu runcing, dan kayu, mereka mendobrak kantor polisi itu. Rivael dan dua anak buahnya memuntahkan semua peluru pistolnya ke udara. Toh penyerbu tak surut. Malah dinding kantor polisi, seluas 8 x 10 meter, yang terbuat dari kayu itu jebol. Suasana menjadi panik. Rivael dan Sersan Satu Junaidi bak dikejar lari minta bantuan Polres. Pada saat itulah, sang tahanan, Fachrulrozi, dihabisi penyerbu. Ayunan balok dan golok yang bertubi-tubi membuat sekujur tubuh babak belur. Kepalanya bahkan pecah. Ia tewas di tempat. Ketika belasan polisi datang dengan mobil patroli dari Sekayu, ibu kota Muba, penyerbu menghambur ke kegelapan. Hanya seorang anak muda, Darmaji, tampak masih menggebuki Fachrulrozi yang sudah jadi mayat dengan balok. Anak tamatan SPG Sekayu itu pun diringkus. Main hakim sendiri yang bermotif balas dendam itu bermula dari pertengkaran Fachrulrozi dengan Achrowy pada pagi 29 Juni lalu. Keduanya sesama penadah kayu curian. Rupanya, dalam bisnis kumuh itu, Fachrulrozi tak mau membayar utangnya, Rp 1,6 juta, kepada Achrowy. Apa boleh buat, duel dengan golok pun mengakhiri pertengkaran itu. Dalam duel yang disaksikan banyak orang -- dan tak ada yang berani melerainya -- Achrowy kalah. Bacokan Fachrulrozi melukai kepala, muka, bahu kiri, tangan kanan, dan pinggangnya. Achrowy akhirnya dilarikan ke RS Siti Chodijah Palembang, sementara Fachrulrozi menyerahkan diri ke Pos Polisi Teluk Kijing. Tapi karena pinggang Achrowy nyaris putus, ia tak bisa lagi diselamatkan. Setelah dirawat selama dua hari di rumah sakit, pada 1 Juli lalu, ia mengembuskan napas terakhir. Hari itu juga jenazahnya dibawa ke Teluk Kijing dan tiba pada pukul 19.00 -- selepas magrib. Nah, tatkala mayat Achrowy tiba itulah, amarah balas dendam membakar pihak keluarga korban. Dengan suara lantang di tengah ratap tangis keluarga, Surkati bin Dina, 52 tahun -- kakak besan almarhum -- berteriak keras. "Utang nyawa harus dibalas dengan nyawa. Fachrulrozi harus kita bunuh," pekiknya. Agaknya, karena masih dalam kobaran emosi, segenap keluarga terpancing berang. Semua sepakat menghabisi Fachrulrozi. Meskipun Kepala Desa Teluk Kijing, A. Rahman Hasyim, mencoba menenangkan dan minta agar jenazah diurus lebih dahulu, massa tak menghiraukannya. Dengan pedang bertuliskan "kalimah syahadah" sepanjang 80 cm, Surkati menghambur ke luar rumah. Ia diikuti sanak keluarga dan diiringi khalayak ramai hingga berjumlah sekitar 500 orang. Mulanya mereka bergerak ke Dusun IV Teluk Kijing, tempat tinggal Fachrulrozi. Di depan rumah Kepala Dusun IV itulah Surkati berteriak. "Hayo, lepaskan Fachrulrozi dari tahanan, kami mau menuntut balas," pekik Surkati disambut riuh teriakan massa. Rahman, yang mengikuti rombongan itu, kembali menasihati. "Main hakim sendiri itu salah," kata Rahman, sambil mengingatkan bahwa kasus itu sudah ditangani polisi. Tapi "pasukan" Surkati betul-betul sudah naik pitam. Mereka terus bergerak maju. Bahkan layaknya panglima perang, Surkati berteriak "serbu ... Kades menghalangi, Kades pancung ... polisi melintang, polisi juga kita pancung ...". Bagai air bah massa itu pun mara ke kantor polisi hingga peristiwa itu terjadi. Menurut Rahman, untunglah, polisi tak telanjur menembaki massa itu. "Jika terjadi, bisa saja amarah massa beralih kepada polisi," kata Rahman. Ketika wartawan TEMPO menyusup ke Teluk Kijing pada pekan lalu, tampak desa berpenduduk 2.500 kepala keluarga itu masih diliputi waswas. Mereka sehari-harinya bekerja sebagai penyadap karet dan penebang kayu. Sampai pekan lalu baru dua orang di antara pengeroyok yang ditangkap polisi. Surkati dan sejumlah pengikutnya hingga sekarang masih buron. Surkati memang dikenal sebagai orang terpandang dan terkaya untuk ukuran desa itu. Sehari-hari berdagang karet, ia juga dikenal sebagai sesepuh desa. Kapolda Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), Mayjen. Polisi Drs. Putera Astaman, menilai tindakan massa itu melawan hukum. "Selain main hakim sendiri, mereka juga telah melawan petugas dan merusak kantor polisi," katanya kepada sejumlah wartawan di Palembang. Tapi Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbagsel, Letkol. Irawan Shaleh, tak percaya massa yang mengamuk itu sampai 500 orang. "Yang mengamuk cuma famili Achrowy, selebihnya cuma menonton apa yang terjadi," katanya pada TEMPO. "Buktinya, kan ada massa yang menolong polisi memadamkan api yang nyaris memusnahkan pos polisi itu," tambahnya. Siapa pun pelakunya, agaknya peristiwa ini cukup menggambarkan semakin cenderungnya masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri. Di sisi lain juga semakin tak berwibawanya penegak hukum. Sebuah gejala buruk yang perlu diatasi sedini mungkin. Bersihar Lubis, Djasman Dainuri, Yuliandyah (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini