Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Wahabi,emosi, dan tradisi

Faham wahabi melarang menangis apabila ada orang meninggal atau ketika berziarah ke kubur. sebagai cerminan agar umat tak jatuh ke dalam syirik.teta- pi kering dari emosi dan menutup diri dari tradisi

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA musim haji tahun lalu, tatkala saya ziarah ke makam Rasul, tiba-tiba saya menangis. Ternyata, bukan hanya saya yang menangis. Saya lihat di kanan kiri saya juga banyak yang menangis. Semula saya kira hanya orang Jawa yang mudah menangis kalau berziarah ke makam. Perihal menangis dalam perjalanan haji memang menarik. Sering saya dengar bahwa salah satu pertanda haji kita mabrur ialah kalau kita dapat menangis di tiga tempat. Yaitu tatkala pertama kali masuk Masjidil Haram melihat Ka'bah. Yang kedua sewaktu wukuf di Arafah. Yang ketiga ziarah di makam Rasulullah. Di kuburan Baqi, tak jauh dari Masjid Madinah, saya tak menemukan orang Indonesia atau Pakistan menangis, tapi saya sering melihat sekelompok orang, yang katanya pengikut Syiah, kadang-kadang meraung-raung. Mereka mungkin menangisi Sayidina Ali atau Fatimah anak Nabi yang dimakamkan di sana. Kuburan Baqi yang cukup luas itu sebenarnya bagi saya tampak seperti tanah kosong daripada makam, karena tak ada batu nisan satu pun. Pinggirnya dipagar tinggi, dan di balik jeruji besi pintu pagarnya, orang-orang yang menangis itu akan segera dihardik juga oleh petugas Arab Saudi supaya pergi. Sikap Wahabi terhadap pemujaan makam memang sangat keras. Kita bahkan tak boleh menangis kalau ada di antara keluarga kita yang meninggal. Saya ingat sekali, dulu, waktu baru pulang dari pesantren Wahabi, bersama kawan-kawan, yang kami jadikan sasaran penting pemurnian ialah tentang tata cara merawat jenazah. Kami melarang siapa pun menangis, apalagi dekat jenazah. Kalau ada yang menangis harus segera diamankan, misalnya dimasukkan ke dalam kamar atau diungsikan ke tempat yang jauh. Begitu juga tak holeh ada hidangan yang disuguhkan, termasuk air minum untuk mereka yang datang takziah. Mayat itu tak boleh ditahan-tahan, biarpun mungkin ada anaknya yang belum datang dari jauh. Jenazahnya harus segera diantar ke kubur agar segera ketemu dengan amal baiknya yang selama ini diperbuat. Di kuburan juga tak usah diajari talkin sebab tak ada tuntunannya dari Nabi. Termasuk dianggap bid'ah kalau jenazah ditahlilkan tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya. Karena begitu gencar dan kerasnya kawan-kawan ini melakukan perubahan seperti itu, maka oleh kelompok yang tak sepaham kami dijuluki sebagai golongan bermazhab "tikus". Sebab, pertama karena kami menyatakan bahwa tikus halal dimakan dan yang kedua karena menganjurkan pemakaman jenazah seperti layaknya mengubur tikus. Sikap dasar paham Wahabi terhadap orang mati seperti tergambar tadi tentu dapat dimengerti sebagai cerminan agar umat lslam tak jatuh dalam syirik atau menyimpang dari akidah tauhid. Sesungguhnya hanya Allah Yang Kekal dan Suci, sedangkan Muhammad juga manusia biasa yang bisa mati, (hanya bedanya beliau adalah pembawa risalah). Persoalannya ialah apakah setiap orang yang menangis di makam Rasul berarti memuja Rasulullah. Sama halnya, apakah orang yang mempunyai koleksi patung berarti penyembah patung? Kalau seorang Islam dalam setiap tahiyatnya menyebut "wahai, Nabi, rahmat dan berkah Allah untukmu" dan pada suatu ketika memperoleh kesempatan ziarah ke makamnya mengucapkan "assalamualaika ya Rasulallah" dengan terharu meneteskan air mata, apakah patut orang seperti itu dihardik? Juga kalau di antara umat manusia ini ada yang bekerja keras berjuang demi kemanusiaan, wajahnya diabadikan dalam bentuk patung, ditempatkan di tempat yang strategis, agar selalu dikenang jasanya, apakah berarti dengan cara seperti itu kita hendak menyaingi Tuhan? Sudah tentu tak semudah itu mensyarikatkan Tuhan. Hanya, bagi paham Wahabi, patung, biarpun itu barang seni, tampaknya masih merupakan hal yang dilarang. Karena itu, tak heran jika kita berkeliling di Kota Jeddah, di Arab Saudi, kita tak akan melihat patung orang sebagai monumen. Yang ada ialah bentuk sepeda yang besar sekali atau perahu Arab. Penggambaran varian pemahaman Islam yang kering dari emosi dan menutup diri dari tradisi ini saya ungkapkan dalam rangka mencari pengertian, apakah mungkin bahwa dalam menangani musibah Terowongan Mina, para jenazah yang syuhada itu oleh yang mengurusnya diperlakukan praktis sekali tanpa ada rasa keterharuan manusiawi, seperti yang kita dengar beritanya. Apa yang sesungguhnya terjadi, yang jelas hanya Allah yang Maha Mengetahui. Tapi dari pengamatan selama ini, saya cenderung percaya akan berita itu karena dilihat dari dua sudut. Pertama, karena dibenarkan oleh paham yang berlaku di Arab Saudi, yang memang tak toleran terhadap bentuk-bentuk ungkapan religiusitas yang emosional, dan hal ini sesuai dengan kebiasaan orang padang pasir Arab yang keras dan pragmatis. Kedua, saya duga adalah kepanikan aparat Saudi sendiri karena selama ini terus-menerus ketakutan akan kecaman musuh-musuh politiknya. Mati syahid memang tak boleh memilih sendiri di mana tempatnya. Seandainya boleh memilih, para syuhada itu, saya kira, akan banyak yang memilih pulang ke keluarganya dulu, membangun proyek amal saleh, baru kembali menghadap Tuhan dengan jiwa yang sungguh-sungguh tenang, bukan meninggalkan kesan yang memilukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus