Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saksi kunci kasus korupsi wisma atlet Hambalang diduga diperas jaksa.
Bukti pemerasan berupa kuitansi pembelian kaus kesehatan, tiket pesawat, dan sewa kamar hotel.
Direktorat Pajak dan Kejaksaan Agung melanjutkan proses hukum meski perkaranya janggal.
DENGAN wajah muram, Erda tergesa-gesa memasuki gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat, 6 Maret lalu. Ia berniat menemui petugas di bagian pengaduan masyarakat. “Saya ingin menanyakan tindak lanjut laporan kejanggalan proses hukum terhadap suami saya, termasuk soal dugaan pemerasan,” ujarnya, Jumat, 6 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara Erda, istri tersangka kasus pidana pajak Roni Wijaya, meledak-ledak. Pengacaranya, Muhammad Syahputra Sandiyudha, yang mendampingi Erda ke KPK, kemudian menjelaskan ulah dua jaksa yang telah menguras harta kliennya. Kedua jaksa itu ditengarai memanfaatkan perkara dugaan pelanggaran pajak yang menjerat suaminya untuk memeras. Erda sudah menyerahkan duit sekitar Rp 70 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa berinisial M dan SP memegang kasus Roni sejak perkara itu diusut Direktorat Jenderal Pajak. Sehari-hari M mengepalai subdirektorat di bawah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Adapun SP adalah jaksa yang pernah menangani korupsi dana swakelola banjir Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Jakarta Pusat.
Menurut Sandiyudha, kejanggalan perkara kliennya sudah dialami sejak berkas masih di tangan penyidik pajak. Setiap kali menanyakan progres penyidikan, Erda dan Roni selalu diarahkan menemui M atau SP. Oleh SP, Erda diminta membayar tagihan belanjaan kedua jaksa itu. Erda juga dimintai Rp 200 juta jika ingin berkas perkara tak segera dilimpahkan ke kejaksaan.
Erda memiliki seluruh bukti pemerasan tersebut. Sandiyudha menunjukkan tagihan pembelian kaus kesehatan Easecox atas nama M sebesar Rp 21 juta. Lalu tagihan lain atas nama SP sebesar Rp 40 juta. Seluruh tagihan itu ia bayar pada 4 November 2019 lewat rekening Bank Negara Indonesia. Erda juga mengantongi bukti pembelian tiket pesawat rute Makassar untuk SP dan sewa kamar hotel atas nama M.
Menurut Sandiyudha, pembayaran itu merupakan syarat yang diajukan kedua jaksa tersebut jika ingin berkas penyidikan terhadap suami Erda yang sedianya dilimpahkan ke pengadilan pada Agustus 2019 ditunda hingga Februari 2020. Tak semua permintaan datang langsung dari mereka. Sejumlah permintaan disampaikan lewat perantara orang kepercayaan kedua jaksa itu. “Berkas itu memang akhirnya ditunda,” kata Sandiyudha.
Tak puas atas apa yang sudah diperoleh, mereka kembali meminta duit. Pada awal Januari 2020, jaksa M dan SP kembali menawari penundaan pelimpahan berkas Roni hingga Agustus 2020 jika Erda bersedia membayar Rp 200 juta. Tawaran itu ditolak Erda setelah ia berkonsultasi dengan petugas KPK. “Ini namanya pemerasan,” ucap Sandiyudha.
Bukti pembayaran pakaian kesehatan atas nama jaksa berinisial SP./Istimewa
Setelah permintaannya ditolak, M dan SP mengebut penyelesaian berkas perkara. Dokumen penyidikan Direktorat Jenderal Pajak dinyatakan lengkap alias P-21. Roni seketika jadi target buruan seusai pelimpahan berkas pada 4 Februari lalu. Sepekan setelahnya, jaksa meminta bantuan polisi untuk menangkap Roni. Bekas Direktur Operasional PT Dutasari Citra Laras itu kini diterungku dalam rumah tahanan Cipinang, Jakarta.
Kejanggalan proses hukum tersebut dilaporkan Roni ke KPK pada Januari lalu. Selain mengadukan pemerasan, Erda mempersoalkan bukti yang dipakai untuk menjerat suaminya. Bukti tersebut bermasalah karena pernah diuji pengadilan dalam perkara korupsi wisma atlet Hambalang yang menyeret Mahfud Suroso, kolega Roni di PT Dutasari Citra Laras. Di perusahaan yang mendapatkan subkontrak di proyek Hambalang tersebut, Mahfud menjabat direktur utama.
Selain ke KPK, Erda melaporkan pemerasan itu kepada Jaksa Agung. Tapi penyelesaian pengaduan tersebut tak kunjung ada kejelasan. Alih-alih mendapat tanggapan, Roni malah ditahan. Penahanan tersebut dilakukan sepekan setelah tim kuasa hukum bersurat kepada Jaksa Agung. “Suami saya itu saksi KPK. Kenapa malah dikriminalisasi?” kata Sandiyudha.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono membenarkan adanya laporan tersebut. Menurut dia, Jaksa Agung Muda Pengawasan tengah memeriksa dugaan pelanggaran kedua jaksa. Kejaksaan juga merombak komposisi tim jaksa yang menangani kasus Roni. M dan SP tak lagi memegang perkara itu. “Sejauh ini belum ada kesimpulan yang menyatakan keduanya bersalah,” ujarnya.
Menurut Hari, pemeriksaan terhadap keduanya tidak menghentikan proses hukum terhadap Roni. Apalagi berkas perkara itu sudah dinyatakan lengkap. Saat ini, kata dia, tim jaksa tengah menyiapkan surat tuntutan agar perkara segera dilimpahkan ke pengadilan. “Dakwaan akan dibuat secara berlapis terkait dengan indikasi pidana pajak dan tindak pidana pencucian uang,” tutur Hari.
•••
PEMERASAN terhadap Erda dan Roni Wijaya berawal dari penyidikan kasus pajak yang diusut Direktorat Jenderal Pajak sejak pertengahan 2019. Direktorat Pajak sedianya ingin menagih pertanggungjawaban PT Dutasari Citra Laras dalam proyek Hambalang lewat pidana pajak. Perusahaan itu tak lagi aktif setelah terbelit kasus korupsi. Karena itu, Direktorat Pajak mengejar pertanggungjawaban para pemilik saham.
Dalam akta perusahaan disebutkan pemilik perusahaan terdiri atas empat nominee. Di situ tercantum nama Mahfud Suroso sebagai direktur utama. Mahfud juga memiliki 2.200 lembar saham atau setara dengan 40 persen komposisi saham. Tiga nama lain memiliki porsi saham masing-masing 20 persen. Mereka adalah Roni Wijaya, PT MSONS Capital, dan Athiyyah Laila, istri bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Melalui pengacaranya yang lain, Haris Azhar, Roni menyatakan heran karena penyidikan kasus itu hanya menyorot dirinya. Menurut dia, pertanggungjawaban semestinya ditanggung renteng keempat nominee sesuai dengan porsi kepemilikan saham. Kejanggalan itu sudah terlihat pada 2017 ketika Direktorat Pajak memintanya membayar tagihan sebesar Rp 3,8 miliar dengan alasan melaksanakan putusan pengadilan dalam kasus Mahfud Suroso.
Roni memprotes keputusan itu. Menurut dia, tanggung jawabnya atas beban itu hanya sebesar Rp 777 juta atau setara dengan 20 persen kepemilikan saham. Tapi dalih itu tidak dipedulikan Ditjen Pajak. Yang terjadi setelahnya justru Roni ditahan pada Desember 2019 dan baru bisa bebas setelah Direktorat Pajak melelang ruko milik PT Dutasari di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Nyatanya, ganti rugi itu tak membuat Roni lepas dari ancaman pidana. Penyidikan Ditjen Pajak kembali bergulir pada 2019. Alasannya, untuk menjerat pemegang saham PT Dutasari lewat pidana pajak dan pencucian uang. Lagi-lagi yang diincar hanya Roni. Barang bukti yang digunakan untuk menjerat Roni sama dengan barang bukti yang dipakai buat menjerat Mahfud Suroso.
Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Sigit Danang Joyo membantah tuduhan hanya membidik Roni. Menurut dia, mekanisme gijzeling atau ganti rugi hanya berlaku untuk perkara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Adapun pidana pajak yang menjerat Roni menggunakan pintu masuk yang berbeda. “Barang bukti yang diuji sebelumnya hanya untuk tindak pidana korupsi, bukan pidana pajak,” kata Sigit.
Menurut Sigit, pidana pajak bisa dilepaskan dari perkara korupsi yang tengah ditangani KPK. Persoalan seputar penyidikan itu, dia melanjutkan, sudah dijawab kementerian saat meladeni gugatan praperadilan Roni di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menolak gugatan tersebut. “Materi yang diperkarakan bukan soal prosedur penyidikan, tapi sudah masuk pokok perkara,” ujarnya.
Dalam perkara korupsi Hambalang, pengadilan menghukum Mahfud enam tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Ia terbukti memerintahkan bawahannya membuat faktur fiktif. Di sini muncul kejanggalan. Berbeda dengan putusan pengadilan, keterangan saksi dalam perkara yang diusut Ditjen Pajak menyatakan faktur itu dibuat atas perintah Roni. “Mengapa fakta sidang mereka abaikan?” ucap Haris Azhar.
Haris Azhar/TEMPO/STR Magang/Yovita Amalia
Haris menilai proses hukum terhadap kliennya dipaksakan. Sebab, Roni adalah saksi dalam perlindungan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pemidanaan terhadap kliennya bisa berdampak pada lunturnya kepercayaan publik terhadap sistem perlindungan saksi. “Kuat dugaan, proses hukum ini dipesan orang yang dirugikan oleh kesaksian klien saya,” ujarnya.
Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Susilaningtias, mengatakan lembaganya pernah menyurati Ditjen Pajak untuk menanyakan perkara Roni. Surat itu dibuat atas permintaan Roni dan telah dikonsultasikan kepada KPK. “Intinya kami meminta Ditjen Pajak mempertimbangkan kontribusi tersangka dalam mengungkap kasus Hambalang,” tuturnya.
Surat yang dikirimkan KPK kepada Jaksa Agung pada 20 Agustus 2019 menguatkan keterangan Haris dan Susi. Surat tersebut mengingatkan Jaksa Agung mengenai nota kesepakatan sejumlah lembaga penegak hukum lain terkait dengan penanganan perkara. Dalam poin pertama surat itu disebutkan Roni adalah saksi dalam perkara korupsi yang masih ditangani KPK.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, membenarkan kabar bahwa Roni pernah mendapat perlindungan KPK. Meski begitu, kata dia, KPK menghormati proses yang berjalan di Ditjen Pajak dan Kejaksaan. “Kewenangan kami hanya menangani perkara korupsi. Jika ada lembaga lain yang menyidik lewat jalur lain, itu kewenangan mereka,” ujarnya.
RIKY FERDIANTO, LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo